DATU DAN WALI

=============================================================================================

Mari kita dukung pelestarian khazanah cerita rakyat Daerah Kalimantan Selatan seperti Maharaja sukarama dan raja-raja dari kerajaan negara daha, perebutan tahta pangeran samudera dengan pangeran tumenggung, legenda raja gubang, datu panglima amandit, datung suhit dan datuk makandang, datu singa mas, datu kurba, datu ramanggala di ida manggala, datu rampai dan datu parang di baru sungai raya, datu ulin dan asal mula kampung ulin, datu sangka di papagaran, datu saharaf parincahan, datu putih dan datu karamuji di banyu barau, legenda batu laki dan batu bini di padang batung, legenda gunung batu bangkai loksado, datu suriang pati di gambah dalam, legenda datu ayuh sindayuhan dan datu intingan bambang basiwara di loksado, kisah datu ning bulang di hantarukung, datu durabu di kalumpang, datu baritu taun dan datu patinggi di telaga langsat, legenda batu manggu masak mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga bidadari datu awang sukma di hamalau, kisah gunung kasiangan di simpur, kisah datu kandangan dan datu kartamina, datu hamawang dan datu kurungan serta sejarah mesjid quba, tumenggung antaludin dan tumenggung mat lima mempertahankan benteng gunung madang, panglima bukhari dan perang hamuk hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di lukloa, datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai, datu buasan dan datu singa jaya di hampa raya, datu haji muhammad rais di bamban, datu janggar di malutu, datu bagut di hariang, sejarah mesjid ba angkat di wasah, dakwah penyebaran agama islam datu taniran di angkinang, datu balimau di kalumpang, datu daha, datu kubah dingin, makam habib husin di tengah pasar kandangan, kubur habib ibrahim nagara dan kubah habib abu bakar lumpangi, kubur enam orang pahlawan di taal, makam keramat bagandi, kuburan tumpang talu di parincahan, pertempuran garis demarkasi dan kubur Brigjen H.M. Yusi di karang jawa, pahlawan wanita aluh idut di tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan Ibnu hajar, sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI yang dipimpin Brigjen H. Hasan Baseri dan pembacaan teks proklamasinya di Kandangan. Semuanya adalah salah satu aset budaya dan sejarah bagi Kalimantan Selatan.

Minggu, 19 Mei 2013

LEGENDA MANGKIKIT KALTENG

Legenda Mangkikit terjadi di Kalimantan Tengah. Tepatnya di Sungai Katingan, di situlah ada sebuah jeram yang disebut Riam Mangkikit. Riam ini adalah yang terbesar di antara riam lainnya di Kalimantan Tengah. Di situ ada sebuah tempat yang disebut Batu Tangudau. Batu itu dinamai demikian sebab kata orang di bawah batu itu terdapat lubang ikan tangudau yaitu sejenis ikan hiu.
Konon dikisahkan, di tengah riam itu ada sebuah kampung kecil. Di kampung itu hanya ada sebuah rumah betang (rumah keluarga yang luas) dan lima buah rumah biasa. Pemimpin kampung itu seorang pemuda yang gagah berani bernama Mangkikit. Walaupun masih tergolong muda, Mangkikit disegani orang. Sifatnya yang agak pendiam, jujur, berani karena benar, membuatnya lebih berwibawa.
Sementara Istrinya yang bernama Nyai Endas adalah seorang perempuan yang sangat cantik. Kecantikan Nyai Endas telah terkenal ke seluruh daerah. Banyak pemuda yang sengaja bermalam di betang dengan maksud sekedar ingin menyaksikan kecantikan Nyai Endas. Lebih-lebih, hampir sepuluh tahun perkawinannya dengan Mangkikit belum juga dikarunai putra. Walaupun demikian, keduanya tetap hidup bahagia, aman, dan damai.
Sudah menjadi kebiasaan setiap hari pagi-poagi sekali Mangkikit akan pergi berburu. Senjata beserta anaknya sejak sore kemarin sudah dipersiapkannya. Seperti biasa, jika merencanakan suatu perjalanan, Mangkikit selalu bangun pagi. Ia menyiapkan makanan dan penginangan (yakni sirih berkapur dengan pinang yang sudah dibelah) untuk bekalnya. 
Mangkikit sebelum berangkat, ia berpesan kepada istrinya agar baik-baik tinggal di rumah. Kepada Dungak (seorang laki-laki setengah baya) dan Tambi Jongkong (seorang perempuan tua) dipesankan pula hal yang sama. Kedua orang itu sejak lama sudah dianggap anggota keluarganya. Malah Tambi Jongkong sendiri sudah seperti inang pengasuh sejak Nyai Endas masih kecil. 
Setelah Mangkikit berangkat, penghuni betang itu asyik dengan pekerjaannya sendiri-sendiri. Dungak membelah kayu di belakang. Tambi Jongkong memasak di dapur. Nyai Endas sendiri asyik menganyam tikar rotan di kamar. Tiba-tiba terdengar pintu depan diketuk. Mendengar ketukan itu, Nyai Endas memanggil Tambi Jongkong. Disuruhnya melihat siapa yang datang. 
Seorang laki-laki tak dikenal berdiri di depan pintu. Laki-laki itu tampan sekali. Kumisnya tipis, tubuhnya kekar, kulitnya putih kuning dan tampak bersih. Destar berwarna merah melilit di kepalanya. Di pinggangnya tergantung Mandau bergagang tanduk berjumbai rambut, menambah kegagahannya. Lama perempuan tua itu terdiam. Ia tidak berani menatap mata laki-laki itu terlalu lama. Ia baru sadar setelah laki-laki menegurnya. “Mangkikit ada?” tanyanya singkat.
“Mangkikit pergi berburu sejak pagi,” jawab orang tua itu.
“Tetapi Nyai Endas, ada?” tanyanya lagi.
“Oh, Ada, silakan masuk,” sahutnya, seraya berbalik memberitahukan kedatangan orang itu.
Mendengar hal itu, Nyai Endas langsung keluar. Tambi Jongkong sempat melihat bahwa Nyai Endas tampak seperti orang bingung melihat tamunya. Tidak lama kemudian, Nyai Endas masuk ke dalam. Digapainya Tambi Jongkong agar mengikutinya masuk ke kamar. Sejenak kemudian, Tambi Jongkong ke dapur, memanggil Dunghak agar segera pulang. Tak berapa lama kemudian Dungak pun muncul. Ditatapnya tamu itu dengan pandangan kurang senang. Mendengar panggilan Nyai dari kamar, ia pun segera masuk.
“Kalian berdua dengar kataku ini,” ujar Nyai. “Laki-laki itu memaksaku untuk mengikutinya. Aku sadar bahwa aku sudah bersuami. Tetapi rasanya aku tidak dapat menolak keinginannya.
Secepat kilat. Dungak menyambar Mandau pusaka yang tergantung di dinding setelah mendengar kata-kata Nyai Endas. Rupanya ia tidak menerima perlakuan tamu itu. Namun dengan tangkas pula Nyai Endas menghalangi maksud Dungak. Melihat kejadian itu Dungak mengalah, walaupun hantinya merasa amat perih.
“Sekarang katakan kepada tuanmu bila ia sudah kembali nanti,” kata Nyai Endas. “Akui Nyai Endas…, bagaimana pun aku tetap mencintainya. Oleh sebab itu sekali lagi kupesankan agar kamu menceritakan pada tuanmu dengan jujur. Aku minta jika aku telah keluar, ikuti aku dengan matamu. Dengan demikian kamu tahu arah kepergianku. Sekarang aku akan mempersiapkan barang-barangku.” Kemudian Nyai Endas menyiapkan barang bawaannya. Sebelum keluar kamar, kembali ia berpesan. Sekiranya Mangkikit suaminya ingin mencarinya, ikuti nanti arah kepergiannya. Kemudian ia pun keluar bersama laki-laki itu.
Dari betang, mereka berdua turun ke sungai. Dungak dan Tambi Jongkong yang mengawasi kepergian Nyai Endas merasa kaget. Kedua orang itu berjalan di atas air seperti di jalan raya saja. menyaksikan peristiwa itu, Tambi Jongkong, Dungak bergegas lari ke betang. Diambilnya gong lalu dibunyikan berkali-kali.
Penduduk yang sedang bekerja di ladang mendengar bunyi gong itu segera berlari pulang ke kampung. Pasti ada kejadian yang luar biasa. Penduduk kampung gempar setelah dioberitahu Dungak bahwa Nyai Endas diculik oleh laki-laki tak dikenal. Mereka ngeri kalau Mangkikit mengamuk karena kejadian itu.
Semua wanita dan anak-anak dengan diam-diam meninggalkan kampung itu. Mereka takut kalu-kalau nanti Mangkikit mengamuk membabi buta. Yang tinggal sekarang hanya para laki-laki dewasa. Tambi Jongkong yang menangis terus tampaknya tinggal pasrah. Demikian pula halnya dengan Dungak yang sejak tadi banyak diam.
Sementara itu Mangkikit bergegas dalam perjalanan piulang. Ia mendapat semacam firasat, sesuatu yang luar biasa terjadi di kampung. Ia cepat-cepat pulang. Jalannya dipercepat setengah berlari. Setibanya di belakang betang, dilihatnya banyak orang bergerombol. Apa gerangan yang terjadi, tanyanya dalam hati. Dengan napas terengah-engah, ia naik ke betang seraya bertanya, “Ada apa, ini? Apa yang telah terjadi?”
Tak seorang pun yang berani menjawab. Karena tidak ada yang menjawab, Mangkikit menjadi marah. Dungak pun tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya mengenai Nyai Endas sewaktu ditanya. Menyaksikan keadaan seperti itu, seorang laki-laki tua tampil seraya berkata dengan suara lembut, “Anakku…, coba tenang sedikit. Sulit berbicara dengan keadaan seperti ini,” katanya.
Mangkikit pun sedikit mereda ketegangannya “Apa yang sebenarnya terjadi, paman?” tanyanya kepada orang tua itu.
Orang tua itu pun menceritakan seluruh kejadian itu tanpa satu pun tertinggal yang tertinggal. Mendengar penjelasan pamannya, Mangkikit menghela napas panjang. Penduduk kampung ikut merasa lega karena ternyata Mangkikit tidak jadi marah. Mangkikit hanya meminta para kepala keluarga untuk datang ke rumahnya nanti malam. Di sana ia akan memberitahukan rencana selanjutnya.
Pada Malam itu, kembali mereka berkumpul. Mangkikit menyarankan agar setiap keluarga menyiapkan tuak. Pada hari kesembilan setelah itu, mereka akan berkumpul lagi. Mangkikit tidak menjelaskan maksudnya. Ia hanya berpesan agar mereka menyiapkan keperluan pesta. Akhirnya, waktu yang ditetapkan itu tiba. Mangkikit memerintahkan agar pesta dimulai dari rumah yang paling ujung bagian hulu.
Sepuluh hari kemudian, tibalah giliran terakhir di rumah betang Mangkikit. Sebelumnya Mangkikit berpesan agar hari terakhir itu semuanya hadir. Sejak pagi mereka makan dan minum sepuas-puasnya. Setelah semuanya selesai, Mangkikit memerintahkan semua orang berkumpul di pinggir tepian mandi sungai. Setelah semuanya lengkap, Mangkikit memerintahkan semua kepala keluarga membakar rumahnya. Dalam sekejap, semua rumah di kampung itu telah terbakar.
Setelah semua berkumpul, Mangkikit berkata, “Sekarang turunlah ke sungai, berjalanlah dengan tenang menuju Batu Tangudau.” Setelah itu, Mangkikit menabur beras kuning ke pusaran air Batu Tangudau. Ia menunjuk salah seorang untuk terjun ke pusaran air itu lebih dahulu. Jika mereka masih hidup agar dalam dunia yang baru itu saling menunggu. Setelah semua penduduk terjun Mangkikit pun menyusul. 
Mangkikit kemudian melihat sebuah kampung yang bersih dan rapi. Ia mengisyaratkan agar mereka menunggu dengan tenang. Dengan didampingi tiga orang laki-laki pilihannya, ia memasuki kampung itu. Tidak kelihatan seorang pun penghuni di sana. Tidak jauh dari situ, di halaman sebuah rumah besar dan bagus, tampak Nyai Endas.
Atas perintah Mangkikit, mereka berpencar mengepung rumah itu. Setelah dekat benar, Mangkikit memberi isyarat kepada Nyai Endas. Istrinya mengatakan bahwa laki-laki yang menculiknya masih tidur di kamar. Mangkikit mengikutinya istrinya masuk. Secepat kilat, Mangkikit mencabut dohong yang terselip di pinggangnya, lalu dibunuhnya laki-laki itu. Ketiga pengawalnya disuruh menjemput keluarganya yang menunggu di luar kampung itu.
Nyai Endas pun bercerita bahwa kampung itu adalah tempat tinggal bangsa ikan tangudau. Siang hari, mereka semua pergi mencari makan. Itulah sebabnya tak ada orang yang mereka temui pada siang hari. Sore hari mereka baru pulang. Akhirnya, Mangkikit menjadi raja di sana dan hidup dengan damai, aman dan tenteram,,,

LEGENDA LIANG MENGURANG

Dalam bahasa daerah di Kaliman Barat, “Liang Mengurang” berarti “Gua Jadi-Jadian”. Kata “Liang” sendiri dalam bahasa daerah Kalimantan Barat berarti lubang,. akan tetapi, yang dimaksud dalam cerita ini adalah gua (lubang gua).Sedangkan kata “Mengurang” berarti “menjadi” atau “Jadi-Jadian” 
Di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, ada sebuah bukit, namanya Bukit Liang. Dinamakan Bukit Liang karena di bukit itu banyak terdapat gua. Liang Mengurang terletak di Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat. Kabupaten Kapuas Hulu terletak di tengah Pulau Kalimantan. Liang Mengurang berbentuk datar. Liang ini dianggap angker oleh penduduk karena sering terjadi kejadian-kejadian aneh di kawasan itu. Inilah legendanya.
Legenda Liang Mengurang bermula dari sebuah peristiwa yang terjadi pada zaman permulaan penjajahan Belanda di daerah Kalimantan Barat. Dikisahkan pada waktu itu harga getah jelutung (getah merah) sedang melonjak. Getah ini merupakan salah satu hasil pokok hutan di Kalimantan Barat. Di hutan-hutan sekitar Liang Mengurang banyak tumbuh pohon jelutung yang menghasilkan getah merah itu. Hingga kini pun masih banyak pohon jelutung dan banyak kelelawar di daerah ini..
Ada tiga orang laki-laki penduduk Kabupaten Kapuas Hulu yang pekerjaannya mencari getah merah di dalam hutan sekitar gua itu. Karena mereka ingin mendapatkan hasil yang  lebih banyak, maka mereka pun bermalam di hutan sekitar gua itu. Seminggu sekali barulah mereka pulang ke kampung halamannya. Oleh karena itu, mereka membuat gubuk (Ntirong dalam bahasa Kaliman Barat) sebagai tempat menginap sementara di dalam hutan.
Gubuk /Ntirong yang mereka dirikan itu biasanya tidak jauh letaknya dari mulut Gua Mengurang (Liang Mengurang). Menurut penuturan para orang tua dahulu, pada malam yang nahas itu adalah malam ketika ketiga laki-laki itu bermalam. Pada malam itu,, sedang bulan purnama dan langit amat cerah. Secercah awan pun seperti tidak di langit.
Di langit yang biru kehitaman itu tampak jelas bintang-bintang yang bertaburan mengilelingi rembulan. Banyak kelelawar berterbangan rendah di atas Liang Mengurang. Karena ketiga laki-laki itu merasa kepanasan tinggal di dalam gubuk/ntirong, mereka pun memutuskan untuk duduk-duduk di depan pondok sambil berbincang-bincang tentang rencana pekerjaan mereka untuk keesokan harinya.
Pada saat mereka sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba muncullah dari mulut gua tiga orang gadis berambut panjang. Kulit ketiga gadis itu berwarna kuning langsat dan tubuhnya semampai. Ketiga gadis cantik itu mengenakan baju berwarna coklat kemerah-merahan. Gadis-gadis itu berjalan menghampiri pondok para pencari getah merah dengan pandangan menggoda.
Melihat gadis-gadis cantik itu, ketiga laki-laki itu sangat terpesona. Salah seorang dari ketiga laki-laki pencari getah merah, yang bernama Rontak,spontan menyapa ketiga gadis itu. Rontak dengan basi-basi menawari mereka untuk singgah masuk ke dalam gubuk.
 Diluar dugaan  ajakan Rontak ternyata diterima oleh ketiga orang gadis itu Setelah duduk beberapa saat, salah seorang dari gadis-gadis itu bertanya, “Apakah saudara-saudara ini sudah makan? Jika belum, kami dapat memasak. Tidak usah malu kepada kami.”
“Belum. Coba kalian tolong kami untuk memasak karena kami sudah lelah bekerja seharian.” Jawab ketiga laki-laki pencari getah itu serempak.
Ketiga gadis aneh itu pun dengan senang hati membantu mereka memasak. Ikan yang mereka tangkap di sungai dengan bubu siang tadi dibawa oleh dua gadis ke belakang untuk dibersihkan. Gadis yang seorang lagi tidak ikut ke belakang. Ia sedang asyik bercengkerama dengan si Rontak.
Namun diam-diam kedua teman Rontak mulai curiga kepada gadis-gadis cantik itu. Secara sembunyi-sembunyi mereka mengintai kedua gadis yang sedang membersihkan ikan di belakang. Mereka hati-hati sekali, jangan sampai kedua gadis itu tahu bahwa kerja mereka sedang diperhatikan. 
Sejenak kedua lelaki itu pun tercengang dan takut. Mereka melihat kedua gadis aneh itu  membersihkan ikan tidak dengan pisau seperti lazimnya. Akan tetapi, mereka membersihkan ikan-ikan itu dengan kuku-kuku mereka yang panjang mengkilat dan runcing. Dan kadang-kadang mereka membersihkan ikan-ikan itu dengan gigi mereka. Darah ikan itu mereka isap sampai habis.
Melihat keganjilan itu, kedua laki-laki itu saling berpandangan dengan tak bisa menyembunyikan rasa takutnya, lalu keduanya berbisik, “Mereka bukan manusia yang sesungguhnya, tetapi mereka adalah hantu jadi-jadian.”
Mereka kemudian bermufakat untuk melarikan diri karena mereka berpikir bahwa mereka tidak mungkin dapat menang melawan hantu. Dengan isyarat keduanya memanggil Rontak untuk diajak berpura-pura mengambil air ke sungai untuk keperluan memasak. Dari sungai mereka akan langsung melarikan diri. 
Akan tetapi, Rontak yang sudah amat terpesona dengan salah seorang gadis misterius itu tidak menghiraukan panggilan dan bahasa isyarat kedua temannya. Rontak justru marah-marah karena merasa keasyikannya terganggu. Rontak pun berseru dengan marah, “Urus saja diri kalian! Jangan ganggu aku, saya sibuk sekali!.”
Mendengar teriakan Rontak itu, dan Nampak sekali Rontak tidak menghiraukan panggilan mereka, keduanya pun tidak mengajaknya lagi. Kedua laki-laki itu pura-pura meminta izin untuk mengambil air kepada kedua gadis gadis yang sedang membersihkan ikan itu. Salah seorang dari gadis itu berseru, “Cepat sedikit ya! Jangan lama-lama pergi ke sungai agar kita segera makan dan pesta bersama.”
Setelah dirasa kedua gadis aneh itu tak melihatnya lagi, kedua laki-laki yang pergi ke sungai itu langsung melarikan diri ke kampung mereka malam itu juga tanpa berani menoleh lagi ke belakang. Baru menjelang subuh, mereka tiba di kampung dalam keadaan letih dan lesu. Pada waktu mereka tiba, mereka langsung melaporkan kepada orang kampung tentang segala peristiwa yang telah terjadi.
Mendengar cerita kedua teman Rontak itu, maka pada keesokan harinya, orang-orang kampung pergi ke hutan yang dekat dengan gua itu. Namun ketika tiba di sana, mereka sudah terlambat.Mereka menemukan Rontak telah menjadi mayat. Sementara ketiga gadis aneh itu sudah tidak tampak lagi. Bekas-bekasnya pun tak ada. 
Jejak yang tertinggal pada tumbuh Rontak mengerikan. Mayat Rontak tampak pucat pasi karena kehabisan darah. Lidahnya terjulur keluar dan matanya pun terbalik ke atas seperti orang yang sedang dilanda ketakutan amat sangat. Di beberapa bagian tubuh mayat Rontak itu juga terdapat bekas-bekas gigitan, terutama di bagian lehernya.
Warga kampung pun bermusyawarah untuk mengatasi hal yang menakutkan itu. Beruntung kemudian tampil salah seorang dari penduduk kampung yang tampaknya bukan orang sembarangan dan amat berani. Ia telah mendapatkan gagasan untuk mengatasi hal itu dan penduduk kampung setuju dengan gagasan itu.
Sesuai dengan rencana, satu bulan kemudian orang bijaksana itu mengajak dua orang temannya yang pemberani untuk bermalam di gubuk dekat itu pada saat bulan purnama untuk membuktikan cerita kedua teman Rontak. Benar apa yang diduga oleh orang bijaksana itu, tak lama setelah menunggu, tiba-tiba datang tiga orang gadis cantik mendatangi mereka seperti halnya kejadian yang diceriterakan teman-teman Rontak pada bulan lalu. Mereka bertiga pun sesuai dengan rencana yang telah disepakati, diam-diam minta izin untuk pergi ke sungai, sementara ketiga gadis itu beristirahat di dalam gubuk/ntirong.
Namun sebenarnya, ketiga laki-laki itu hanya berpura-pura saja pergi ke sungai. Diam-diam mereka kembali dan kemudian menyiramkan bensin ke sekeliling gubuk sampai ke kolong gubuk pula. Ketiga gadis jadi-jadian yang berada di dalam gubuk beranjak ke luar ketika mencium bau bensin. Akan tetapi, mereka tidak sampai ke luar karena pada saat itu juga bensin langsung dibakar oleh ketiga laki-laki pemberani itu.
Api menyala dengan cepat membakar gubuk itu. Dari dalam gubuk terdengar bunyi gaduh dan teriakan ketiga gadis misterius itu. Namun tidak lama kemudian teriakan itu berubah menjadi bunyi mencicit yang kian lama kian melemah. Akhirnya, bunyi cicitan itu lenyap sama sekali bersamaan dengan habisnya gubuk dilahap api.
Pada keesokan harinya, mereka menemukan bangkai kelelawar yang telah menjadi abu. Sejak kejadian itu, gua itu dinamakan oleh penduduk Gua Mengurang atau Liang Mengurang. Artinya, Gua Menjadi atau Gua Jadi-jadian. Hingga saat ini gua itu dianggap angker oleh penduduk setempat dan di sana banyak sekali terdapat kelelawar.

LEGENDA SUMBER GARAM SEPANG

Legenda Asal Mula Rumah Panjang (Luu) oleh masyarakat Dayak di Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur,dianggap benar-benar pernah terjadi. Legenda ini sangat menarik karena mengajarkan agar manusia tidak cepat puas dengan keadaan hidup yang sudah ada, namun harus selalu berusaha untuk merncapai kehidupan yang lebih baik. 
Konon dikisahkan ketika dunia masih sedikit penduduknya, di desa Tenukung Renayas hidup dua orang laki-laki bernama Aji dan Kilip.Di daerah Tenukung Renayas yang berarti ‘keadaan yang serba kosong dan sepi’, hidup mereka serba susah dan tidak ada kemajuan apa-apa. Oleh karena merasa tidak puas terhadap keadaan hidupnya, mereka bermufakat untuk pergi mencari pengetahuan ke daerah lain sehingga kelak dapat digunakan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Keduanya sepakat untuk pergi ke daerah yang mereka anggap lebih maju dan makmur, yaitu daerah yang disebut Telengka’ Bawotn Tatau.
Keduanya terus berjalan bersama-sama menuju ke tempat tujuan, segala susah senang di jalan mereka atasi bersama-sama. Namun ketika tiba di persimpangan jalan, keduanya menjadi berselisih pendapat. Masing-masing berpendapat bahwa jalan yang dipilihnyalah yang menuju ke Telengka’ Bawotn Tatau. 
Keduanya ternyata sama-sama ngotot bahwa jalan yang dipilihnya yang benar. Oleh karena tetap tidak terdapat persusaian pendapat, akhirnya, Aji mengambil jalan ke arah kiri, sedangkan Kilip mengambil jalan ke arah kanan. Ternyatam jalan yang dipilih Kiliplah yang benar. Di ujung jalan itulah terletak Talengka’ Bawotn Tatau.
Di jalan yang benar inilah Kilip akhirnya menemukan hal-hal yang baik, menyenangkan, serta membawa kebahagiaan. Sebaliknya, jalan ke kiri yang dipilih Aji adalah jalan yang salah. Jalan yang dipilihnya menuju ke daerah/tempat dimana ia akan menemukan hal-hal yang buruk, membawa kemalangan, serta kematian bagi manusia.
Di tempat yang baru itu, baik Aji maupun Kilip disambut dengan pesta-pesta besar dan masing-masing di jamu oleh tuan rumah. Aji dan Kilip di tempat yang terpisah juga diberi petunjuk membuat rumah serta mempelajari berbagai macam adat-istiadat, upacara dan kesenian, dengan maksud agar pengetahuan yang mereka perolah itu kelak dapat diterapkan di tempat asalnya setelah pulang nanti.
Akhirnya setelah merasa cukup dalam mempelajari segala sesuatu di tempat yang baru, kedua orang itu pun memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Dalam perjalanan pulang ternyata Aji dan Kilip bertemu lagi di persimpangan jalan, tempat mereka dulu berselisih mengenai arah. Aji dan Kilip kemudian saling bercerita mengenai pengalaman masing-masing, yang ternyata sangat berbeda.
Begitu sampai di kampong halamannya, Tenukung Renayas, Aji dan Kilip masing-masing mendirikan sebuah rumah panjang (luu) sesuai dengan bentuk yang pernah mereka lihat di tempat perantauan. Selanjutnya, dalam kehidupan sehari-hari mereka juga menirukan semua adat-istiadat dan tingkah laku yang mereka ketahui dari hasil peninjauannya  ke daerah lain dahulu.
Namun hasilnya, kebiasaan yang diperlihatkan kedua rumah panjang (luu) itu ternyata saling bertolak belakang. Jika pada rumah panjang Kilip selalu dimeriahkan dengan pesta yang penuh kegembiraan seperti yang dipelajarinya dahulu di perantauan, sementara di rumah panjang Aji yang dipertunjukkan adalah upacara-upacara sedih dan kematian seperti yang dipelajarinya dahulu pula. 
Pada akhirnya nasib kedua rumah panjang (luu) itu juga bertolak belakang. Jika rumah panjang Kilip selalu diliputi kegembiraan, sebaliknya rumah panjang Aji selalu dirundung kesedihan.

LEGENDA BATU SULI

Legenda Batu Suli  dipercayai oleh masyarakat Dayak Ngaju dan Ot Danum benar-benar pernah terjadi. Menurut cerita orang-orang tua, dahulu kala sebuah tebing batu yang disebut batu Suli pernah roboh sehingga menutup hubungan lalu-lintas ikan dari Kahayan Hulu ke Kahayan Hilir.
Kejadian ini sungguh tidak mengenakan bagi bangsa Ikan, dahulu mereka mempunyai kekerabatan dan sanak saudara di Kahayan Hulu atau sebaliknya di Kahayan Hilir. Lama kelamaan keadaan itu tidak tertahankan lagi bagi bangsa Ikan, meraka merasa seperti terpenjara akibat putusnya aliran sungai Kahayan itu. Mereka benar-benar tersiksa aikbat peristiwa tebing longsor itu. 
Masalah besar bangsa ikan itu harus dicarikan pemecahannya. Untuk menanggulanginya, kemudian para ikan berkumpul dan mengadakan musyawarah besar di Sungai Kahayan. Musyawarah besar bangsa ikan itu akhirnya menghasilkan keputusan yaitu untuk menegakkan kembali tebing yang telah roboh itu.
Akhirnya pada hari yang telah disepakati ribuan bangsa ikan berkumpul untuk bersama-sama menegakkan tebing yang menghambat sungai Kahayan itu. Ikan tapa sesuai dengan hasi musyawarah ditunjuk sebagai mandor. Pekerjaannya mengharuskan ia terus-menerus berteriak-teriak secara lantang agar semangat para pekerja bangsa ikan itu selalu tinggi. Sementra ikan pipih sesuai hasil musyawarah juga diberi tugas untuk memanggul tebing yang roboh itu di atas punggungnya yang pipih.
Begitulah kerja keras bangsa ikan itu pun berlangsung sampai berhari-hari lamanya. Ahirnya berkat usaha keras segenap bangsa ikan itu, tebing Batu Suli dapat ditegakkan kembali seperti sedia kala. Tentu saja hasil keras itu disambut dengan rasa bahagian oleh segenap bangsa ikan. Perasaan terpenjara sekian lama akhirnya bisa bebas lagi, dan bangsa ikan pun dapat kembali saling berhubungan antara di Kahayan hilir dan Kahayan hulu.
Namun, rupanya hasil keras itu harus ditebus mahal oleh bangsa ikan yang terlibat dalam pekerjaan besar itu. Setiap ikan yang turut mengambil bagian dalam pekerjaan itu, harus menanggung akibat pekerjaan besar itu. Sebagai contohnya, keturunan ikan tapa, misalnya, karena kakeknya dahulu terlalu banyak membuka mulut untuk berteriak-teriak dalam tugasnya sebagai mandor, maka kini semua anak keturunannya memiliki mulut yang berukuran besar.
Sementara keturunan ikan pipih, karena kakeknya harus memanggul tebing yang sangat berat itu, punggungnya bungkuk dan tulangnya hancur. Maka kini semua keturunan ikan pipih mempunyai punggung yang bungkuk dan tulangnya yang halus-halus,,,,