DATU DAN WALI

=============================================================================================

Mari kita dukung pelestarian khazanah cerita rakyat Daerah Kalimantan Selatan seperti Maharaja sukarama dan raja-raja dari kerajaan negara daha, perebutan tahta pangeran samudera dengan pangeran tumenggung, legenda raja gubang, datu panglima amandit, datung suhit dan datuk makandang, datu singa mas, datu kurba, datu ramanggala di ida manggala, datu rampai dan datu parang di baru sungai raya, datu ulin dan asal mula kampung ulin, datu sangka di papagaran, datu saharaf parincahan, datu putih dan datu karamuji di banyu barau, legenda batu laki dan batu bini di padang batung, legenda gunung batu bangkai loksado, datu suriang pati di gambah dalam, legenda datu ayuh sindayuhan dan datu intingan bambang basiwara di loksado, kisah datu ning bulang di hantarukung, datu durabu di kalumpang, datu baritu taun dan datu patinggi di telaga langsat, legenda batu manggu masak mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga bidadari datu awang sukma di hamalau, kisah gunung kasiangan di simpur, kisah datu kandangan dan datu kartamina, datu hamawang dan datu kurungan serta sejarah mesjid quba, tumenggung antaludin dan tumenggung mat lima mempertahankan benteng gunung madang, panglima bukhari dan perang hamuk hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di lukloa, datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai, datu buasan dan datu singa jaya di hampa raya, datu haji muhammad rais di bamban, datu janggar di malutu, datu bagut di hariang, sejarah mesjid ba angkat di wasah, dakwah penyebaran agama islam datu taniran di angkinang, datu balimau di kalumpang, datu daha, datu kubah dingin, makam habib husin di tengah pasar kandangan, kubur habib ibrahim nagara dan kubah habib abu bakar lumpangi, kubur enam orang pahlawan di taal, makam keramat bagandi, kuburan tumpang talu di parincahan, pertempuran garis demarkasi dan kubur Brigjen H.M. Yusi di karang jawa, pahlawan wanita aluh idut di tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan Ibnu hajar, sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI yang dipimpin Brigjen H. Hasan Baseri dan pembacaan teks proklamasinya di Kandangan. Semuanya adalah salah satu aset budaya dan sejarah bagi Kalimantan Selatan.

Senin, 21 April 2014

Cerita Istana Raja Mori,dll

1.  Istana Mori, Morowali, Sulawesi Tengah
 
Istana Raja Mori terletak di atas bukit kurang lebih 25 m dari permukaan laut dengan luas lokasi 960 m2. Istana ini terdiri dari bangunan induk dan anak  bangunan dibangun diatas pendasi beton ukuran tinggi maksimum 1,17 m dan minimum 1,08 m dari muka tanah.Secara administrasi rumah bekas Istana Raja Mori ini terletak di desa Kolonedale Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah.
Dari kajian-kajian yang bersumber  dari peninggalan leluhur yang didukung dengan kepustakaan yang ada, diketahui bahwa Kerajaan Wita Mori adalah kerajaan persemakmuran yang terdiri dari gabungan Kerajaan-Kerajaan/Wilayah Otonom yang mempunyai pimpinan sendiri-sendiri. Walaupun demikian, bahasa, adat istiadat serta silsilah Raja-Raja/Pemimpin yang pernah menduduki jabatan dapatlah diketahui bahwa mereka berasal dari satu keturunan ratusan tahun yang silam. Ikatan kekeluargaan ini yang merupakan pengikat solidaritas yang mendorong lahirnya kerajaan persemakmuran untuk membangun secara bersama-sama kesejahteraan dan pertahanan secara terpadu dalam menghadapi perang antar suku (Mengayau) dan menghalau ekspansi Kolonial Belanda yang mulai mencampuri urusan perdagangan di Teluk Tomori (Peristiwa Towi, 1948).

Dari beberapa kajian pula, baik yang berbau mitologi maupun cerita-cerita rakyat (folk tale), kisah Sawerigading yang turun temurun di kalangan tua-tua Wita Mori, dapatlah dikatakan bahwa Kerajaan Wita Mori merupakan pengembangan dari Kerajaan Luwu. Hal ini dipertegas lagi dengan adanya Upeti yang harus dikirimkan setiap tahun kepada Datu Luwu dari beberapa kerajaan Sulawesi Tengah bagian timur, antara lain Kerajaan Bungku, Mori dan Banggai. Saat itu, Kerajaan Wita Mori dipimpin oleh seorang Ratu bernama Wedange yang dibantu oleh Karua/Tadulako bernama Kello dan berkedudukan di Wawontuko (Puncak Tongkat). Pada waktu itu Raja Mori Wedange tidak mau menghadiri panggilan Datu Luwu untuk bertemu di  Uluanso sehubungan dengan keterlambatan pembayaran upeti dan hanya menyampaikan pesan lewat Karua Kello bahwa “saya lebih baik memilih mati”. Sejak saat itu, Kerajaan Luwu mulai menyerang Kerajaan Mori yang dalam pertempuran sengit berhasil menaklukkan serta menawan Raja Wedange dan keluarganya serta Karua Kello di Palopo.

Sejak saat itu Kerajaan Wita Mori mengalami kekosongan Pemimpin dalam menghadapi serangan Pengayau sampai dengan tampilnya seorang tokoh legendaris, seorang Tadulako dengan gelar Tandu Rumba-Rumba bernama Rorahako. Rorahako mengumpulkan para Tadulako dari setiap anak suku di Wita Mori untuk menghadap Datu Luwu dan memohon agar Raja Wedange dibebaskan agar dapat kembali memimpin Kerajaan Wita Mori. Permohonan itu direstui oleh Datu Luwu.  Namun, Wedange yang pada saat itu telah lanjut usia menunjuk anaknya Pangeran Anamba untuk menjadi Raja dengan syarat Kerajaan Wita Mori tidak lagi berkedudukan di Wawontuko, akan tetapi di suatu tempat yang lebih jauh ke pedalaman yaitu satu tempat yang bernama Pa’antoule (Petasia).

Walaupun hanya kerajaan kecil namun tercatat pula sejarah yang mengisahkan tentang peperangan kerajaan ini melawan Kolonial Belanda. Perang melawan pemerintah Hindia Belanda pertama kali terjadi  pada tahun 1856 yang dikenal dengan Perang Mori Pertama (Perang Ensaondau) yang dipimpin oleh Raja Tosaleko yang pada saat itu telah mulai dapat menghimpun kekuatan setelah beberapa kali melakukan pembenahan dari struktur pemerintahan sebelumnya yang dianggap kurang memuaskan dalam mengurus kegiatan pemerintahan serta pertahanan keamanan kerajaan. Dalam perang Ensaondau tersebut, Belanda berhasil merebut dan mengibarkan benderanya di Benteng Ensaondau. Pasukan Belanda berhasil menduduki Tompira dan Benteng Ensaondau, membakar permukiman di Patongoa dan Wawontuko. Namun, ekspedisi pasukan Belanda ini dianggap kurang memuaskan karena telah banyak menelan korban dari pasukan militer serta mengeluarkan anggaran yang sangat besar, dan nyatanya Kerajaan Mori tetap berjaya menjadi satu kerajaan merdeka dan berdaulat penuh.

Perang besar lainnya, yaitu Perang Mori Kedua (Perang Wulanderi) yang dipimpin oleh Raja Marunduh (Datu ri Tana) pada bulan Agustus 1907. Perang ini berakhir dengan kematian Raja Marunduh Datu ri Tana setelah mendapat serangan dari pasukan Marsose di Benteng Wulanderi. Kematian Raja Mori ini menimbulkan duka yang teramat dalam bagi rakyat Mori. Hal ini menjadi titik terlemah bagi perjuangan rakyat Mori dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya. Rakyat Mori dirundung duka dan berkabung sehingga sangat sulit untuk kembali membangkitkan semangat untuk meneruskan perlawanan. Pada akhirnya atas kesepakatan bersama para Mokole dan Tadulako, seluruh daerah pertahanan mengibarkan bendera putih sebagai tanda pernyataan menyerah. Dengan demikian pasukan ekspedisi Belanda menyataka bahwa seluruh wilayah Kerajaan Mori telah berhasil ditaklukkan dan dikuasai pada 20 Agustus 1907.

Berdasarkan rekomendasi Bupati Poso Nomor 012/0152/DP tanggal 27 Mei 1997 tentang pemberian wewenang sepenuhnya Situs Istana Raja Mori kepada DEPDIKBUD. Surat pernyataan putera ahli waris Awolu Marunduh dengan ikhlas menyerahkan Istana Raja Mori ke Pemda Poso tanggal 5 September 1997. 

2. Istana Banggai, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah
 
Kerajaan Banggai klasik telah ada dan dikenal sekitar abad ke 13 M dengan nama Benggawi, di era kejayaan Kerajaan Mojopahit dibawah pimpinan Prabu Hayam Wuruk (1351-1389), dimana kerajaan Banggai saat itu telah menjadi bagian dari kerajaan Mojopahit, sebagaimana disebut pada seuntai syair dalam buku Nagara kertagama karya Mpu Prapanca. Dalam struktur Kerajaan Banggai klasik menurut Dr.Alb.C.Kruyt dalam studinya De Vorsten van Banggai, Kerajaan Banggai kala itu dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Adi yang tinggal di Linggabutun yang terletak digunung Bolukan (sekarang Padang Laya) dan empat orang yang merupakan suatu dewan penasehat bagi Adi dan diberi gelar Tomundo Sangkap yang masing-masing mempunyai kekuasaan tertentu.Mereka inilah sejatinya pendiri Kerajaan Banggai. Secara berturut-turut disebut empat orang Adi yang memerintah sebelum Adi Lambal Polambal memerintah. Adi Lambal Polambal menjadi raja terakhir fase Kerajaan Banggai klasik. Selama ia memerintah sering terjadi perselisihan antar saudara di antara empat raja kecil (tomundo Sangkap) yang merupakan dewan penasehat bagi Adi, yang sukar untuk didamaikan oleh Adi Lambal Polambal.

Pada masa pemerintahan Adi Lambal Polambal inilah muncul seorang bangsawan dari tanah Jawa yang merupakan panglima perang Sultan Baabullah dari Kerajaan Ternate bernama Adi Cokro alias Adi Soko. Adi Cokro kemudian hadir sebagai sosok pembawa kedamaian atas gejolak internal Kerajaan Banggai, sehingga karena kebijaksanaannya, Adi Lambal dan keempat tomundo tersebut menawarkan pemerintahan kepadanya. Karena identitasnya sebagai sebagai seorang panglima perang Kesultanan Ternate inilah yang kemudian melegitimasi  kerajaan Banggai sebagai bagian dari taklukan Kesultanan Ternate, meskipun Adi Cokro hadir tidak dengan cara konfrontasi militer melainkan menjalankan misi penyebaran agama islam. Adi Cokro kemudian naik tahta menjadi raja Banggai dengan gelar Mbumbu, sejak itulah gelar adi menghilang digantikan dengan mbumbu.

Masa Adi Cokro memimpin disinalah menjadi fase awal peradaban Kerajaan Banggai moderen, ia kemudian dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banggai moderen  setelah beliau sukses memperluas wilayah Kerajaan Banggai (klasik) yang sebelumnya hanya meliputi wilayah Pulau Banggai saja menjadi kerajaan utama (primus inter pares) dari beberapa kerajaan yang ada dengan menundukan kerajaan – kerajaan di Pulau Peling seperti Kerajaan Tokolong (Buko), Lipu Babasal (Bulagi), Sisipan, Liputomundo, Kadupang dan Kerajaan Bongganan, hingga sampai ke jazirah timur daratan Sulawesi dengan menaklukan Kerajaan Tompotika, Bola, Lowa, dan Kerajaan Gori-gori yang kemudian disebut wilayah Banggai darat (sekarang Kab.Banggai). Ia kemudian mengatur pemerintahan atas daerah-daerah kekuasaannya serta membawa masuk agama islam di seluruh wilayah kekuasaan kerajaan Banggai. Pulau Banggai tetap dijadikan pusat pemerintahannya, sementara itu Adi yang terakhir yaitu Adi Lambal Polambal diangkat kembali sebagai pelaksana pemerintahannya dengan memberi kepadanya jabatan Jogugu, sedangkan dewan penasehat, yaitu keempat raja (tomundo) kecil juga mendapat gelar kehormatan Pau Basal / Basalo yang lebih rendah dari tomundo.

Sebutan Pau Basal yang dalam bahasa berarti “anak besar” dianggap sebagai satu gelar kehormatan, karena membentuk suatu hubungan antara bapak-anak antara Mbumbu dengan keempat Pau Basal itu, daerah kekuasaan mereka ditentukan kembali dari gunung Bolukan dimana sang raja membangun sebuah istana untuk salah seorang istrinya. Tetapi dalam pembagian daerah itu diatur sedemikian rupa sama seperti para bapak leluhurnya, yakni para Tomundo. Keempat Pau Basal sangat dihormati oleh Mbumbu dan para penerusnya, mereka merupakan suatu dewan penasehat, yang pengaruhnya sama luasnya dengan kekuasaan Mbumbu.

Karena suatu hal, Adi Cokro kembali ke tanah Jawa, akibatnya kerajaan Banggai mulai mengalami kekacauan dan kevakuman pemerintahan yang cukup panjang. Dalam desertase Banggaische Adatrecht oleh Dr.JJ.Dormeier disebutkan bahwa pasca  Adi Cokro, ada delapan orang Mbumbu berturut-turut yang memerintah Kerajaan Banggai. Tiga diantaranya tercatat sebagai Mbumbu dinaadat atau raja yang dibunuh. Krisis panjang ini baru berarkhir setelah putera Adi Cokro, Maulana Prins Mandapar memerintah. Setelah ayahnya, Mandapar kemudian dianggap sebagai Raja Banggai pertama dan yang terbesar, ia kembali menegakkan kekuasaannya di seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Banggai, mulai dari Pulau Sonit sampai ke Balingara dan dari Rata sampai ke Teluk Tomini serta mendirikan suatu pemerintahan pusat di Banggai.

Adapun mengenai status dan posisi Syukuran Aminudin Amir dalam sejarah Kerajaan Banggai bukanlah Tomundo yang terlegitimasi secara utuh dan sah oleh tata aturan hukum formil kerajaan Banggai, melainkan hanya sekedar sebagai Pelaksana tugas harian Tomundo Banggai tatkala Tomundo Banggai Nurdin Daud yang yang baru berusia 12 tahun dikukuhkan oleh Basalo Sangkap pada tahun 1939 pasca mangkatnya Tomundo Awaludin sebagai tomundo Banggai ke 19. Namun karena mengingat usia raja Nurdin Daud yang terlalu belia untuk melaksanakan tugas kerajaan maka ditunjuklah S.A.Amir yang saat itu menjabat sebagai Mayor Ngofa sebagai pelaksana tugas (Plt). Namun kemudian amanat itu dibajak dengan mengukuhkan diri sebagai Tomundo yang legal meskipun tanpa restu dan tidak melalui pengukuhan oleh Basalo Sangkap sebagaimana ketentuan konstitusi kerajaan Banggai.

Belum cukup sampai disitu pada tahun 1941 rekayasa sejarah Kerajaan Banggai  itupun dimulai, setelah mengukuhkan dirinya sebagai Tomundo. Mengingat posisinya di dalam keraton kerajaan Banggai di Banggai yang tanpa legitimasi konstitusional sehingga tidak mendapat pengakuan dari Dewan Basalo Sangkap kala itu, maka atas dukungan kerjasamanya dengan Belanda yang berada di Luwuk, S.A. Amir  kemudian dengan berani memindahkan ibu kota kerajaan Banggai ke Luwuk meskipun tanpa izin dan restu dari raja muda Nurdin Daud dan Dewan Penasehat Basalo Sangkap. Ia kemudian menyebut dan menamakan suatu tempat yang berlokasi di dalam kota Luwuk dengan nama Keraton. Rekayasa ini seakan-akan bahwa kerajaan Banggai benar-benar telah mempunyai bangunan keraton sendiri di kota Luwuk sebagai pusat pemerintahan kerajaan Banggai yang baru.

Akhir periode Batomundoan Banggai atau Kerajaan Banggai adalah ketika terjadi peralihan status wilayah Banggai dari sistem swapraja Banggai menjadi daerah tingkat II (Dati II) Banggai. 

3. Istana Datu Luwu, Palopo, Sulawesi Selatan
 
Istana yang berlokasi di tengah Kota Palopo ini merupakan pusat Kerajaan Luwu. Istana ini dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda sekitar tahun 1920-an di atas tanah bekas “Saoraja” (Istana sebelumnya yang terbuat dari kayu dan konon bertiang 88 buah) yang diratakan dengan tanah oleh Pemerintah Belanda.

Bangunan permanen ini dibangun dengan arsitektur Eropa oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan maksud untuk mengambil hati Penguasa Kerajaan Luwu. Namun oleh kebanyakan bangsawan Luwu, tindakan ini dianggap sebagai cara untuk menghilangkan jejak sejarah Kerajaan Luwu sebagai Kerajaan yang dihormati dan disegani kerajaan-kerajaan lain di jazirah Sulawesi secara khusus dan Nusantara secara umum.

Istana Luwu menjadi pusat pengendalian wilayah Kesultanan Luwu yang luas oleh Penguasa Kerajaan yang bergelar Datu dan atau Pajung  (Di Kerajaan Luwu terdapat 2 strata Penguasa/Raja yaitu Datu, kemudian di tingkat lebih tinggi Pajung). Di dekat Istana Luwu terdapat Masjid Jami yang usianya sangat tua dan keseluruhan dindingnya terbuat oleh batu yang disusun.

4. Saoraja Petta Ponggawae, Bone, Sulawesi Selatan
 
Sejarah mencatat bahwa Bone merupakan salah satu kerajaan besar di Nusantara pada masa lalu. Kerajaan ini didirikan oleh Manurungnge Ri Matajang pada tahun 1330 dengan gelar Mata Silompo’e.

Kerajaan Bone mencapai puncak kejayaannya pada pertengahan abad ke-17 di masa pemerintahan Latenritatta Towappatunru Daeng Serang Datu Mario Riwawo Aru Palakka Malampee Gemmekna Petta Torisompae Matinroeri Bontoala.

5. Saoraja Mallangga, Wajo, Sulawesi Selatan
 
Wajo merupakan salah satu daerah yang pernah dipimpin oleh kerajaan. Berbagai tradisi kerajaan pun masih dipertahankan hingga kini. Salah satunya adalah pencucian benda pusaka peninggalan kerajaan. Benda pusaka peninggalan kerajaan tersebut disimpan di Saoraja atau rumah raja (istana). Salah satu Saoraja yang dijadikan museum di kabupaten berjuluk Bumi Lamaddukelleng ini, yakni Saoraja Mallangga museum simettengpola.

Arsitektur Saoraja Mallangga cukup unik, bangunan berlantai dua ini merupakan perpaduan bangunan rumah khas bugis atau rumah panggung dengan bangunan khas Belanda. Saoraja ini dibangun sekitar tahun 1930, pada era kerajaan Ranreng Bettengpola ke-26, Datu Makkaraka yang juga dikenal sebagai ahli lontara.
Pembangunannya membutuhkan waktu sekitar 2 tahun lebih. Sebagai bangunan peninggalan sejarah, Saoraja Mallangga kemudian diusulkan menjadi museum pada tahun 1993, dan diresmikan oleh Gubernur Sulsel, HM Amin Syam sebagai museum pada tahun 2004.
Bangunan ini memiliki filosofi yang menggambarkan kedekatan seorang raja dengan rakyatnya. Hal itu  dibuktikan dengan tidak diperkenankannya ada pagar pembatas bangunan ini, tidak boleh menampilkan kemegahan atau terlalu besar, dan tidak boleh tinggi serta pintu harus selalu terbuka lebar. Bentuk bangunannya pun secara umum masih dipertahankan seperti pada awal didirikannya, hanya bagian atapnya yang telah 7 kali diganti.
Saat ini, Saoraja tersebut dihuni oleh salah seorang putra Datu Makkaraka, yakni H Datu Sangkuru yang bergelar Ranreng Bettengpola ke-27 bersama beberapa orang anaknya. Salah seorang putri Datu Sangkuru yang juga staf di Disporabudpar Wajo, Andi Cidda Minasa mengatakan, alasan awal Saoraja ini dijadikan museum karena khawatir peninggalan sejarah arung bettengpola musnah, sehingga Saoraja ini dijadikan museum untuk melestarikan barang-barang peninggalan kerajaan terdahulu.
Kini di Museum ini sering pula dimanfaatkan sebagai tempat untuk pagelaran seni tradisional Wajo, seperti Massure yaitu seni yang bercerita dalam bahasa bugis lontara dan diiringi musik tradisional.
Berbagai barang-barang peninggalan Arung Bettengpola yang dipajang di museum ini, seperti peralatan upacara adat, peralatan dapur, keramik antik, Serta berbagai jenis keris dan tombak.

6. Saoraja La Pinceng, Barru, Sulawesi Selatan
 
Saoraja La Pinceng merupakan salah satu rumah atau istana peninggalan kerajaan Balusu. Istana ini menjadi salah satu saksi perjuangan Kerajaan Balusu melawan penjajahan Belanda.

Awal mula kerajaan Balusu diperintah keturunan raja-raja Gowa. Namun ketika rakyat Balusu sudah tidak sudi lagi diperintah keturunan raja-raja Gowa, maka ketua adat kerajaan Balusu memohon kepada kerajaan Soppeng (Datu Soppeng). Permohonan ini untuk memberikan atau memperkenankan keturunan Datu Soppeng untuk menjadi raja Balusu. Namun semua anak laki-laki Datu Soppeng sudah memangku jabatan, maka diutuslah anak perempuannya, Tenri Kaware untuk menjadi Ratu Balusu.

Setelah Tenri Kaware memerintah kerajaan Balusu beberapa tahun, kemudian digantikan oleh puteranya, Andi Muhammad Saleh. Dalam masa pemerintahan Andi Muhammad Saleh, kerajaan Balusu dalam keadaan aman dan sentosa. Selain itu, kehidupan rakyat penuh kesehjahteraan dan hasil pertanian melimpah ruah. Raja ini terkenal sangat saleh dan berani, sehingga kemudian digelar dengan nama Andi Muhammad Saleh Daeng Parani Arung Balusu.

Atas jasa-jasanya dalam mempertahankan kerajaan Soppeng dari kehancuran atas serangan yang dilancarkan gabungan kerajaan Wajo dan Sidenreng (Musu Belo atau Perang Belo), dia diberi gelar ‘Petta Sulle Datue’. Gelar ini juga memberikan kesempatan kepada Andi Muhammad Saleh untuk menggantikan Datu Soppeng jika berhalangan dan diserahi tugas dan tanggung jawab sebagai panglima perang di bagian barat kerajaan Soppeng. Dalam masa pemerintahannya, Andi Muhammad Saleh memindahkan pusat kerajaan dari Balusu ke Lapasu dan markas pertahanannya di Bulu Dua. Di Bulu Dua ini didirikan Saoraja Lamacan yang terkenal penuh dengan ukiran.

Saoraja La Pinceng sendiri  dibuat pada tahun 1895 terletak di Dusun Lapasu atau Bulu Dua Kabupaten Barru. Ukuran Ale Bola atau bangunan rumah induk berukuran kurang lebih 23,50 x 11 meter. Jumlah tiang Saoraja La Pinceng sebanyak 35 buah dengan panjang sekitar 6,50 meter, dan lebar sekitar 5,50 meter. Selain itu, juga terdapat sembilan buah tiang dengan ukuran 3 x 3 meter. Selain itu, di dalam lokasi Saoraja La Pinceng terdapat pula beberapa bangunan antara lain, rumah jaga, panggung pementasan, kamar mandi dan sumur. Luas lokasi secara keseluruhan sekitar 4.000 meter persegi.

7. Istana Balla Lompoa, Gowa, Sulawesi Selatan
 
Istana Tamalate dan Balla Lompoa adalah sisa-sisa Istana Kerajaan Gowa yang sekarang berfungsi sebagai museum. Di dalamnya terdapat berbagai harta pusaka peninggalan Kerajaan Gowa pada zaman keemasannya. Istana Tamalate dan Balla Lompoa terletak bersebelahan dalam satu kompleks di Sungguminasa, Gowa. Jarak lokasi ini sekitar 15 kilometer sebelah selatan pusat Kota Makassar.
Bangunan ini sama-sama berbentuk rumah panggung. Warnanya coklat tua, seluruhnya terbuat dari kayu ulin atau kayu besi. Tampak jelas usia bangunan ini tak lagi muda. Luas komplek adalah 1 hektare dan dikelilingi tembok tinggi.
Bangunan Istana Tamalate yang lebih besar dari Balla Lompoa adalah istana pertama Kerajaan Gowa sebelum kota raja dipindahkan ke dalam Benteng Somba Opu. Tapi Istana Tamalate yang sekarang berdiri di kompleks tersebut sebenarnya bukan bangunan istana yang asli karena yang asli sudah punah terkubur masa.

Istana replika ini dibangun pada saat Syahrul Yasin Limpo menjadi Bupati Gowa tahun 1980-an. Bahan dan ukurannya disesuaikan dengan aslinya berdasarkan kajian terhadap sejumlah naskah Makassar kuno (lontara) yang menceritakan tentang Istana Tamalate.
Sementara Balla Lompoa adalah istana asli Kerajaan Gowa yang didirikan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-31, I Mangngi-mangngi Daeng  Matutu, pada tahun 1936. Balla Lompoa dalam bahasa Makassar berarti rumah besar atau rumah kebesaran. Fungsi Balla Lompoa adalah museum yang menyimpan simbol-simbol kerajaan, seperti mahkota, senjata, payung raja, pakaian, bendera kebesaran, serta barang-barang lainnya termasuk sejumlah naskah lontara.
Bangunan istana merupakan gabungan dari bangunan-bangunan utama dan pendukung yang saling terhubung. Bangunan dihubungkan dengan sebuah tangga setinggi lebih dari dua meter. Bagian depan bangunan adalah teras, lalu masuk ke ruang utama, dan ruang-ruang lainnya seperti kamar tidur yang pernah digunakan oleh raja.

8. Istana Malige, Baubau, Sulawesi Tenggara
 
Istana Sultan Buton (disebut Kamali atau Malige) meskipun didirikan hanya dengan saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, dapat berdiri dengan kokoh dan megah di atas sandi yang menjadi landasan dasarnya. Rumah adat Buton atau Buton merupakan bangunan di atas tiang, dan seluruhnya dari bahan kayu. Bangunannya terdiri dari empat tingkat atau empat lantai. 

Ruang lantai pertama lebih luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin ke atas makin kecil atau sempit ruangannya, tapi di lantai keempat sedikit lebih melebar. Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan memakai pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 buah yang berjajar ke belakang sampai delapan deret, hingga jumlah seluruhnya adalah 40 buah tiang.

Pada bangunan Malige terdapat 2 macam hiasan, yaitu ukiran naga yang terdapat di atas bubungan rumah, serta ukiran buah nenas yang tergantung pada papan lis atap, dan di bawah kamar-kamar sisi depan. Adapun kedua hiasan tersebut mengandung makna yang sangat dalam, yakni ukiran naga merupakan lambang kebesaran kerajaan Buton. Sedangkan ukiran buah nenas, dalam tangkai nenas itu hanya tumbuh sebuah nenas saja, melambangkan bahwa hanya ada satu Sultan di dalam kerajaan Buton. Bunga nenas bermahkota, berarti bahwa yang berhak untuk dipayungi dengan payung kerajaan hanya Sultan Buton saja. Nenas merupakan buah berbiji, tetapi bibit nenas tidak tumbuh dari bibit itu, melainkan dari rumpunya timbul tunas baru. Ini berarti bahwa kesultanan Buton bukan sebagai pusaka anak beranak yang dapat diwariskan kepada anaknya sendiri. Falsafah nenas ini dilambangkan sebagai kesultanan Buton, dan Malige Buton mirip rongga manusia,,,,

Cerita Syekh Muhammad Thaib

Sebetulnya untuk penulisan riwayat para waliyullah kali ini saya banyak pertimbangan yang mana yang harus didahulukan penulisannya,ada banyak riwayat yang bersamaan,atas beberapa pertimbangan akhirnya saya putuskan untuk menulis riwayat tentang seorang ulama dari Nagara Hulu Sungai Selatan Kandangan,nama beliau adalah Syekh Muhammad Thaher bin Haji Syahbuddin atau sering dipanggil orang Datu Daha,satu riwayat mengatakan bahwa beliau adalah salah satu murid dari Syekh Muhammad Thaib atau kerap dipanggil Datu Taniran yang bergelar Haji Sa'duddin bin haji Muhammad As'ad bin Puan Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.yang ini masih dalam pemikiran penulis ,disatu riwayat bahkan ini sangat terkenal bahwa beliau sempat bertemu dengan Datu Sanggul,sedang Datu Sanggul ini kehidupannya malah lebih dulu dari Syekh Muhammad Arsyad yang merupakan Datuk dari Datu Taniran yang merupakan guru Datu Daha...wallahu a'lam bissowab...yang mana yang benar riwayat ini...tapi tidak ada yang tidak mungkin kalau sudah mencakup masalah kewalian,
Pada pertengahan abad ke 18 pelabuhan yang terbesar dinusantara berada diBanjarmasin (Borneo),bersamaan pada saat kebesaran kerajaan Banjar,ada yang menyebutnya Bandar Masih ada pula yang menyebutnya Bandar Asin,banyak para saudagar Nusantara yang singgah kesana ada dari pulau jawa,sulawesi,sumatra bahkan sampai negara lain seperti Malaysia,Cina,India dan orang Arab dari hadrol Maut,mereka singgah untuk berdagang dipelabuhan Banjar,pada masa itu terdapat kota kota pelabuhan sungai seperti Muara Bahan (Marabahan),Muara Muning (Rantau) Daha (nagara HSS),dan Amuntai.
pada masa itu setiap orang yang akan menunaikan ibadah haji ke Mekkah Al-Mukarramah hanya bisa lewat laut,yang mana biasanya orang ikut kapal dagang.Alkisah tersebutlah seorang Datu dari Daha (Nagara Dipa) yang bernama Muhammad Thaher bin H.Syahbuddin,yang ingin menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci,bersama rombongan beliau berangkat melalui pelabuhan Nagara dengan kapal kecil,kemudian ikut kapal dagang yang besar melalui pelabuhan Bandar Masih,setelah berpindah pindah dari kapal orang jawa sampai kekapal yang lebih besar milik orang Arab hadrol Maut untuk menuju pelabuhan Jeddah,pejalanannya itu sendiri memakan waktu sampai 6 bulan perjalanan,ditengah perjalanan menuju pelabuhan Jeddah ini ditengah lautan konon tiba tiba kapal berhenti mendadak tanpa ada penyebabnya,tidak ada batu karang yang menghalangi atau menabrak kumpulan lumpur,kebingungan Kapten kapal dan penumpang pun semakin menjadi jadi karena gelombang besar menerjang kapal dan mengakibatkan air banyak masuk kekapal,ditengah kebingungan ini akhirnya Kapten kapal meminta ahli nujum pendapat bagaimana cara mengatasi masalah tersebut,setelah merenung beberapa saat akhirnya ahli nujum ini mengatakan kalau mereka ingin keluar dari masalah itu mereka harus mengeluarkan salah satu penumpang yang bernama Muhammad Thaher orang dari Daha,akhirnya dengan berat hati untuk menyelamatkan penumpang yang lainnya terpaksa hal tersebut diucapkannya dihadapan penumpang lainnya dan memanggil Datu Daha,akhirnya dengan peralatan seadanya Datu Daha dikeluarkan dari kapal tersebut,ditengah gelombang besar dan angin ribut tidak ada yang bisa dilakukan oleh datu Daha selain berserah diri memohon pertolongan kepada ALLAH SWT,setelah sekian lama dihempaskan gelombang akhirnya beliau tidak sadarkan diri,pada saat itu ALLAH berkehendak lain,angin kencang menghempaskan tubuh beliau kepinggir pantai,tidak berapa lama beliau siuman kembali,menyadari dirinya selamat dan sudah berada dipinggir pantai maka ia langsung mengucap puji dan syukur kepada ALLAH SWT yang masih memberikannya kesempatan untuk hidup didunia ini,dengan kekuatan yang masih tersisa akhirnya beliau bangkit dan berjalan menyisir pantai,dari kejauhan beliau melihat secercah cahaya terang dari sebuah tempat ,mungkin sebuah perkampungan pikir beliau,disepanjang jalan banyak terlihat makam makam yang terpelihara dengan rapi,dengan kepenatan dan kelelahan akhirnya beliau melihat orang tua,kemudian beliau mengucapkan salam dan dijawab orang tua tersebut dengan salam pula,dengan isyarat orang tua tersebut meminta Datu Daha mengikutinya dan membawa Datu Daha kesebuah rumah,setelah beristirahat sebentar akhirnya Datu Daha menceritakan seluruh pengalamannya dari awal sampai akhir dan menceritakan tujuannya untuk menunaikan ibadah haji,orang tua itu dengan serius mendengarkan cerita Datu daha,kemudian Datu Daha menanyakan perihal kampung tersebut yang terlihat hanya rumah orang tua tersebut dan kuburan kuburan,orang tua tersebut menjelaskan bahwa memang dikampung itu tidak ada perumahan an dia hidup sendiri sedangkan kuburan kuburan yang dilihatnya disepanjang jalan adalah kuburan orang orang yang tenggelam dilaut yang dikuburkannya disini,mendengar hal tersebut Datu Daha sangat gembira sekali dan yakin orang tua tersebut adalah Nabi Khaidir AS,lalu beliau bertanya 
"Apakah sampeyan yang bernama Nabi Khaidir??....."benar!!..sayalah Nabi Khaidir" jawab orang tua tersebut....
"Alhamdulillah dengan ijin dan rahmat ALLAH  telah memberikan anugerah NYA sehingga mempertemukan ulun (bahasa halus untuk saya (banjar))dengan sampeyan, setelah mengucapkan kata kata tersebut Datu Daha langsung memeluk dan mencium Nabi Khaidir AS,setelah itu dengan suara rendah penuh permohonan dan sikap hormat beliau memohon kepaa Nabi Khaidir untuk menolongnya supaya tercapat niatnya menunaikan ibadah haji,dengan suara penuh wibawa  Nabi Khaidir berkata "Insya ALLAh,dengan ijin ALLAH niat kamu untuk beribadah haji akan terkabul,tetapi kamu harus bermalam disini dulu selama 3 hari 3 malam untuk menungggu jum'ad tiba,karna pada hari itu akan datang seorang Wali Alllah saudaraku dari  tanah borneo yang tiap hari jum'ad selalu singgah kesini ,dia biasanya sholat jum'ad di Mesjidil Haram makkah,nanti kamu ikut dengannya"   mendengar keterangan Nabi Khaidir makin bertambah kegembiraan Datu Daha,karena selain akan tercapai hajatnya menunaikan ibadah haji,beliau juga akan bertemu dengan seorang wali dari negerinya sendiri yang bernama Syekh Abdus Samad (Datu Sanggul),meskipun Datu Daha cuma bermalam selama 3 hari,namun waktu yang singkat tersebut tidak beliau sia sia kan untuk menuntut bermacam macam ilmu dengan Nabi Khaidir AS,ketika malam jum'ad tiba Datu Daha melaksanakan ibadah semalam suntuk,sampai sampai iya tidak tahu lagi berapa rakaat sholat sunat yang dikerjakannya dan berapa zikir dan sholawat yang telah dibacanya,hingga tak terasa waktu subuh telah sampai,setelah sholat subuh disambung dengan wiridan hingga terbit matahari disambung lagi dengan sholat sunat Isyrak kemudian wiridan lagi sampai tiba sholat dhuha,setelah sholat dhuha dan berdoa,tiba tiba muncul dihadapan beliau seorang tua yang raut wajahnya penuh wibawa dan berpakaian sederhana,melihat ada orang dihadapannya Datu Daha langsung memeluk tubuh orang tua tersebut dan mencium kedua tangannya yang mulia,hal tersebut dilakukannya karena ada firasat yang kuat dari batinya bahwa orang tua tersebut adalah Datu Sanggul,orang yang ditunggu tunggunya dari borneo yang dikatakan oleh Nabi Khaidir sebagai Wali Allah yang akan singgah sebentar untuk menemui Nabi Khaidir kemudian melanjutkan perjalanan nya untuk sholat jum'ad di Masjidil Haram makkah atau di Masjid Nabawi Madinah Al-Munawwarah,Datu Sanggul mengucapkan salam kepada Nabi Khaidir yang kemudian dijawab oleh Nabi Khaidir dan Datu Daha,kemudian mereka saling mencium seperti layaknya cara bersalaman orang arab selanjutnya mereka saling mendoa kan.
kemudian Nabi Khaidir menceritakan tentang Datu Daha kepada Datu Sanggul dari awal sampai akhir dan meminta kepada Datu Sanggul untuk membawa Datu Daha menunaikan ibadah haji,Datu Sanggul mengangguk sambil berkata kepada Datu daha "baiklah sebelum kamu ikut aku berangkat ke Mekkah sebaiknya kamu mandi sunat dulu dan memakai pakaian ikhram " Datu Daha segera melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Datu Sanggul,stelah siap siap dan pamit kepada Nabi Khaidir Datu Sanggul kemudian berkata lagi kepada Datu Daha "pegang pinggangku dan pejamkan matamu"
Datu Daha kemudian memegang pinggang Datu Sanggul dan memejamkan matanya,hanya sekejab Datu Sanggul kemudian menyuruh ia membuka matanya kembali,betapa terkejutnya Datu Daha tiba tiba mereka sudah berada ditempat yang datu Daha belum pernah mengetahui,datu Sanggul berkata "sekarang kita sudah sampai di salah satu pintu Masjidil Haram yaitu pintu Babussalam yang mana disunatkan kepada kita apabila masuk Masjidil Haram lewat pintu ini,selanjutnya apabila kamu sudah selesai melaksanakan ibadah haji dan akan pulang kekampung halaman tunggulah aku pada hari jum'ad dipintu sini.."setelah Datu Daha mengucapkan terima kasih kemudian mereka berpisah,Datu Daha kemudian memasuki Masjidil Haram
pada waktu itu musim haji masih satu bulan lagi,orang orang masih belum datang,yang mana digunakan Datu Daha untuk beribadah kepada ALLAH,baru setelah satu bulan mulai berdatanganlah para jamaah haji,pada saat itulah rombongan jamaah haji dari Daha datang,betapa terkejutnya mereka melihat Datu Daha,masing masing mereka meminta maaf kepada beliau karena tidak mampu mencegah waktu Datu Daha akan dilemparkan ketengah lautan,Datu Daha memaklumi dan memaafkan mereka semua kemudian beliau menceritakan pertemuan beliau dengan Nabi Khaidir dan Datu Sanggul wali dari pulau borneo,singkat cerita setelah melaksanakan ibadah haji Datu Daha kemudian menunggu datangnya Datu Sanggul,setelah bertemu dengan bahasa isyarat Datu Sanggul meminta Datu Daha untuk memegang tangannya dan memejamkan matanya seperti dulu,sekejab kemudian mereka sudah berada dipulau borneo,Datu Sanggul mengantarkan Datu Daha sampai ujung kampungnya dan menyuruh Datu Daha untuk berjalan agar para penduduk melihatnya,sebelum mereka berpisah Datu Sanggul berpesan kalau masyarakat bertanya beliau harus menjawab bahwa semua kejadian ini adalah anugrah dari ALLAH SWT,penduduk sangat terkejut dengan kedatangan beliau,karena beliau datang tidak pada saat semestinya,biasanya jamaah haji baru akan datang 2 bulan lagi,banyak yang tidak percaya bahwa Datu Daha telah melaksanakan ibadah haji dan menanyakannya tapi dijawab oleh Datu Daha seperti dipesankan oleh Datu Sanggul,dua bulan telah berlalu kemudian datanglah rombongan jamaah haji dari Daha,penduduk kemudian menanyakan kepada mereka perihal Datu Daha mengerjakan haji apa tidak,kemudian diceritakan oleh mereka dari awal sampai akhir tentang Datu Daha yang memeng betul betul berhaji dan mereka juga mengisahkan pada saat mereka akan pulang mereka mencari Datu Daha untuk bersama sama pulang,tapi mereka tidak menemukan Datu Daha yang tiba tiba saja menghilang seperti ditelan bumi,mendengar kisah itu makin kagumlah masyarakat dengan pengalaman Datu Daha berhaji.
setelah kembali ke Daha beliau segera menyebarkan ilmunya yang diperoleh dari Nabi Khaidir kepada masyarakat luas hingga diberi gelar Surgi Tuan karena ilmunya yang banyak.
suatu ketika negeri Daha dilanda kekeringan panjang hingga sungai sungai menjadi kering,masyarakat banyak meminta Datu Daha untuk memimpin sholat istisqa untuk memohon diturunkan hujan,setelah sholat tersebut aneh nya air keluar dari tanah sangat banyak hingga mampu memenuhi kebutuhan penduduk saat itu padahal saat itu hujan tidak turun,selain itu salah satu keramat beliau kubah tempat maqam beliau yang terletak didesa Teluk Haur,Nagara disebut orang Kubah Dingin karena suasana disekitar makam Datu Daha yang dingin dan sejuk meskipun diluar sangat panas,tidak tercatat kapan tahun wafatnya beliau,diantara murid murid beliau adalah :
1.Al-mukarram Tuan Guru Haji Abdurrahman Syarif makam Keramat Bagandi Nagara Kandangan HSS
2.Al-Mukarram Tuan Guru Haji Muhammad Sarasi Nagara Kandangan HSS.......