DATU DAN WALI

=============================================================================================

Mari kita dukung pelestarian khazanah cerita rakyat Daerah Kalimantan Selatan seperti Maharaja sukarama dan raja-raja dari kerajaan negara daha, perebutan tahta pangeran samudera dengan pangeran tumenggung, legenda raja gubang, datu panglima amandit, datung suhit dan datuk makandang, datu singa mas, datu kurba, datu ramanggala di ida manggala, datu rampai dan datu parang di baru sungai raya, datu ulin dan asal mula kampung ulin, datu sangka di papagaran, datu saharaf parincahan, datu putih dan datu karamuji di banyu barau, legenda batu laki dan batu bini di padang batung, legenda gunung batu bangkai loksado, datu suriang pati di gambah dalam, legenda datu ayuh sindayuhan dan datu intingan bambang basiwara di loksado, kisah datu ning bulang di hantarukung, datu durabu di kalumpang, datu baritu taun dan datu patinggi di telaga langsat, legenda batu manggu masak mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga bidadari datu awang sukma di hamalau, kisah gunung kasiangan di simpur, kisah datu kandangan dan datu kartamina, datu hamawang dan datu kurungan serta sejarah mesjid quba, tumenggung antaludin dan tumenggung mat lima mempertahankan benteng gunung madang, panglima bukhari dan perang hamuk hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di lukloa, datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai, datu buasan dan datu singa jaya di hampa raya, datu haji muhammad rais di bamban, datu janggar di malutu, datu bagut di hariang, sejarah mesjid ba angkat di wasah, dakwah penyebaran agama islam datu taniran di angkinang, datu balimau di kalumpang, datu daha, datu kubah dingin, makam habib husin di tengah pasar kandangan, kubur habib ibrahim nagara dan kubah habib abu bakar lumpangi, kubur enam orang pahlawan di taal, makam keramat bagandi, kuburan tumpang talu di parincahan, pertempuran garis demarkasi dan kubur Brigjen H.M. Yusi di karang jawa, pahlawan wanita aluh idut di tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan Ibnu hajar, sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI yang dipimpin Brigjen H. Hasan Baseri dan pembacaan teks proklamasinya di Kandangan. Semuanya adalah salah satu aset budaya dan sejarah bagi Kalimantan Selatan.

Senin, 17 Maret 2014

Legenda "Kandangan Cingai"

Kalimat sastrawan Inggris itu, William Shakespeare, tidaklah salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Dalam konstalasi kehidupan, nama, tenyata turut merumuskan sesuatu yang amat intim dengan keberadaan: identitas pembeda antara yang satu dengan yang lain, termasuk dalam soal wilayah atau komunitas tertentu.
Dengan mengucapkan sebuah identitas kewilayahan, seseorang pada dasarnya telah memilih satu pola untuk bereaksi atau bersikap dalam suatu situasi, termasuk dalam hal merasa tersinggung atau bangga, dalam hal kesediaan untuk mati atau menahan diri. Pernyataan yang berbunyi “Kandangan Cing-ai!” merupakan contoh ihwal semacam itu. Kalimat pendek tersebut sudah demikian populer, utamanya di kawasan Kalimantan Selatan. Turun temurun dari waktu ke waktu, dari satu generasi ke generasi yang lain. Di dalamnya, kendati kadang terkesan bernada arogan, tersirat suatu kebanggaan terhadap banua, kebanggaan terhadap satu komunitas , yang mempunyai ciri dan karakter tersendiri. Kalangan budayawan dan sosiolog beranggapan bahwa karakter urang Kandangan itu keras tatapi menyimpan kelembutan, lamun dibaiki salipi di kantung gin dijulungi, tapi lamun dijahati Saumur janang kaingatan. Karakter yang lain adalah teguh dalam memegang prinsip, melatakkan harga diri di tempat yang tinggi, punya solidaritas yang kental, berani dan jarang bapisah lawan gagaman. Lalu darimanakah asal muasalnya sehingga wilayah yang dibelah oleh Batang Hamandit kemudian ditasmiahi dengan nama Kandangan? Pertanyaan itu akan membuat orang menengok jauh ke masa lalu. Ketika catatan sejarah tak mampu menjawab maka tolehan ke abad-abad silam akan bermuara pada mitologi, legenda, atau cerita rakyat. Sahibul hikayat yang selama ini terlanjur populer menyebutkan bahwa Kandangan berasal dari kata Kandang Hadangan (Kerbau), konon, kawasan Batang Hamandit ini,baik yang berupa rawa maupun tanah datar dan tinggi, merupakan tempat pemeliharaan dan penggembalaan hadangan. Beratus-ratus hadangan dipelihara didalam kandang-kandang yang tersebar diberbagai tempat. Tenarlah kawasan itu sebagai Kandang Hadangan lama-lama pengucapannya aus menjadi Kandangan.
 Perubahan kata Kandang Hadangan menjadi Kandangan oleh sebagai masyarakat dianggap terlalu mengada-ada. Terlalu banyak huruf yang hilang, jauh berbeda dengan kata Baraba-ai yang menjadi Barabai, atau kata Muara Bahan yang menjadi Marabahan. Apalagi karakteristik pemelihara hadangan dinilai jauh berbeda dengan karakteristik urang Kandangan.
 Versi lain memunculkan kaitan erat dengan kultur agamis yang dipunyai masyarakat Kandangan. Konon, disuatu waktu di tahun 1800-an, di daerah Karang Jawa diadakan Musyawarah para Datu. Hampir seluruh datu Banua Banjar berhadir, termasuk Datu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Datu Aling, Datu Sanggul. Ketika Syekh Muhammad Arsyad ditanya orang mau ke mana, beliau menjawab: mau kondangan (diucapakan dengan dialek Banjar Kuala yang kental). Kata kondangan itu terdengar seperti kata Kandangan, sehingga orang kemudian menyebut tempat yang dituju Syekh Muhammad Arsyad itu sebagai Kandangan.
 Versi lain lagi meyebutkan bahwa asal nama Kandangan berhubungan dengan ketidaksukaan satu komunitas di kawasan Batang Hamandit terhadap Lambung Mangkurat dari Negara Dipa.
 Bagi mereka, Lambung Mangkurat punya track-record buruk. Lambung Mangkurat dianggap membodohi rakyat dengan mengatakan Putri Junjung Buih sebagai wanita hasil tapa, padahal wanita itu orang hulu Balangan yang bernama Galuh Cipta Sari; menjadikan Junjung Buih sebagai Ratu Boneka di Negara Dipa; membunuh dua kemenakan, Bambang Sukmaraga dan Bambang Patmaraga; menjadi penyebab bunuh dirinya Empu Mandastana dan sang istri, kakak dan iparnya sendiri; menjadikan Raden Putra si orang Majapahit sebagai suami Junjung Buih sekaligus menobatkannya menjadi Raja Negara Dipa. Lambung Mangkurat kemudian juga membunuh Diang DipaRaja, istrinya sendiri; juga menjadi penyebab bunuh dirinya Arya Malingkan dan istri, kedua mertuanya.
 Ulah Lambung Mangkurat itu akhirnya membuat komunitas Batang Hamandit memaklumkan perlawanan. Mereka mendirikan benteng berupa kandang yang memagari keliling wilayahnya. Kendati berkali-kali diserang, orang-orang dalam benteng itu tak jua berhasil ditaklukkan. Lambung Mangkurat akhirnya membiarkan keberadaan wilayah dan komunitas tersebut sepanjang tidak mengganggu Negara Dipa dan kekuasaannya.
Orang-orang kemudian menyebut komunitas dalam benteng itu sebagai Urang Kandangan, artinya orang yang berdiam atau berada di dalam kandang.

 Kendati diperlukan penelusuran lebih jauh, mitologi urang dalam kandang itu terlihat lebih pas dengan karakter urang Kandangan.
 Tapi apa sih? Perlunya memunculkan lagi mitologi yang telah terkubur daun-daun waktu ke milineum ketiga ini? Apakah ingin membangun oposisi etnik di tengah nganga jurang disentegrasi bangsa sekarang ini? Sama sekali tidak. Refleksi mitologi itu sekedar menolehi modal dasar yang dipunya oleh urang Kandangan dalam merenda masa depan.
Mitologi itu menunjukkan juriat, juriat urang Kandangan. Dan persoalan juriat adalah persoalan akar yang terhunjam dalam: akar budaya yang membentuk eksestensi seseorang atau sekelompok orang yang menyebut diri sebagai urang Kandangan.
 Dari akar budaya tersebut lahir beragam ujaran datu nini yang kemudian menjadi patok nilai-nilai tradisi urang Kandangan. Misalnya, kita bakulawarga kada wayah katam haja; pacah  sabuku pacah sakataraan; lamun bakawinan kada sarana disaru aku tapi lamun bakalahian habari-ha; menunjukkan kentalnya citra kebersamaan. Kebersamaan tidak cuma muncul pada saat-saat basuka-barami (dilambangkan dengan wayah katam atau bakakawinan), tetapi juga pada saat-saat susah, bahkan pada saat panyawaan menjadi resikonya (dilambangkan dengan pacah sakataraan atau bakalahian). Modal kebersamaan semacam itu merupakan harta waris yang seyogyanya dijaga barataan, terlebih dalam mencermati dan menyikapi era otonomi daerah ini. Tanpa kebersamaan maka kayuhan perahu otonomi daerah di tengah laut berbadai, seperti sekarang ini, rasanya sukar, atau bahkan mustahil dilakukan.
Tapi citra kebersamaan tidaklah sesempit pengertian unggut-unggut tarus nang kaya bilatuk manabuk sarang. Kebersamaan tidaklah menafikan kritik. Kebersamaan tidaklah meminggirkan pendapat orang lain atau merasa ampun saurang haja nang pambujurnya, apalagi rasnang nang kaya mandur Ulanda. Kebersamaan adalah juga keterbukaan dalam memberi dan menerima. Ketulusan tagur-managur atawa ingat-maingati lamun kauyuhan jukung ampah manumbuk ambul.
 Maka dengan modal kebersamaan, parigal otonomi daerah bukanlah hal yang perlu ditakutkan.
 Kandangan Cing-ai! Banua kami nang rakat mupakat matan datu-nini

Kisah Masjid Banua Lawas

MESJID PUSAKA BANUA LAWAS
Mesjid Pusaka Banua Lawas
Mesjid Pusaka Banua Lawas terletak di Kecamatan Banua Lawas, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, INDONESIA
Masjid Pusaka Banua Lawas didirikan oleh Khatib Dayan bersama-sama dengan Datu Kartamina, Datu Sari Negara, Datu Sri Panji, Datu Rangganan dan datu lainnya yang telah memeluk agama Islam pada tahun 1625 M bersamaan dengan pendirian Masjid Pusaka Puain pada tahun itu juga dan pada saat itu Kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Inayatullah. Dilihat dari namanya, kemungkinan Datu Sari Nagara dan Datu Sri Panji sebelumnya memeluk agama Hindu. Menurut informasi, Masjid Pusaka Banua Lawas dipugar pada tahun 1669, 1769, 1791,1848,1932, dan terakhir tahun 1999 dan 2003 oleh Direktorat Linbinjarah.
Dibelakang masjid terdapat tumpukan batu bata yang berada di sela-sela makam kuno yang hingga kini belum diketahui apakah merupakan bekas jirat sebuah makam ataukah bekas rerun­tuhan bangunan pemujaan di masa lampau.
Di masjid tertua di Kabupaten Tabalong yang "dikeramatkan" itu, selain menjadi tempat ibadah, juga menjadi tonggak atau bukti sejarah diterimanya Islam bagi suku Dayak di Tabalong. Di teras depan Masjid Pusaka, ada dua tajau (guci tempat penampungan air yang dulunya digunakan suku Dayak untuk memandikan anak yang baru lahir). Kendati diterpa atau disengat matahari, namun dua tajau yang usianya mencapai 400 tahun itu tak berubah warnanya. Masjid ini ramai dikunjungi atau diziarahi umat Islam, termasuk dari Kaltim. Di Masjid Pusaka ini, masih tersimpan beduk asli dan petaka sepanjang 110 cm
Halaman Depan Mesjid Pusaka
Di samping masjid terdapat pekuburan warga setempat sejak dahulu dan salah satu yang mencolok adalah bangunan (kubah) yang merupakan makam pejuang Banjar (Kelua) bernama Penghulu Rasyid.
Dahulu di daerah Banua Lawas ini sudah tinggal dan bermukim para suku dayak / suku manyan, dan disitu sudah berdiri semacam pesanggra­han atau tempat pemujaan keper­cayaan Kaharingan suku Maanyan dalam bentuk yang sederhana. Tempat pemujaan itu diang­gap sakral, dan man­faatnya terasa sangat penting bagi orang-orang Maanyan yang pada masa itu banyak bermukim di Banua Lawas.
Mereka kemudian menyebut daerah lokasi bangunan pemujaan tersebut sebagai Banua Lawas atau Banua Usang. Suatu kemungkinan menunjukkan bahwa aktivitas masyarakat, kemunculan, dan berkembangnya daerah-daerah lain di sekitarnya berawal dari Banua Lawas ini.
Makam penghulu Rasyid disamping Mesjid
Kemungkinan peristiwa besar ter­jadi yang memaksa mereka harus meninggalkan kampung halaman dan bermukim atau membangun pemukiman baru, dan akhirnya mereka menyebut kampung yang ditinggalkan tersebut sebagai Banua Lawas.
Kabar lisan yang berkembang di Banua Lawas menyebutkan bahwa sebagian orang-orang Maanyan menyingkir karena mereka tidak bersedia menerima Islam sebagai agama mereka. Tetapi kemungkinan lainnya adalah berkaitan dengan para imigran pelarian dari Jawa yang datang aki­bat kerusuhan politik di daerah asalnya dan mendirikan kerajaan baru di pulau Hujung Tanah berna­ma Negara Dipa.

Legenda KALUA dan HINTALO

Kalau Amuntai terkenal dengan Itik Alabio nya, kalau Barabai terkenal dengan Apam Barabainya, Kalau Kandangan teh terkenal dengan Dodol nya, lain lagi dengan Kalua,dalam episode ini Kelua terkenal dengan Hintalo, napang garang maka Hintalo lah.....?
Kalau orang yang belum tahu, maka akan bingung, kanapa maka Kelua terkenal dengan Hintalo.
Kalau Amuntai ulih jua banyak orang bagaduhan itik di Alabio, sampai ribuan nang bagaduh di situ, ngintu pang nang maulah terkenal amuntai. sampai-sampai ada patung itik raksasa di kota amuntainya. parak jumbatan Paliwara.
Kalau di Barabai terkenal lawan Apamnya karena Apam Barabai nyaman-nyaman dan banyak dijual di daerah-daerah Barabai dan sekitarnya.
Kalau Kandangan teh banyak orang nang bajual Dodol Kandangan di pinggir jalan rayanya, amun bajalanan ka Kandangan kada langkap bila kada bulik karumah kada mambawakan Dodol Kandangan, ngintu pang nang maulah Kandangan terkenal se antiro ....
Namun Kalua terkenal lawan hintalo?? , Rupanya talusur dami talusur, sakalinya orang Kalua ne sakti-sakti, harat-harat dan hapuk-hapuk orangnya, orang kalua ngini kawa mamanjangakan hintalo, Bubuhan Kalua kawa mamanjangakan hintalo sampai 1 meter. hintalo napa haja kawa dipanjangkan, hintalo itik, hintalo ayam, hintalo bidawang kah tatap orang kalua kawa mamanjangakan, Para pakar Teknologi Dunia nang kaya Orang Jerman, orang Amerika lawan orang Japang haja  kada kawa mamanjangakan hintalo jadi 1 meter nang kaya orang kalua, Mun kaitu jakanya orang kalua ne masuk Rekor Indonesia pang / dapat penghargaan dari MURI, bahkan amun perlu masuk rekor dunia  GUEN'S OF THE WORLD, Setelah orang luar negeri meniliti lebih jauh, sakalinya lain hintalo nya nang   nang bapanjang secara fisik, hintalonya tatap kakaitu haja panjang nya, tapi sambatannya haja sakalinya nang bapanjang 1 meter, amun dari segi tajwid Al-Qur'an panjangnya menjadi 6 harakat atawa bisa jua dangarannya maliuk-liuk panjangnya kaya orang Adzan Magrib, malut banar ujar orang tadih..,,,  hintalo
Wajar haja pang orang kalua logat bahasanya panjang dan alunan melayu nya kental bangat, dikarenakan Kalua taparak lawan Malaysia, dibandingkan Amuntai, Barabai, dll.
Tapi biar kaitu Bubuhan Kalua kada usah supan dan minder lawan logat kita, kita tetap cinta tanah air kelahiran kita tercinta,  itulah sudah ciri khas logat orang Kalua nang ditakdirkan oleh ALLAH SWT, Tuhan sang Pencipta menciptakan manusia dari berbagi Ras, Suku, Warna Kulit, Bahasa dan Logatnya yang berbeda-beda, karena perbedaan itu adalah keindahan, semua manusia itu tidak ada yang sempurna dan semua saling memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, kalau kita malihat logat daerah lain, banyak jua nang modil modil, nang kaya logat orang Amuntai contohnya, kalau orang Kalua bepander pengucapannya fasih haja manyambat RRRR , mun orang Amuntai logat orangnya pilat-pilat, RRRR nya batagarrr kada bisa manyambat RRRR .(^_^) "peace Amuntai, damai ja qita

Kisah Syech Muhammad Nafis

Kubah Syekh Muhammad Nafis Bin Idris atau yang disebut  warga Kelua adalah Kubah Darrun Nafis terletak di sebuah desa kecil yang namanya adalah Desa Bahungin, Kubah ini sering  sekali dikunjungi dan di ziarahi oleh penduduk sekitar, bahkan dari kota jauh lainnya pun banyak yang berdatangan ke Kubah Syech Muhammad Nafis ini.
Kubah tampak samping
Bermacam-macam niat yang dimiliki peziarah datang ke kubah ini, ada peziarah yang datang  dengan niat membayar Nazar yang hajatnya sudah terkabul, yang tentunya ALLAH SWT lah yang mengabulkan. Ada pula yang datang sekedar berziarah saja ke makam Beliau, dikarenakan beliau  adalah tokoh ulama besar penyiar agama islam di kota kelua dan sekitarnya, para peziarah tidak lupa membawa kembang ataupun membelinya di dekat lokasi kubah tersebut dan meletakkannya di atas kubur beliau.
Dulunya Kubah Syech Muhammad Nafis ini tidak seindah sekarang,  bangunan fisiknya hampir keseluruhan  terbuat dari kayu, seiring ramainya pengunjung yang berziarah, maka  Pemerintah Daerah dan pihak-pihak terkait yang ikut membantu pembangunan ini terus melakukan renovasi berkali-kali, sampai terlaksana seperti sekarang ini (pada gambar).
Pintu gerbang masuk Kubah
Sejarah permulaan masuk dan perkembangan Islam di Banjarmasin pada dasarnya tidak lepas dari jasa Syekh Muhammad Nafis al-Banjari, peranan dan perjuangan para ulama dan tokoh-tokoh Islam yang hidup pada masa dulu. Salah satu dari sekian banyak para ulama dimaksud yang cukup populer namanya tidak hanya di banua, akan tetapi juga di Asia Tenggara adalah Syekh M. Nafis bin Ideris bin Al Husien Al Banjary. Di samping dikenal sebagai ulama yang ahli di bidang syariat (fiqih) beliau juga ahli di bidang tasawuf, dan telah menulis sebuah kitab yang berjudul Al-Durr al-Nafis, di mana sampai sekarang isi dari kitab tersebut masih menjadi materi perdebatan kontroversi para ulama, karena ajaran-ajaran tasawufnya yang dianggap beraliran Wahdatul Wujud. Siapakah Syekh Muhammad Nafis? Bagaimana sejarah kehidupan dan perjuangan dakwahnya? Dan bagaimanakah pemikiran paham tasawufnya? Adalah sejumkah pertanyaan menarik untuk dikaji lebih jauh lagi. Tulisan singkat ini berusaha untuk membutiri kembali sejarah kehidupan, perjuangan dan pemikiran beliau.
Makam Syech Muhammad Nafis
Muhammad Nafis merupakan seseorang yang berasal dari kalangan bubuhan keluarga bangsawan kerajaan Banjar. Beliau dilahirkan di salah satu desa yang sekarang termasuk sebagai bagian wilayah Martapura. Secara pasti tahun kelahiran beliau belum dapat dipastikan, namun menurut Laily Mansur merujuk pada kitab Al-Durr al-Nafis yang ditulisnya bertahun 1200 H atau 1785 M, dan jika umurnya waktu itu lebih kurang 50 tahun, maka diperkirakan beliau dilahirkan pada tahun 1150 H/1735 M. Akan tetapi karena beliau dikatakan hidup sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary yang lahir pada tahun 1122 H/1710 M maka penulis lebih condong dan berasumsi bahwa umur beliau tentu tidak jauh beda dengan usia Muhammad Arsyad. Karena itu besar kemungkinan tahun kelahiran Muhammad Nafis sama atau mendekati tahun kelahiran Muhammad Arsyad, bedanya hanyalah lebih muda atau lebih tua, yakni antara tahun 1700-1720.
Musholla tampak samping
Adanya bakat dan kecerdasan yang tinggi dibanding dengan teman-teman sebayanya waktu itu, kelebihan-kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh anak-anak yang lain, dan tanda-tanda akan menjadi seorang ulama besar, sebagaimana yang juga terlihat dalam diri Syekh Muhammad Arsyad, membuat Sultan Banjar tertarik. Sehingga pada akhirnya Muhammad Nafis pun dikirim ke Mekkah bersama Muhammad. Arsyad untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu lainnya yang berguna untuk diterapkan dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat Banjar ketika itu. Salah satu dari ilmu agama yang digelutinya, bahkan menjadikan ia populer adalah ilmu tasawuf. Dalam ilmu tasawuf dan tariqat ini Muhammad Nafis telah berguru kepada Syekh Abdullah Ibn Hijazi al Syarkawi al Misri, Syekh Siddiq Ibn Umar Khan, Syekh Muhammad Ibn Abdul Karim Samman al Madani, Syekh Abdurrahman Ibn Abdul Aziz al Maghribi dan Syekh Muhammad Ibn Ahmad al Jauhari. Karena itu sebenarnya di bidang ilmu tasawuf dan tariqat yang seguru dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary dan Abdussamad Al Palimbani.
Jalan di Kubah
Ahmadi Isa memperkirakan bahwa Muhammad Nafis pulang ke Banjarmasin pada tahun 1210 H/1795. Di mana pada masa itu yang memerintah di kerajaan Banjar adalah Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808 M). Setelah kembali ke Banjarmasin ia lebih mengarahkan dakwahnya ke daerah Kelua (Kabupaten Tabalong) dan sekitarnya sebagai daerah penting di pedalaman Kalimantan Selatan, jantung penyebaran Islam dan kunci masuk menuju daerah Kalimantan Timur. Sehingga dalam abad XVIII dan abad XIX daerah Kelua merupakan pusat penyiaran Islam di bagian Utara Kalimantan Selatan dan memiliki andil dalam gerakan-gerakan penyebaran Islam sampai kepada masa perjuangan merebut kemerdekaan.
Melihat lokasi yang menjadi medan gerak dakwahnya di atas penulis berasumsi bahwa besar kemungkinan kembalinya Syekh Muhammad Nafis ke banua terkemudian dari Syekh Muhammad Arsyad, itulah sebabnya ia lebih mengarahkan gerakan dakwahnya ke daerah Kelua dan sekitarnya yang masih kosong dan memerlukan pembinaan keagamaan. Karena perjuangan dakwah untuk Banjarmasin, Martapura dan daerah sekitarnya telah diisi oleh Syekh Muhammad Arsyad, sedangkan perjuangan dakwah untuk daerah bagian Selatan Banjarmasin seperti Rantau, Tambarangan dan sekitarnya dilakukan oleh Datu Sanggul, dan daerah Paringin-Balangan oleh Datu Kandang Haji.
Surau Kecil tempat do'a selamatan
Di samping itu boleh jadi pula bahwa dijadikannya Kelua sebagai pusat gerakan dakwahnya, disebabkan oleh ketidaksenangan Muhammad Nafis terhadap Belanda yang waktu itu sudah mulai ikut campur dan menguasai pusat kerajaan Islam Banjar. Kelua juga merupakan daerah yang strategis untuk kegiatan dakwah dan penyebaran agama Islam, karena letaknya di bagian utara kerajaan Islam Banjar waktu itu merupakan kunci masuk dan wilayah perbatasan antara wilayah kekuasaan kerajaan Banjar (Kalimantan Selatan) dengan wilayah Kalimantan bagian Tengah dan Kalimantan Bagian Timur.
Berbeda dengan Syekh Muhammad Arsyad yang lebih populer sebagai ulama syariat (ahli fiqih), Muhammad Nafis lebih dikenal sebagai seorang yang ahli tasawuf atau ulama tasawuf sampai ke negara-negara Asia Tenggara melalui bukunya Al-Durr al-Nafis. Judul lengkapnya adalah Al Durr al Nafis fi Bayan Wahdat al Af’al wa al Asma’ wa al Sifat wa al Zat, Zat al Taqdis, artinya Mutiara yang Indah yang Menjelaskan Kesatuan Perbuatan, Nama, Sifat dan Zat yang Suci, yang menurut riwayat ditulis dalam bahasa Arab Melayu berdasarkan permintaann kawan-kawannya dengan harapan dapat dibaca oleh mereka yang tidak pandai berbahasa Arab, ketika ia masih mukim di Mekkah.
Tempat berwudhu
Sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad yang mendapatkan ijazah khalifah dalam Tariqat Sammaniyah (Zafri Zamzam), maka Muhammad Nafispun diakui oleh gurunya menguasai ilmu tasawuf dan tariqat yang diajarkan kepadanya dengan baik, sehingga dia diberi gelar oleh gurunya sebagai Syekh Mursyid. Gelar ini merupakan pengakuan bahwa ia boleh mengajarkan tasawuf dan tariqat kepada orang lain. Ketinggian ilmu tasawuf yang dimiliki oleh Muhammad Nafis juga terlihat dari gelar yang diberikan kepadanya, sebagaimana tercantum pada halaman pertama kitab Al-Durr al-Nafis yang ditulisnya, yakni Maulana al Allamah al Fahhamah al Mursyid ila Tariq al Salamah al Syekh Muhammad Nafis Ibn Idris al Banjary. Itulah sebabnya wajar jika kitabnya tersebut memiliki pengaruh yang luas terhadap orang-orang yang hidup di zamannya, dan sesudahnya, serta tersebar ke berbagai daerah di Nusantara, bahkan Timur Tengah.....