DATU DAN WALI

=============================================================================================

Mari kita dukung pelestarian khazanah cerita rakyat Daerah Kalimantan Selatan seperti Maharaja sukarama dan raja-raja dari kerajaan negara daha, perebutan tahta pangeran samudera dengan pangeran tumenggung, legenda raja gubang, datu panglima amandit, datung suhit dan datuk makandang, datu singa mas, datu kurba, datu ramanggala di ida manggala, datu rampai dan datu parang di baru sungai raya, datu ulin dan asal mula kampung ulin, datu sangka di papagaran, datu saharaf parincahan, datu putih dan datu karamuji di banyu barau, legenda batu laki dan batu bini di padang batung, legenda gunung batu bangkai loksado, datu suriang pati di gambah dalam, legenda datu ayuh sindayuhan dan datu intingan bambang basiwara di loksado, kisah datu ning bulang di hantarukung, datu durabu di kalumpang, datu baritu taun dan datu patinggi di telaga langsat, legenda batu manggu masak mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga bidadari datu awang sukma di hamalau, kisah gunung kasiangan di simpur, kisah datu kandangan dan datu kartamina, datu hamawang dan datu kurungan serta sejarah mesjid quba, tumenggung antaludin dan tumenggung mat lima mempertahankan benteng gunung madang, panglima bukhari dan perang hamuk hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di lukloa, datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai, datu buasan dan datu singa jaya di hampa raya, datu haji muhammad rais di bamban, datu janggar di malutu, datu bagut di hariang, sejarah mesjid ba angkat di wasah, dakwah penyebaran agama islam datu taniran di angkinang, datu balimau di kalumpang, datu daha, datu kubah dingin, makam habib husin di tengah pasar kandangan, kubur habib ibrahim nagara dan kubah habib abu bakar lumpangi, kubur enam orang pahlawan di taal, makam keramat bagandi, kuburan tumpang talu di parincahan, pertempuran garis demarkasi dan kubur Brigjen H.M. Yusi di karang jawa, pahlawan wanita aluh idut di tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan Ibnu hajar, sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI yang dipimpin Brigjen H. Hasan Baseri dan pembacaan teks proklamasinya di Kandangan. Semuanya adalah salah satu aset budaya dan sejarah bagi Kalimantan Selatan.

Kamis, 19 Februari 2015

Habib Abdullah Bin Ja’far Assegaf

Habib Abdullah bin Ja`far bin Umar bin Ja`far bin Syeckh bin Segaf Assegaf, lahir di Empang Bogor pada hari Senin 8 Juni 1981, bertepatan dengan 5 Sya`ban 1401 H
Ia adalah putra kedua pasangan Habib Ja`far Assegaf dengan Syarifah Fathmah binti Hasan bin Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Attas. Ia adik kandung Habib Hasan bin Ja`far Assegaf, pengasuh dan pendiri Majelis Nurul Musthofa. Kedua adiknya yang juga kini sudah terjun di dunia dakwah adalah Habib Musthofa dan Habib Qosim.
Sejak kecil Habib Abdullah dididik dengan pendidikan agama yang ketat. Sang ayah, Habib Ja`far, sangat keras dalam mengawasi perkembangan anak-anaknya, terutama dalam hal menanamkan pengetahuan agama. Tak mengherankan, di samping belajar di madrasah, Habib Abdullah juga belajar ngaji kepada seorang ustadz yang sengaja dipanggil datang ke rumah.
Di usia tujuh tahun, Habib Abdullah sudah diwajibkan untuk tidak lepas membaca Ratib Al-Attas selepas shalat Maghrib.
Setelah ratiban, selepas shalat Maghrib, ia berangkat ke madrasah sampai jam setengah sembilan malam. Sedangkan di pagi harinya, ia belajar di SDN Empang 2 Bogor. “Waktu itu Abah selalu berpesan, ‘Kamu harus jadi orang alim. Tapi kamu harus tetap melihat kepada kakak kamu (Habib Hasan)’.”
Habib Abdullah menuturkan bahwa abahnya sering bercerita, ada satu keluarga memiliki empat orang putra. Keempat putranya itu menjadi orang besar karena putra pertamanya lebih dahulu menjadi orang besar. “Abah bilang, insya Allah kakakmu, Hasan, bakal jadi.” Karenanya, sejak kecil, Habib Abdullah selalu disarankan oleh abahnya untuk mengikuti jejak kakaknya, Habib Hasan. Itulah sebabnya, baginya, Habib Hasan bukan sekadar kakak, tetapi juga guru dan pembimbing yang diteladaninya.
Lulus dari SD tahun 1993, Habib Abdullah melanjutkan belajar ke SMPN 10 Cipaku dan lulus tahun 1996.
Setamat dari SMP, ia, yang selama itu selalu meraih peringkat sepuluh besar dan sangat menyukai pelajaran Matematika dan Fisika, tidak memiliki tekad lain kecuali masuk ke sekolah menengah atas favorit. Maka ia pun mendaftarkan diri dan diterima di SMAN 4 Bogor.
Namun ternyata sang ayah tidak mengizinkannya untuk melanjutkan ke sekolah umum, dan bermaksud memasukkannya ke pesantren. Meski demikian Habib Abdullah tetap bersikeras untuk tetap melanjutkan pendidikan di sekolah umum, sampai-sampai ayahnya berkata, “Abah masukin kamu SD, SMP, biar bisa baca tulis, biar enggak dibohongin orang. Abah mau kamu mendalami agama. Kalau mau melanjutkan ke sekolah umum, silakan cari duit sendiri.”
“Tapi waktu itu saya tetap keukeuh dengan pendirian untuk masuk ke sekolah umum sampai-sampai Abah ngediemin saya,” kata Habib Abdullah mengenang abahnya, yang wafat tahun 2002.
Setelah kurang lebih enam bulan lamanya, akhirnya Habib Abdullah menyerah. “Ya udah deh, Abah, saya nyerah, terserah Abah aja kalau memang mau masukin saya ke pesantren.”
Selama enam bulan itu, Habib Abdullah meniru apa yang dilakukan Habib Hasan. Setiap hari yang dilakukannya hanya pulang-pergi dari rumah ke masjid.
Tidak lama kemudian Habib Abdullah dikirim ke pesantren Habib Nagib di Bekasi
Namun baru beberapa hari, suasana pesantren, yang sama sekali baru bagi Habib Abdullah, sudah membuatnya tidak kerasan, terlebih lagi sejak awal ia tidak berminat untuk masuk ke pesantren. “Saya pun langsung nelepon Abah, saya sengaja bikin-bikin kisah-kisah yang nggak enak ke Abah.... Pokoknya yang penting waktu itu saya bisa pulang.”
“Sudah bisa baca Maulid belum?”
“Belum, Abah.”
“Nggak bisa. Kalau sudah bisa baca Maulid, kamu baru boleh pulang.”
Mendengar kata-kata sang ayah, akhirnya Habib Abdullah menggunakan waktu sepenuhnya untuk mempelajari Maulid, agar secepatnya bisa pulang. Kurang lebih tiga bulan lamanya, dan Maulid Al-Habsyi pun sudah dikuasainya dengan baik.
Habib Abdullah pun kemudian dijemput pulang kembali ke Empang.
Di pertengahan tahun 2007, Habib Abdullah diantar oleh Habib Hasan menuju Pesantren Darullughah Waddakwah (Dalwa). Di pesantren inilah, setelah bertemu dengan Habib Hasan Baharun, pandangan Habib Abdullah tentang pesantren dan dunianya mulai berubah. Mulai saat itu tekad dan cintanya sepenuhnya untuk pesantren.
“Waktu itu, ketika dites, karena semua materinya kebanyakan bahasa Arab, sedangkan membaca Al-Qur’an saja yang saya bisa, akhirnya saya pun ditempatkan di kelas III Ibtidaiyah Diniyah.” Adapun untuk Mu`adalahnya (sekolah persetaraan)-nya, Habib Abdullah tetap melanjutkan ke tingkat Aliyah hingga tamat dan mendapatkan ijazah.
Tahun 2000 adalah tahun duka bagi Habib Abdullah. Pada tahun itu, sang guru ruhani, Habib Hasan Baharun, dipanggil oleh Allah SWT. Pada tahun itu juga, Habib Abdullah mohon diri kepada Habib Zein bin Hasan Baharun, penerus Habib Hasan, untuk melanjutkan pendidikan Diniyahnya ke Hadhramaut di bawah tanggungan Habib Abdullah Krasak, yang masih termasuk keluarga dari ibunya.
Namun Allah berkehendak lain. Sebelum ia berangkat ke Hadhramaut, Habib Abdullah Krasak sudah terlebih dahulu dipanggil menghadap Allah SWT.
Sepeninggal Habib Abdullah Krasak, Habib Abdullah meminta pendapat Habib Shodiq Baharun, adik Habib Hasan Baharun, untuk langkah selanjutnya. Atas saran beliau, Habib Abdullah diminta untuk datang ke Darul Musthofa, Batik Keris, Solo, untuk membantu-bantu Habib Sholeh, pengasuh pesantren.
Di Solo, selain membantu di Darul Musthofa, Habib Abdullah juga aktif mendatangi majelis Habib Anis Solo untuk menimba ilmu kepada beliau.
Belum setahun tinggal di Darul Musthofa, Habib Hasan, yang waktu itu sudah memiliki majelis yang besar, meneleponnya untuk kembali ke Jakarta. Habib Hasan memintanya agar aktif membantu di Majelis Nurul Mushthofa. “Karena keinginan Habib Hasan tidak lain hanya agar masyarakat Jabodetabek ini, khususnya, dan masyarakat Indonesia, pada umumnya, mengenal dan mencintai Rasulullah, untuk membatu dan meneruskan apa-apa yang sudah dilakukan oleh para alim ulama, asatidz, kiai, dan habaib, selama ini,” kata Habib Abdullah.
Kini, selain diamanati sebagai ketua Yayasan Nurul Mushthofa, Habib Abdullah juga dipercaya untuk mengasuh Nurul Mushthofa wilayah Ciganjur dan sekitarnya serta mendampingi Habib Hasan di setiap kegiatan gabungan majelis Nurul Mushthofa.
Tahun 2004, Habib Abdullah menikah dengan Syarifah Fathimah binti Umar bin Alwi Al-Haddad dan kini sudah dikaruniai tiga orang putra. "Yang tertua bernama Muhammad, kedua Abdurrahman, dan yang ketiganya masih dalam kandungan."
“Ganti Namanya dengan Nama Ane”
Sebelum mengakhiri kisahnya, Habib Abdullah menuturkan satu kenangan terindah bersama Al-Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, meskipun ia sendiri belum sempat mengaji kepada beliau.
Ketika putra keduanya lahir, Habib Abdullah memberinya nama “Muhsin”, mengambil dari nama kakeknya, Habib Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Aththas. Namun putranya itu lahir dalam kondisi sangat kritis.
Dalam situasi semacam itu, Habib Abdullah hanya pasrah kepada Allah. Ia pun shalat Hajat dan memohon kesembuhan sang putra tercintanya. Tapi hari demi hari kondisi sang putra belum juga menunjukkan tanda-tanda adanya perubahan.
Melihat situasi seperti itu, Habib Hasan, sang kakak, menyarankan agar Habib Abdullah pergi menemui Al-Walid Habib Abdurrahman Assegaf Bukit Duri untuk meminta “air”, karena beliau adalah wali min awliyaillah, wali di antara wali-wali Allah.
Tanpa pikir panjang lagi, Habib Abdullah segera menuju ke kediaman Al-Walid dan mengutarakan maksud dan tujuannya.
“Nama anak ente siape?”
“Muhsin, Bib.”
“Dari mane nama itu diambil?”
“Ane ambil dari nama kakeknya, Bib. Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Aththas.”
Mendengar nama itu, Al-Walid diam sejenak.
“Emang namanya keberatan, Bib.”
“Ah, enggak. Bagus... bagus....”
Setelah minta air dan didoakan, Habib Abdullah pun segera mohon diri untuk kembali ke rumah sakit.
Namun belum lagi sampai di pintu majelis, tiba-tiba Al-Walid berseru, “Walad, ta`al... (Nak, sini...).”

Dengan wajah terkejut Habib Abdullah segera kembali menghampiri Al-Walid, yang masih duduk di tempat shalatnya.
“Ente mau anak ente sembuh, sehat.”
“Ye, Bib.”
“Ganti namanya dengan nama ane.”
Sontak saja, kata-kata Al-Walid, yang tidak diragukan lagi kewaliannya itu, bagaikan hujan membasahi bumi yang tengah kering kerontang dilanda kemarau panjang.
Tanpa menunda, saat itu juga Habib Abdullah langsung menelepon agar nama “Muhsin” yang diubah menjadi “Abdurrahman”.
“Alhamdulillah, mulai saat itu juga kondisi Abdurrahman berangsur-angsur membaik,” kata Habib Abdullah. “Ini sungguh merupakan keajaiban dari Allah....”

Habib Seqqaf bin Muhammad as-Seqqaf

Buah Ma'rifat kepada Allah
Sesungguhnya tidak memandang keutamaan diri sama sekali
 adalah buah ma'rifat kepada Allah dan kebesaran-Nya.

Al-Habib Segaf bin Muhammad Assegaf, semoga Allah meridhainya, hidup pada abad ke-12 Hijriyyah. la tumbuh besar dalam asuhan dan didikan ayahandanya, Al-Habib Muhammad bin Umar bin Thaha Assegaf.

Kepada ayahnya, di antaranya ia mempelajari kitab Tuhfah, karya Ibn Hajar, sampai-sampai ia hampir menghafal isinya, juga kitab Minhaj, karya Imam An-Nawawi, yang dengan kitab ini disebutkan pintu hatinya sering terbuka (Fath).

Begitu bersemangatnya ia belajar, hingga ia selesai menelaah kitab Al-Ubab, karya Al-Muzjid, dalam satu majelis diteras rumahnya. Al-Ubab adalah kitab yang cukup tebal di antara kitab-kitab penting dalam Madzhab Imam Syafi'i.

la juga dapat menghafal Al-Quran dengan hafalan yang sangat kuat. Itu dikarenakan, setiap kali ia telah menghafalnya, ia mengulanginya lagi. Disebutkan, ia telah menghafalnya sampai tujuh kali hafal. Menceritakan pengalamannya tentang hal itu, ia bertutur, "Jika ibuku melihat aku terlalu banyak belajar, beliau merasa kasihan. Adakalanya beliau lalu mengambil mushaf dari tanganku, karena kasihan melihat diriku."

Sejak dari kecil pula ia telah terbiasa hidup secara zuhud. Zuhudnya Habib Segaf adalah zuhudnya kaum arifin yang menyadari bahwa “cinta dunia merupakan sebesar-besamya hijab dalam menempuh jalan menuju Allah”, la pernah menjual barang-barang miliknya dengan harga yang rendah, sebagai tanda ketidaksukaannya kepada barang-barang tersebut.

Selain sikap hidup yang zuhud, sejak masa kecilnya ia juga telah membiasakan diri beribadah dengan tekun. la selalu bangun di akhir malam untuk mengerjakan shalat Tahajjud di masjid Habib Thaha bin Alwi. la pernah mengatakan, "Aku tak pernah meninggalkan shalat di akhir malam sepanjang hidupku, sekalipun hanya sekali. Dan aku, berkat karunia Allah, sudah melakukannya sejak berusia tujuh tahun."

Kepekaan sosialnya juga telah terasah sejak ia masih kecil. la pergi ke luar kota untuk sekadar membawa ikatan kayu bakar perempuan-perempuan yang lemah hingga menuju ke dalam kota . Dimalam hari, ia mengisi kolam-kolam di kota yang biasa dipergunakan sebagai tempat minum binatang ternak. Itu semua dilakukannya untuk menggembleng jiwanya dan mengatasi hawa nafsunya, di samping juga karena merasa kasihan terhadap makhluk-makhluk Allah yang lemah.

Sehelai Daun
Guru Habib Segaf yang paling utama adalah ayahnya, yaitu Habib Muhammad bin Umar bin Thaha Assegaf, seorang ulama besar yang disepakati kewalian-nya. Habib Muhammad semasa hidupnya dipercaya memegang jabatan qadhi.
Sedar kecil, Habib Segaf selalu dekat dengan ayahnya. Bahkan hampir-hampir tidak pernah berpisah dengannya. Selain menonjol dalam keilmuan, sifat wara' sang ayah juga sangat dikenal dan menurun kepadanya.

Sekali waktu ia pemah berjalan di belakang ayahnya. Saat melewati tepian sawah, ia memetik sehelai daun. Kemudian ayahnya menoleh ke arahnya seraya mengatakan, "Dari mana engkau memperolehnya di akhirat nanti jika Tuhanmu menanyai engkau tentang  sehelai daun itu?" Setelah berusia lanjut, ia mengatakan, "Pertanyaan ayahku itu senantiasa terngiang-ngiang di dalam hatiku dan masih melekat sampai sekarang."

Selain kepada ayahnya, ia juga berguru kepada Habib Ali bin Abdullah Assegaf. Habib Ali, seorang wali yang diyakini telah mencapai maqam quthb, maqam tertinggi dalam kewalian, adalah gurunya yang paling terkemuka, bahkan termasuk syaikhul futuh (guru pembuka tabir pengetahuan) baginya.

Sejak muda usia, gurunya ini dikenal rajin bermujahadah dengan mujahadah yang sangat berat. Kepada gurunya ini, ia meleburkan dirinya selebur-lebumya, sampai-sampai diibaratkan hampir bercampur dengan darah dagingnya.

Di antara akhlaq terpuji Habib Ali, semasa hidupnya, bahkan di dalam sakit yang berakhir dengan kewafatannya, ia tidak pemah meninggalkan satu sunnah pun dari sunnah-sunnah Nabi Muhammad SAW.

Setelah Habib Ali bin Abdullah Assegaf wafat, Habib Segaf mendirikan sebuah bangunan kubah di atas makam tempat bersemayamnya jasad mulia itu.

Selain berguru kepada Habib Ali bin Abdullah Assegaf, ia juga menuntut ilmu kepada Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfagih, Habib Ahmad bin Zein AI-Habsyi, Habib Muhammad bin Zein Bin Smith, Habib Umar Hamid, Habib Hasan bin Abdullah bin Alwi AI-Haddad, dan Syaikh Muhammad bin Yasin Ba Qais.

Mirip Akhlaq Rasulullah
Akhlaq Habib Segaf mirip dengan akhlaq Rasulullah SAW. la adalah seorang yang shiddiq, atau jujur, hingga bila ia berbicara sering ia mengulang-ulanginya. "Saya khawatir, bertambah satu kalimat itu adalah dusta." la selalu berkata benar walau di tempat-tempat yang membahayakan jiwanya, seperti di hadapan sultan atau orang-orang zhalim.

la juga seorang yang telah mencapai sifat wara' sampai pada suatu tingkat yang jarang ditemukan di masa sekarang, hingga disebutkan sedikit sekali bahkan dari kalangan orang shalih yang mencapai tingkatan wara' seperti yang dimiliki-nya. Sifat wara' sudah menyatu dalam hidupnya dan tidak pemah berpisah dengannya walau sekejap mata pun, baik dalam hal makan, minum, maupun urusan lainnya.

Soal pakaian, bila hendak membuat baju, ia mengambil kapas dari tempat yang baik, lalu ia serahkan kepada wanita yang ia tahu keadaannya sangat miskin sekali. Kemudian ia serahkan kepada tukang tenun yang wara'.

Soal makanan, ia juga sangat hati-hati. la membeli makanan dari seorang yang sangat ia kenal, dan masih terhitung kerabatnya, yaitu Habib Muhammad bin Alwi bin Thaha. Ia membeli makanan darinya dikarenakan ia tahu persis setiap tahapan proses dan asal-muasal makanan yang ia beli. Mengenai hal itu, ia mengatakan, "Aku perhatikan makanan darinya lebih mendekati kepada halal, karena ia adalah seorang pemilik sawah, dan ada petani yang mengurusnya."

Di rumah tinggalnya, selain terdapat harta milik keluarganya sendiri, ia juga mendapatkan sedikit bagian dari wakaf masjid, sebagai pengurus masjid.

Jika ia disuguhi kutma, ia akan menanyakan hal itu, "Ini wakaf, atau dari uang kalian?"
Jika dijawab "Dari wakaf, kurma itu dikembalikannya. Tentang hal itu ia mengatakan, "Barangkali aku bukan orang yang telah melaksanakan seluruh tugas dengan sebenar-benarnya."

Di antara akhlaq terpuji lainnya adalah ia tidak memandang keutamaan diri sama sekali dan ia benar-benar merasa membutuhkan Allah Ta'ala. Sesungguh-nya tidak memandang keutamaan diri sama sekali adalah buah dari ma'rifat kepada Allah dan kebesaran-Nya.

Selain akhlaq terpuji di atas, Habib Segaf juga memiliki banyak keunggulan sifat. Berikut sekilas dari beberapa sifat utamanya:

• Sabar Menghadapi Musibah. Suatu hari, seorang anaknya yang sangat dicintainya dan sangat ia harapkan akan menggantikannya kelak, yaitu Abdurrahman, jatuh sakit. Dari hari ke hari penyakitnya bertambah parah, hingga berakhir dengan kematian.
Pada saat itu, seluruh penduduk kota menjadi gempar, karena putra Habib Segaf ini dikenal sebagai seorang pemuda yang, sekalipun baru berumur 17 tahun, keluasan ilmunya sulit dicari tandingannya. Menyaksikan kedukaan orang banyak itu, ia sendiri hanya tersenyum, bahkan ia mengatakan, "Di hatiku muncul perasaan gembira yang sangat besar.... Aku ridha... aku ridha."

 • Mendahulukan Orang Lain, la adalah seorang yang banyak berpuasa. Suatu malam, di saat akan berbuka, ia disuguhi makanan yang lezat. Saat itu ia mengatakan, "Antarkan makanan ini kepada Abdun Masyik." Abdun Masyik adalah seorang yang dikenal sebagai lelaki shalih pada saat itu.
Allah menggambarkan orang yang memiliki sifat demikian dalam firman-Nya, "Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." - QS AI-Hasyr (59): 9.


Jika musim kemarau berkepanjangan dan keadaan semakin bertambah berat, ia mendatangi orang-orang kaya dan berutang kepada mereka dan kemudian menitipkan uangnya itu di toko-toko. Setiap kali ia melihat ada orang yang sedang kesusahan, ia menyuruh orang tersebut mendatangi toko-toko yang telah dititipinya uang untuk mengambil barang-barang yang dibutuhkan.
Beberapa kali ia juga melunasi utang-utang kerabatnya tanpa sepengatahuan para kerabatnya itu, padahal ia sendiri bukanlah terhitung orang yang mampu. Bahkan untuk itu, seperti telah disebut di atas, ia sendiri terpaksa berutang. Namun demikian, dalam masalah berutang pun ia seorang yang selalu berusaha menyegerakan untuk melepaskan diri dari utang. la selalu memikirkan utangnya bila dalam waktu agak cukup lama ia belum dapat melunasinya. Tampak di wajahnya tanda-tanda kesedihan hingga ia dapat melunasi utangnya tersebut.

• Mudah Memaafkan. Sekali waktu, Sultan Muhsin bin Umar, penguasa kala itu, ingin mengangkatnya untuk mengurus anak-anak yatim. Karena merasa berat dengan amanah itu, ia tidak mau menerima pengangkatan tersebut. Rupanya Sultan tersinggung dan kemudian mengancam akan membunuhnya. la menyuruh salah seorang budak-nya untuk menembak Habib Segaf, seraya mengatakan, "Kalau kau tidak berhasil membunuhnya, kau akan kubunuh."
Singkat cerita, ketika Habib Segaf keluar dari rumah salah seorang sahabatnya yang bernama Umar Ash-Shabban , ia pun ditembak oleh budak itu dengan jarak yang cukup dekat, hingga mengenai dan menembus sisi samping perutnya. la pun terjatuh. Namun sebelum sampai jatuh di tanah, ia telah menghalalkan perbuatan budak itu. la khawatir, bila ia mati sebelum memaafkan, dengan sebab perbuatan itu si budak kelak akan disiksa di akhirat. Namun demikian, ia selamat dari usaha pembunuhan itu.
Sungguh benar apa yang difirmankan Allah SWT, "Sifat-sifat yang baik tersebut tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar." - QS Fushshilat (41): 35.

•   Membersihkan Hati sebelum Tidur. Apabila hendak tidur, ia merenungkan keadaan dirinya dan memperhatikan hatinya, apakah pada saat itu di dalam hatinya terkandung niat yang kurang baik terhadap seseorang yang memusuhinya atau menzhaliminya. Bilamana mendapatkan hal itu, ia segera menghilangkannya terlebih dahulu, lalu ia menghadapkan hatinya kepada Allah dengan niat yang sebaliknya.
Sepanjang hidupnya, ia tidak tidur kecuali dalam keadaan yang paling baik hatinya, karena ia khawatir akan dijemput maut pada saat tidumya. Inilah kebiasaan dirinya di setiap malam.

•   Menggembirakan Hati Orang Lain. la terkadang duduk-duduk bersama para pengemis yang biasa berkeliling ke rumah-rumah untuk meminta sedekah. la duduk sambil minum kopi bersama mereka. Apabila ada orang yang menderita kusta atau belang yang hendak menjabat tangannya, yang terkadang orang lain enggan melakukannya, ia justru me-nyambut jabatan tangan itu dengan hangat. Betapa besar perbuatan menggembirakan orang-orang yang hancur hatinya, yang karena penyakitnya ia sampai mengasingkan diri dari orang banyak....

• Membela Kaum Tertindas. Apabila ada orang-orang yang mendapat gangguan dari orang-orang yang zhalim, atau ada kasus-kasus dengan pihak penguasa, ia membelanya dengan keadaannya, hartanya, dan perkataannya. Karena sifat wara'nya, ia tidak mau menerima apa-apa dari seorang pun dari usaha yang telah dilakukannya itu.

• Tidak Gila Hormat. la sebenarya tidak suka orang mencium tangannya. Mencium tangannya bagai menyusahkan hatinya. Apalagi bagi yang hendak mencium kakinya. "Cukup tangan saja," demikian ia mencegahnya. Namun demikian, ia memahami ke-inginan orang-orang yang hendak bertabarruk kepadanya dengan mencium tangannya. Dalam hal itu, ia masih berusaha mendulang kebajikan dari hal tersebut. la, yang memang terbiasa memakai minyak wangi, sengaja membanyakkan minyak wangi di punggung te-lapak tangan kanannya. "Semoga itu menjadi balasan bagi orang yang menciumnya," ujarya beharap.

• Hadir bersama Si Miskin. Bila diminta hadir untuk suatu jamuan atau walimah pernikahan, ia tidak bersedia hadir kecuali kalau ia melihat di sana ada orang-orang mukmin yang miskin, lemah, dan melarat. Beberapa kali ia keluar rumah tempat diadakan sebuah jamuan karena syarat tadi tak terpenuhi. Akhimya, para pemilik hajat itu pun memintanya kembali, "Kembalilah, dan jangan patahkan hati kami. Engkau boleh membawa siapa saja yang kau kehendaki."
Maka ia pun kembali dengan terlebih dulu mencari orang yang dikehendakinya, yaitu orang-orang dari kaum dhu'afa. Setelah usai jamuan, ia mengatakan, "Berilah para peminta-minta itu." la tidak keluar dari rumah itu kecuali bila mereka telah mengeluarkan sesuatu untuk para peminta-minta tersebut.


Terompah Sang Guru
Di keheningan subuh itu, ia bangkit berdiri untuk shalat Subuh dan tidak meninggalkan satu pun dari sunnah-sunnah shalat.Usai shalat, ia merasakan perutnya melilit. Oleh anaknya, ia dipapah menuju kamar kecil. Kemudian ia mengambil wudhu kembali dengan dibantu oleh anaknya.

Setelah berwudhu, ia kembali ke tempatnya seraya menghadapkan diri kepada Tuhannya. Ketika rasa sakitnya bertambah, putranya mendengar ia mengucapkan sebuah ayat AI-Quran, "Dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin dengan kemenangan yang baik."-QSAI-Anfal{8):17.

Setelah ajalnya semakin mendekat, perkataan terakhir yang diucapkannya adalah, "Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkati, dan Engkau adalah sebaik-baik Yang memberi tempat." - QS AI-Mukminun (23): 29.

Habib Segaf bin Muhammad Assegaf wafat pada Sabtu subuh, tanggal 11 Syawwal 1195 H/1781 M.Setelah ia wafat, keluarganya membuka lemarinya. Di dalamnya tidak di-dapati harta benda dunia selain sepasang terompah milik gurunya, Habib Ali bin Abdullah Assegaf, yang ia ciumi setiap hari, karena kecintaannya yang mendalam kepada sang guru.
Semoga Bermanfaat...........

Habib Luthfi Bin Muhammad Al-Haddad

Haddad bin Muhammad bin Umar bin Muhammad bin Ja’far bin Muhammad bin Ja’far bin Muhammad bin Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwy Al-Hadad bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwy bin Ahmad bin Abu Bakar Al–Thowil bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Al-Faqih bin Abdurrohman bin Alwy bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Kholi’ Qosam bin Alwi bin Muhammad Shohib Shouma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Muhajir Ilallah Ahmad bin Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam As-Sibth Al-Husein bin Al-Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib suami Az-Zahro Fathimah Al-Batul binti Rosulullah Muhammad SAW.

Sederhana dan teduh. Itulah kesan pertama bila kita berjumpa Habib Lutfi Al-Haddad, Walau ia masih relatif muda, orang yang berdekatan dengannya akan merasa terayomi.
Ia lahir di Probolinggo, Jawa Timur, tahun 1981, dari seorang ibu, Syarifah Qomariyah binti Husin Alaydrus, dan ayah, Muhammad bin Haddad Al-Haddad. Ia anak pertama dari lima ber¬saudara. Ia juga mempunyai saudara satu ibu yang berlainan ayah, empat orang, salah satunya Habib Ali Zainal Abidin Alaydrus, pendiri Majelis Nurul Qoma¬riyah di Cileduk, Tangerang.

Habib Lutfi Al-Haddad sangat senang bersilaturahim ke rumah-rumah anak didiknya. Di pesantren tempat ia mengajar, Pondok Pesantren Darul¬lughoh wa Da’wah (Dalwa), Bangil, Jawa Timur, ia mendidik santri-santrinya seperti mendidik adik-adiknya sendiri. Para santri pun merasa tak ada jarak dengannya, yang juga alumnus STAI Dalwa dan Ponpes Dalwa Jurusan Syari’ah.

Ghirah Keilmuan
Ketika masih menuntut ilmu di pesan¬tren, Habib Lutfi belajar sangat keras. Di pesan¬tren tempat ia belajar, para santri diwajib¬kan bisa membaca, menulis, dan berbi¬cara dengan bahasa Arab. Hanya diberi waktu selama tiga bulan, mereka harus sudah bisa menggunakan bahasa Arab.
Suatu ketika ia ditemui Abuya Hasan Baharun (alm.), pengasuh pe¬santren. Ia, yang sedang asyik mem-baca Wirdul Lathif di masjid, setelah sha¬lat Subuh, kaget ketika melihat siapa yang datang mendekatinya.
“Lutfi Amir, kamu ingin menjadi artis atau orang alim?” Habib Hasan Baharun tiba-tiba menanyakan hal yang di luar dugaan.
“Ingin menjadi orang alim, Abuya…,” jawabnya.
Habib Hasan Baharun tersenyum men¬dengar jawaban itu.
“Saya ingin menjadi santri yang ama¬nah, tidak mau melanggar aturan, agar hidup saya berkah di dunia dan akhirat.” Ia tanamkan niat untuk menjadi manusia yang beramal shalih, yang bermanfaat bagi umat.
Habib Lutfi terkejut mengapa hal itu dita¬nya¬kan oleh Habib Hasan Baharun. Ter¬nyata, setelah diselidiki, umi Lutfi Al-Had¬dad pernah bertanya langsung ke¬pada Habib Hasan Baharun mengenai seorang artis, saat itu saudaranya ada yang menjadi artis.
Ia tergolong santri yang cerdas dan pintar. Selama mondok di Darullughah, ia telah diminta untuk mengajar.

Berkhidmah selama Lima Tahun
Sudah menjadi kewajiban para san¬tri, mereka diminta mengajar minimal se¬lama satu tahun sebelum meninggalkan pesantren. Tetapi, karena kecintaannya kepada para santri dan senang meng¬ajar, Habib Lutfi mengajar hingga lima lima tahun.
Ia berkhidmah di cabang Pondok Pesantren Darullughah, setelah lulus dari Darullughah tahun 2004, di Pesan¬tren Ba’alawi, Pandean, Bangil. Ia meng¬ajar bahasa Arab, tauhid, fiqih, hadits, dan masih banyak lagi.
Dalam kesehariannya mengajar, ia begitu dekat dengan santri-santrinya. Ia bisa menempatkan dirinya sebagai orangtua, sahabat, kakak, maupun se¬ba¬gai guru. Ia menampung segala keluh kesah santrinya dan kemudian memberi¬kan solusi.
Habib Lutfi adalah guru yang sangat dicintai santri-santrinya, sampai suatu ketika, saat ia diminta dakwah ke Banjar¬masin, murid-muridnya terharu dan me¬rasa kehilangan, karena begitu dekatnya mereka dengannya.
Selama berkhidmah di Pesantren Ba’alawi, ia sama sekali tidak minta ba¬yaran. Semua dilakukannya karena ke¬cintaannya akan syiar Islam, dan cita-citanya berdakwah lillahi ta’ala.
Setelah berkhidmah selama lima ta¬hun di Pondok Pesantren Ba’alawy, Habib Lutfi Al-Haddad pernah diajak berdakwah ke Sampit, pedalaman di Kalimantan. Ia diajak oleh teman seke¬lasnya, (alm.) Ustadz Muhib Sayyidil Anwar, waktu mereka masih bersama-sama mondok di Darullughah.

Dihadapi dengan Senyum
Dari kecil Habib Lutfi Al-Haddad memang sudah mempunyai keinginan untuk ber¬dakwah. Ini tak lepas dari bimbingan dan dorongan kedua orangtuanya.
Mengajar dan menjadi murabbi telah ia jalani tak kurang dari 10 tahun sejak ia lulus dari Darullughah wad Dakwah. Memang ia sangat menikmati rutinitas yang ia jalani selama itu.
“Saya sangat senang mengajar, dan saya cinta anak-anak,” ujarnya, yang saat ini tengah menanti buah hati per¬tamanya setelah dua tahun menikah.
Namun, perjuangan dakwahnya tak selalu mulus. Tak sedikit orang yang me¬nyikapi dakwahnya dengan fitnah, caci¬an, dan makian. Tapi semua itu ia hadapi dengan senyum. Ia telah bertekad de¬ngan sepenuh hati untuk menjalankan apa yang telah ia niatkan, berdakwah. Ia tak mengharap penghargaan di mata manusia, tujuannya hanya mengharap ridha Allah.
Ia menginginkan agar ilmu yang di¬dapatnya bisa bermanfaat untuk orang banyak, dan meneruskan perjuangan Rasulullah SAW, demi menciptakan ma¬syarakat yang mengerti dan menjalan¬kan kewajibannya sebagai hamba Allah.
Kini, Habib Lutfi sudah mencapai apa yang dicita-citakannya sejak kecil. Kegiatan dakwahnya dilakukan hampir setiap hari, memenuhi undangan siapa saja tanpa pilih-pilih. Mengajar, mengisi taushiyah, ke mana pun dan di mana pun. Ia juga mengisi undangan salah satu televisi swasta untuk mengisi tau-shiyah subuh, hampir setiap hari.
Di tengah kepadatan jadwal sehari-harinya, ia masih menyempatkan diri untuk mendatangi dan menerima jama’ahnya, bahkan secara individual.

Majelis Nurul Qomariyah
Kini, setelah hijrah ke Tangerang, tepatnya di Cileduk, Habib Lutfi berdakwah membantu kakaknya, Habib Ali Zainal Abidin Alaydrus, yang telah men¬dirikan Majelis Nurul Qomariyah, pada bulan Maret 2010. Ia telah mendapat ridha dari Habib Zein bin Hasan Baharun ketika menyampaikan keinginannya untuk membantu sang kakak di Majelis Nurul Qomariyah.
Semua santri dan murid serta ja¬ma’ah¬nya di Jawa Timur, tempat asal¬nya, bersedih ketika Habib Lutfi Al-Haddad berpamitan untuk membantu majelis kakaknya di Cileduk, Tangerang. Mereka sangat kehilangan sosok Habib muda yang rendah hati dan tak mem¬batasi diri dalam setiap pergaulannya.
Di Majelis Nurul Qomariyah, ia meng¬ajarkan kepada santri-santrinya semua ilmu yang telah didapatnya ketika belajar di Darullughah.
Kini, Majelis Nurul Qomariyah makin berkembang. Undangan untuk dakwah bersama sang kakak hampir setiap ming¬gu datang. Undangan untuk mengajar dan mengisi taushiyah hampir setiap hari.
Habib Lutfi Al-Haddad semakin ber¬semangat menjalani hari-harinya, karena ia merasa dibutuhkan umat. Dan nya¬tanya umat memang sangat membutuhkannya....

Syekh Umar Bin Syekh Yusuf

Riwayat singkat :

beliau adalah orang yang ber kepribadiaan yang amat luhur, serta zuhud dan wara ..
beliau adalah orang yang ikut serta dalam pembangun mesjid Agung Al-Karomah martapura ..
sewaktu itu beliau bergelar Lothoh, pergilah beiau bersama 3 keluarga nya mengambil kayu ulin beserta syeikh muhammad afif atau dikenal datu landak ..
beliau termasuk zuriyat oleh syeikh muhammad arsyad al-banjary.
tugas beliau sewaktu berangkat mencari kayu ulin tersebut hanya menjadi tukang pijat bagi ke 3 keluarga nya tersebut ..

jikalau tidak khilaf beliau mempunyai 4 istri.
istri yg tertua yaitu bertempat di pesayangan .. dan melahirkan 7 orang anak ..
lalu beliau berpindah ke tungkaran ( kampung keramat ).
selama 3 hari beliau di tungkaran sekeluarga tiada makan, anak pun tidak berani mempertanyakan makan apa kita hari ini. sampai di hari ke 4 anak beliau pun memberanikan diri untuk mengatakan bahwa diri nya lapar ..
setelah itu beliau mengambil batu, dan batu tersebut pun dimasak oleh istri beliau hingga 3 sampai 4 bulan tidak makan melainkan meminum air tanggaran batu tsb ..
baru lah tanaman beliau berbuah seperti singkong dll ..
batu tsb pun masih ada dan sangat banyak orang yg mencari nya
ternyata batu dan piring cangkir beliau tsb beliau lempar ke dalam sumur yg berada di samping makam beliau.
al-hasil skrg banyak org yg jauh-jauh dtg hanya untuk mengambil barokah air yg ada di dalam sumur tsb. dan ada yg tidak percaya cerita ini, lalu dia mengambil botol dan mengambil air yg berada di sumur itu sambil berkata " jikalau benar didalam sumur ini ada batu beliau, maka air yg ada di botol ini pasti akan menjadi batu. "
tatkala diangkat botol tersebut masya allah, separu air yg ada di dalam botol tersebut menjadi batu layak nya es batu ( keras ) ..
dan ada pula habib yg ziarah dan engambil barokah air itu dgn mengambil barokah wali dan semoga mendapat keturunan, setelah 4 bulan istri beliau hamil ..

dan ada pula habaib yg ziarah mengatakan " ini memang sumur org wali, jadi tergantung innamal a'amalu binniyat saja lagi "

tentang riwayat sumur tsb pun tidak diketahui oleh guru ramli yg menjadi petugas makam beliau selama 4 tahun, adapun kejadian nya berawal dari orang banjar yg datang ziarah selama 40 hari 40 malam .. sewaktu hari ke 40 org banjar tsb di temui oleh syeikh umar yg memberi amanah agar sumur tsb dicari dan di bersihkan oleh guru ramli ..
setelah itu disampaikan lah amanah tsb kpd guru ramli dan langsung beliau cari bersama org banjar itu .. setelah di pukul-pukul tanah sekitar makam, ternyata keluar air itu ke atas hingga sekitar 2 meter lebih ..

beliau juga mempunyai beberapa karangan perukunan yg beliau bagi sampai ke pengaron ..

di ceritakan oleh anak beliau yg perempuan bernama jambrud yg berumur sekitar 150 thn, menceritakan kepadaku guru ramli : " sebelum beliau wafat, beliau menabuk lubang, betakun anak sidin, gasan apa pian menabuk lubang bah ?". beliau menjawab " kena nyaman luh ae mun urang kada tahu xwa langsung mengubur ja lagi "
ternyata 4 hari kemudian beliau wafat, beluman waktu siang banar sudah datangan urg dalam pagar, telok selong, ada yg membawa kain, ada yg membawa macam-macam tu pang
.. pas 40 hari bini sidin yg ke empat buik ke log gobang, bini yg kedua kdd bisi anak, bini yg ke tiga iya yg di sungai danau banyak bisi anak "


demikian lah riwayat beliau ini semoga berkat riwayat singkat beliau ini, kita dimudahkan urusan dunia dan akhirat dan mati khusnul khothimah ..


Aamiin.

FHOTO ASLI

KAROMAH HABIB LUTHFI BIN YAHYA

Kisah tentang sebuah niat yang mengalahkan logika ilmiah. Kisah nyata Muhammad Syamsuri, beliau adalah Anggota Helm aktif (Grup Helm MR yaitu aktivis Majelis Rasulullah saw yang bertugas mengatur lalu lintas dan menghimbau Jama’ah Majelis Rasulullah saw agar mematuhi peraturan lalu lintas dan menggunakan helm bagi pengendara motor, serta mengatur kelancaran lalu lintas ketika ada pengajian Majelis Rasulullah saw.)

Kisah ini dialami oleh saudara kita, namanya Muhammad Syamsuri. Beberapa waktu lalu beliau kecelakaan mobil di Tol Cipularang dan mengalami retak tulang kaki sehingga harus menggunakan kursi roda. Dokter sudah angkat tangan. Namun Syam tidak putus asa. Ia pergi ke Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan untuk minta doa. Syam ini adalah murid Habib Luthfi.

Pertama kali bertemu, Habib Luthfi bertanya kepada Syam tentang niatnya jika kakinya sembuh. Syam menjawab bahwa ia ingin kembali kerja di Jakarta. Spontan Habib Luthfi menjawab bahwa ia tidak mungkin sembuh seumur hidup, harus memakai kursi roda. Syam dan keluarganya menangis mendengar kabar itu. Setelah itu Habib Luthfi pun pergi dan membiarkan Syam selama 3 minggu di rumahnya.
Selama waktu itu Syam hanya bengong dan meratapi nasibnya. Hingga suatu malam Syam bermimpi didatangi Habib Munzir al Musawa yang lantas rebahan di samping Syam dan memberikan lembar jadwal majlis MR sambil berbisik, "Bilang Habib Luthfi bahwa kamu ikut saya di Jakarta".

Pagi harinya Syam lantas menemui Habib Luthfi dan berkata bahwa ia di Jakarta membantu dakwah Habib Munzir dengan mengatur lalu lintas. Mendengar hal itu Habib Luthfi kaget dan lantas bertanya apa yang menyebabkan dia berubah niat? Syam lantas menceritakan mimpinya. Habib Lutfi kemudian memeluk Syam dan berkata, "Kamu besok sembuh. Pulang ke Jakarta berkah". Habib Luthfi kemudian mengusap kaki Syam dengan air beberapa kali.

Malam harinya yaitu Senin malam bertepatan dengan majlis rutin MR di Al Munawar minggu lalu, jam 21.00 kaki Syam sudah bisa digerakkan dan bisa untuk berjalan. Akhirnya Syam bisa berjalan seperti sebelumnya dan kini Syam sudah kembali membantu dakwah Habib Munzir dengan aktif membantu mengatur lalu lintas di Al Munawar.

Karomah dua orang wali dan niat yang lurus mengalahkan logika ilmiah medis yang sudah mengatakan tidak akan sembuh.
Subhanallah….


Cerita Abu al-Abbas al-Mursi

Wali Qutb kita ini adalah al-Imam Syihabuddin Abu al-Abbas, Ahmad bin Umar al-Anshory, al-Mursi radiallahu 'anhu. sebagian ahli sejarah ada yang mengatakan bahwa nasab beliau sampai pada sahabat Sa'ad bin Ubadah radiallahu 'anhu pemimpin suku Khazraj. Al-Mursi dilahirkan tahun 616 H (1219 M) di kota Marsiyyah, salah satu kota di Andalus Spanyol.

Masa kanak-kanak al-Mursi
Al-Mursi melewatkan masa kecilnya yang penuh berkah di tanah kelahirannya itu. Lazimnya seorang alim dan pendidik, ayahnya mengirim al-Mursi kecil kepada salah satu waliyullah untuk membimbing menghapal Alquran dan mengajarinya ilmu-ilmu agama. Secepat kilat ia terlihat kehebatan dan kecerdasannya. Lebih dari itu ia yang masih sekecil itu telah memperoleh anugrah Allah berupa cahaya ilahi yang merasuk dalam kalbunya. Suatu ketika al-Mursi bercerita : "Ketika aku masih usia kanak-kanak aku mengaji pada seorang guru. Aku menorehkan coretan pada papan. Lalu guru tadi mengatakan :" seorang sufi tidak pantas menghitamkan yang putih". Seketika aku menjawab : "permasalahannya bukan seperti yang Tuan sangka. Tapi yang benar adalah seorang sufi tidak pantas menghitamkan putihnya lembaran hidup dengan noda dan dosa”.
Al-Mursi kecil juga mengatakan: "ketika aku masih kanak-kanak, di sebelah rumahku ada tukang penguak rahasia (peramal) lalu aku mendekatinya. Besoknya aku datang ke guruku yang termasuk waliyullah. Maka guruku itu mengatakan padaku satu syair: “Wahai orang yang melihat peramal sembari terkesima. Dia sendiri sebetulnya peramal, kalau dia merasa.

Masa muda
Al-Mursi meneruskan hidupnya pada jalan cahaya ilahi sampai menginjak dewasa. Semakin hari semakin tambah ketakwaan dan keimanannya. Ayahnya melihatnya sebagai kebanggaan tersendiri. Maka dia dipercaya oleh ayahnya untuk mengelola perdagangannya bersama saudaranya Muhammad Jalaluddin. Dengan begitu, ia telah mengikuti jejak orang-orang saleh dalam hal menggabungkan antara ibadah dan mencari rizqi. Demi menjaga amanat ini ia rela berpindah-pindah tempat dari kota Marsiyah ke kota lainnya untuk berniaga, sambil hatinya berdetak mengingat Allah SWT.
Pada tahun 640 H kedua orang tuanya bersama seluruh keluarga berkeinginan menunaikan ibadah haji. Tapi sayang, takdir berbicara lain. Sesampainya di pesisir Barnih, kapal mereka terkena gelombang. Banyak penumpang kapal yang meningal termasuk kedua orang tuanya. Singkat cerita al-Mursi muda dan saudaranya melanjutkan perjalannya ke Tunis untuk berdagang, meneruskan usaha ayahya.

Pertemuan dengan al-Syadziliy
Al-Mursi menceritakan perjumpaannya dengan Syaikh Abu al-Hasan as-Syadzily sebagai berikut: "Ketika aku tiba di Tunis, waktu itu aku masih muda, aku mendengar akan kebesaran Syaikh Abu al-Hasan. Lalu ada seseorang yang mengajakku menghadap beliau. Maka aku jawab : "aku mau beristikharah dulu"! Setelah itu aku tertidur dan bermimpi melihat seorang lelaki yang mengenakan jubah (Burnus) hijau sambil duduk bersila. Di samping kanannya ada seorang laki-laki begitu juga di samping kirinya. Aku memandangi lelaki nan berwibawa itu. sejurus kemudian lelaki itu berkata : "aku telah menemukan penggantiku sekarang"! Di saat itulah aku terbangun.

Selesai menunaikan sholat subuh, seseorang yang mengajakku mengunjungi Syaikh Abu al-Hasan datang lagi. Maka kami berdua pergi ke kediaman Syaikh Abu al-Hasan as-Syadzili. Aku heran begitu melihatnya. Syekh yang ada di hadapanku inilah yang aku lihat dalam mimpi. Dan keherananku semakin menjadi ketika Syekh Abul Hasan berkata padaku: "Telah aku temukan penggantiku sekarang". Persis seperti dalam mimpiku. Selanjutnya beliau bilang : "siapa namamu ?" Lalu aku sebutkan namaku. Dengan tenang dan penuh kewibawaan beliau berujar : "Engkau telah ditunjukkan padaku semenjak 20 tahun yang lalu!".

Semenjak kejadian itu al-Mursi terus mendapatkan wejangan-wejangan dari gurunya Syaikh Abu al-Hasan ini. Mereka berdua membangun pondok (Zawiyyah) Zaghwan di daerah Tunis, di mana as-Syadzili menyebarkan ilmu kepada murid-murid-muridnya yang beraneka ragam latar belakang dan profesinya. Ada dari kalangan ulama', pedagang juga orang awam.
Syaikh al-Syadzili sebetulnya sudah lama meninggalkan Tunis. Ia pergi ke Iskandariyah kemudian ke Mekkah. Kembalinya ke Tunis lagi ini membuat orang bertanya-tanya. Dalam hal ini dia menjawab : "Yang membuatku kembali lagi ke Tunis tidak lain adalah laki-laki muda ini (maksudnya Abul 'Abbas al-Mursi)". Setelah itu Al-Syadzily kembali lagi ke Iskandariah, karena ada perintah dari Nabi Muhammad SAW dalam mimpinya.

Ada cerita dari al-Mursi tentang perjalanan ke Iskandariah ini : "Ketika aku menemani Syaikh dalam perjalanan menuju ke Iskandariah, aku merasa sangat susah sehingga aku tidak mampu menanggungnya. Lalu aku menghadap Syaikh. Ketika beliau melihat penderitaanku ini, beliau berkata: "Hai Ahmad…!", aku menjawab: "Iya tuanku", Beliau berkata: "Allah telah menciptakan Adam alaihis salam dengan tangan-Nya, dan memerintahkan malaikat-Nya untuk bersujud padanya. Allah kemudian menempatkannya di dalam surga, lalu menurunkannya ke bumi,. Demi Allah… Allah tidak menurunkannya ke bumi untuk mengurangi derajatnya, tapi justru untuk menyempurnakannya. Allah telah menggariskan penurunannya ke bumi sebelum Dia menciptakannya, sebagaimana firmannya "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".. (QS. 2:30). Allah tidak mengatakan di langit atau di surga. Maka turunnya Adam ke bumi adalah untuk memuliakannya bukan untuk merendahkannya, karena Adam menyembah Allah di surga dengan di beri tahu (Ta'rif) lalu diturunkan ke bumi supaya beribadah pada Allah dengan kewajiban (Taklif), ketika dia telah mendapatkan kedua ibadah tadi, maka pantaslah dia menyandang gelar pengganti (Khalifah). Engkau ini juga punya kemiripan dengan Adam. Mula-mula kamu ada di langit ruh, di surga pemberitahuan (Ta'rif) lalu engkau diturunkan ke bumi nafsu supaya engkau menyembah dengan kewajiban (Taklif). Ketika engkau telah sempurna dalam kedua ibadah itu pantaslah engkau menyandang gelar pengganti (Khalifah)".

Begitulah Syaikh Al-Syadzili mengantarkan Al-Mursi menuju ke jalan Allah demi memenuhi hatinya dengan rahasia-rahasia ilahiyah supaya kelak bisa menggantikannya, bahkan bisa dikatakan supaya dia jadi Abu al-Hasan itu sendiri. Sebagaimana Al-Syadzili sendiri pernah mengatakan : "Wahai Abu al-Abbas… demi Allah., aku tidak mengangkatmu sebagai teman kecuali supaya kamu itu adalah saya, dan saya adalah kamu. Wahai Abu al-Abbas.. demi Allah, apa yang ada dalam diri para wali itu ada dalam dirimu, tapi yang ada pada dirimu itu tidak ada dalam diri para wali lainnya".
Persatuan antara keduanya ini di jelaskan oleh Ibn Atho'illah al-Askandari: "Suatu ketika Syaikh al-Syadzili ada di rumah Zaki al-Sarroj, sedang mengajar kitab al-Mawaqif karangan al-Nafari, lalu beliau bertanya: "Kemana Abu al-Abbas?" Ketika Syaikh al-Mursi datang, beliau berkata: "Wahai anakku… bicaralah! Semoga Allah memberkahimu… bicaralah ! jangan diam", maka Syaikh Abu al-Abbas mengatakan: "Lalu aku di beri lidah Syaikh mulai saat itu".

Pada banyak kesempatan Syaikh al-Syadzili memuji ketinggian kedudukan Syaikh al-Mursi, beliau mengatakan: "Inilah Abu al-Abbas, semenjak dia sampai pada ma'rifatullah tidak ada halangan antara dirinya dan Allah SWT. Kalau saja dia meminta untuk ditutupi, pasti permintaan itu tidak akan dikabulkan.
Ketika ada perselisihan antara Syaikh al-Mursi dengan Syaikh Zakiyyuddin al-Aswani, Syaikh al-Syadzili bekata: "Wahai Zaki… berpeganglah pada Abu al-Abbas, karena demi Allah, semua wali telah ditunjukkan oleh Allah akan diri Abu al-Abbas ini. Hai Zaki… Abu al-Abbas itu seorang laki-laki yang sempurna".

Hal yang sama juga terjadi ketika ada perselisihan antara Syaikh al-Mursi dengan Nadli bin Sulton. Syaikh al-Syadzily mengatakan: "Wahai Nadli… tetaplah bersopan santun pada Abu al-Abbas! Demi Allah, dia itu lebih tahu lorong-lorong langit, dibanding pengetahuanmu akan lorong-lorong kota Iskandariah"! As-Syadzili juga mengatakan: "Kalau aku mati, maka ambillah al-Mursi, karena dia adalah penggantiku, dia akan mempunyai kedudukan tinggi di hadapan kalian, dan dia adalah salah satu pintu Allah".

Ilmu al-Mursi
Imam Sya'roni menceritakan bahwa suatu ketika ada seseorang yang mengingkari keilmuan Syaikh al-Mursi. Orang tersebut mengatakan: "berbicara tentang ilmu yang ada itu hanya ilmu lahir, tetapi mereka, orang-orang sufi itu mengaku mengetahui hal-hal yang diingkari oleh syara'". Di kesempatan yang lain orang ini menghadiri majlis Syaikh al-Mursi. Tiba-tiba dia jadi bingung hilang kepintarannya. Seketika itu juga ia tidak mengingkari adanya ilmu batin. Dengan sadar dan penuh sesal ia berkata : "Laki-laki ini sungguh telah mengambil lautan ilmu Tuhan dan tangan Tuhan". Akhirnya dia menjadi salah satu murid dekat al-Mursi. Abu al-Abbas mengatakan : "Kami orang-orang sufi mengkaji dan mendalami bersama ulama' fiqih bidang spesialisai mereka, tapi mereka tidak pernah masuk dalam bidang spesialis kami".

Rupanya kealiman al-Mursi tidak terbatas pada ilmu fiqh dan tasawuf. Ibnu Atho'illah menceritakan dari Syaikh Najmuddin al-Asfahani : “Syaikh Abu al-Abbas berkata padaku: "Apa namanya ini dan itu dalam bahasa asing?" Tersirat dalam hatiku bahwa Syaikh ingin mengetahui bahasa ajam maka aku ambilkan kamus terjemah. Beliau bertanya: " Kitab apa ini?", Aku jawab : "Ini kitab kamusnya". Lalu Syaikh tersenyum dan berkata: " Tanyakan padaku apa saja, terseserah kamu, nanti aku jawab dengan bahasa arab, atau sebaliknya". Lalu aku bertanya dengan bahasa asing dan beliau menjawab dengan memakai bahasa Arab. Kemudian aku bertanya dengan bahasa Arab, beliau menjawab dengan bahasa asing. Beliau berkata: " Wahai Abdullah… ketika aku bertanya seperti itu tidak lain adalah sekedar basa-basi bukan bertanya sesungguhnya. Bagi wali tidak ada yang sulit, bahasa apapun itu.

Dalam penafsiran ayat "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada-Mulah kami mohon pertolongan. "(QS. 1:5), al-Mursi menafsiri sebagai berikut, "Hanya Engkaulah yang kami sembah maksudnya adalah Syariah, dan hanya kepada-Mulah kami memohon adalah Haqiqoh. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Islam, dan hanya kepada-Mulah kami mohon pertolongan adalah Ihsan. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Ibadah, dan hanya kepada-Mulah kami mohon pertolongan adalah Ubudiyyah. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Farq, dan hanya kepada-Mulah kami mohon pertolongan adalah Jam'.

Karomah Kedekatannya dengan Yang Maha Kuasa menyebabkan ia banyak mempunyai karomah, di antaranya:

* Al-Mursi telah mengabarkan siapa penggantinya setelah ia meninggal. Orang itu adalah Syaikh Yaqut al-Arsyi yang lahir di negeri Habasyah. Suatu ketika ia meminta murid-muridnya agar membuat A'sidah (sejenis makanan). Iskandariah pada saat itu tengah musim panas. Karena heran ada seseorang yang bertanya : "Bukankah A'sidah itu untuk musim dingin ?". Dengan tenang al-Mursi menjawab : " A'sidah ini untuk saudara kalian Yaqut orang Habasyah. Dia akan datang kesini ".
* Ada seseorang yang datang menghadap al-Mursi dengan membawa makanan syubhah (tidak jelas halal-haramnya) untuk mengujinya. Begitu melihat makanan itu al-Mursi langsung mengembalikannya pada orang tersebut sambil berkata: "Kalau al-Muhasibi hendak mengambil makanan syubhah otot tangannya bergetar, maka 60 otot tanganku akan bergetar" .
* Pada suatu masa perang, penduduk Iskandariah semua mengangkat senjata untuk berjaga-jaga menghadapi serangan musuh. Demi melihat hal ini, Syaikh al-Mursi mengatakan: " Selama aku ada ditengah-tengah kalian, maka musuh tidak akan masuk". Dan memang musuh tidak masuk ke Iskandariah sampai Abu-al Abbas al-Mursi meninggal dunia.