DATU DAN WALI

=============================================================================================

Mari kita dukung pelestarian khazanah cerita rakyat Daerah Kalimantan Selatan seperti Maharaja sukarama dan raja-raja dari kerajaan negara daha, perebutan tahta pangeran samudera dengan pangeran tumenggung, legenda raja gubang, datu panglima amandit, datung suhit dan datuk makandang, datu singa mas, datu kurba, datu ramanggala di ida manggala, datu rampai dan datu parang di baru sungai raya, datu ulin dan asal mula kampung ulin, datu sangka di papagaran, datu saharaf parincahan, datu putih dan datu karamuji di banyu barau, legenda batu laki dan batu bini di padang batung, legenda gunung batu bangkai loksado, datu suriang pati di gambah dalam, legenda datu ayuh sindayuhan dan datu intingan bambang basiwara di loksado, kisah datu ning bulang di hantarukung, datu durabu di kalumpang, datu baritu taun dan datu patinggi di telaga langsat, legenda batu manggu masak mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga bidadari datu awang sukma di hamalau, kisah gunung kasiangan di simpur, kisah datu kandangan dan datu kartamina, datu hamawang dan datu kurungan serta sejarah mesjid quba, tumenggung antaludin dan tumenggung mat lima mempertahankan benteng gunung madang, panglima bukhari dan perang hamuk hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di lukloa, datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai, datu buasan dan datu singa jaya di hampa raya, datu haji muhammad rais di bamban, datu janggar di malutu, datu bagut di hariang, sejarah mesjid ba angkat di wasah, dakwah penyebaran agama islam datu taniran di angkinang, datu balimau di kalumpang, datu daha, datu kubah dingin, makam habib husin di tengah pasar kandangan, kubur habib ibrahim nagara dan kubah habib abu bakar lumpangi, kubur enam orang pahlawan di taal, makam keramat bagandi, kuburan tumpang talu di parincahan, pertempuran garis demarkasi dan kubur Brigjen H.M. Yusi di karang jawa, pahlawan wanita aluh idut di tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan Ibnu hajar, sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI yang dipimpin Brigjen H. Hasan Baseri dan pembacaan teks proklamasinya di Kandangan. Semuanya adalah salah satu aset budaya dan sejarah bagi Kalimantan Selatan.

Senin, 22 September 2014

Legenda Ikan Paus


Water-dragon-dragons-10584145-1024-768Pada suatu masa saat pulau Andalas dipimpin oleh Sultan Alam, datanglah raja dari Negeri Penyu bernama Si Meulu, menjumpai Sultan Alam, “Sultan Alam yang perkasa, hamba datang ke isatana tuan untuk mengadukan permasalahan yang sedang kami hadapi”, jelas Raja penyu Si Meulu dengan air mata berlinang. “Wahai Raja Penyu sahabatku sampaikanlah apa yang menyebabkan engkau gelisah dan bersedih“, pinta Sultan Alam. “Negeri hamba, pulau penyu, sudah tidak aman lagi, seekor naga raksasa bernama Smong telah menyerang dan membunuh rakyat hamba, setiap hari ada korban yang jatuh, sebagian rakyat hamba sudah mengungsi kepenjuru dunia karena khawatir akan dimangsa oleh Smong si naga raksasa itu”, jelas Raja Penyu sambil menangis.
Sultan Alam terpukul mendengar penderitaan rakyat dari kerajaan penyu, beliau sangat sedih atas kejadian tersebut. “ Sahabatku, aku akan membantu Kerajaan Penyu mengusir naga Smong tersebut”, janji Sultan Alam dengan suara bergetar. Tak lama kemudian Sultan Alam mengumpulkan para menteri dan panglima kesultanan Alam dan menceritakan penderitaan Raja penyu Si Meulu dan rakyatnya di negeri Penyu. Maka berdirilah seorang Panglima Laot dan berkata,” Padukan Sultan Alam Perkasa nan bijaksana, izinkan hamba berbicara”. “Silahkan Panglima Laot,” Sultan mempersilahkan. “Sudah banyak laporan dari kapal dagang dan nelayan-nelayan dari Barus bahwasanya mereka melihat makhluk raksasa dari kejauhan saat belayar, makhluk itu bila bergerak menyebabkan gelombang yang tinggi”, Jelas Panglima Laot. “Bagaimana cara kita mengusir makhluk tersebut Pang Laot?”, Tanya Sultan Alam. “Hamba sudah berdiskusi dengan laksamana-laksaman angkatan laut kita, mereka semua ngeri mendekati perairan negeri Raja penyu Si Meulu, beberapa nelayan telah melihat banyak penyu melarikan diri dari pulau itu dengan tergesa-gesa”, tambah Panglima Laot. Tiba-tiba seorang pangeran dari Negeri Barus berdiri, ”Yang Mulia Sultan Alam yang Perkasa, raja dari raja-raja negeri Andalas, izinkan hamba pangeran dari Barus berbicara mewakili Ayahanda hamba”. “Silahkan Ananda, putra raja dari negeri Barus”, Sultan mempersilahkan. “Kalau Paduka berkenan, saya mengenal seorang bocah, putra dari seorang Laksamana di Negeri hamba, ayahandanya telah lama hilang di laut, konon bocah tersebut telah mengelilingi seluruh samudra untuk mencari Ayahandanya namun belum berhasil menemukannya. Dia menguasai lautan lebih dari siapapun, kami menyebutnya Nabang si penunggang paus”, Jelas Pangeran dari Barus. “Namun hamba tidak tahu dimana keberadaan bocah tersebut saat ini, karena dia hidupnya di laut dan selalu berpindah-pindah”, tambah Pangeran dari Barus. “Lalu bagaimana kita mengenalinya?”, Tanya Sultan Alam. “Apabila kita mendengar suara seruling yang sangat merdu namun menyayat hati penuh kesedihan, itu tandanya bocah tersebut ada di sekitar daerah tersebut”, jelas Pangeran dari Barus. Sultan Alam terkesima mendengar cerita tersebut dan segera setelah pertemuan selesai Sultan memanggil Sahabatnya si Elang Raja. “Elang Raja terbanglah engkau, carilah seorang bocah bernama Nabang si penunggang paus, saya ingin bertemu dengannya”, perintah Sultan kepada Elang Raja. Maka terbanglah si Elang Raja menunaikan perintah sang Sultan. Keesokan harinya saat matahari mulai terbit di depan Istana Alam berdiri seorang bocah kurus berperawakan tinggi dengan seruling yang menggelantung di dadanya. “Hamba diminta menghadap Sultan Alam yang Perkasa, raja dari raja-raja Negeri Andalas”, Jelas seorang bocah tersebut kepada pengawal Istana. Kemudian pengawal istana membawa bocah tersebut kedalam istana untuk menghadap sang Sultan yang semalaman tidak bisa tidur memikirkan malapetaka yang menimpa sahabatnya raja penyu. “Engkaukah Nabang si penunggang paus?”, tanya Sultan penasaran. “Benar tuanku, hamba bernama Nabang yang paduka maksud”, jawab bocah itu. “Nyanyikanlah sebuah lagu untukku”, pinta Sultan.
“Hamba hanya menyanyikan lagu kesedihan Paduka Tuannku”, tambah Nambang. “Ya, saya ingin mendengarkannya”, pinta Sultan Alam. Kemudian bocah tersebut mulai meniup serulingnya, Sultan dan orang-orang di istana yang mendengar alunan seruling tersebut seketika mengalirkan air mata merasakan kesedihan yang mendalam dari alunan seruling tersebut. Setelah selesai mengalunkan sebuah lagu dengan serulingnya bocah tersebut bertanya, ”Tuangku Sultan Alam yang Perkasa, raja dari raja-raja negeri Andalas, apakah yang paduka inginkan dari hamba sehingga paduka meminta hamba menghadap paduka?” “Ananda Nabang si penunggang paus, sahabat saya Raja Si Meulu, Raja penyu dari Negeri Penyu, telah datang menceritakan malapetakan yang mereka alami, seekor naga raksasa bernama Smong telah menyerang pulau mereka, naga Smong tersebut memangsang penyu-penyu tersebut”, terang Sultan Alam. Nabang si penunggan paus mendengar dengan seksama. “Tiada laksamana kesultanan yang berani menghadapinya, saya ingin mengangkat seorang laksaman untuk menghadapi naga Smong tersebut, seorang putra dari laksaman pemberani dari negeri Barus, Nabang si penunggang paus”, Sultan menjelaskan maksudnya. “Sebuah kapal besar lengkap dengan peralatan perang dan pasukan angkatan laut pilihan sudah kami siapkan untuk Ananda laksamana”, jelas panglima perang kesultanan Alam. Nabang si penunggang paus masih terkesima tidak terucap sepatah katapun, hingga akhirnya dia tersedar dan berkata, ”Sultan Alam yang perkasa, tiada makhluk yang mampu mengalahkan naga Smong tersebut, hamba tidak perlu kapal dan pasukan karena akan sia-sia, biarlah hamba pergi sendiri menjalankan perintah tuanku”. Setalah memberi penghormatan kepada Sultan Alam, Nabang si penunggang paus pergi meninggalkan istana menuju pantai sambil meniup seruling dengan alunan kesedihan. Keesokan harinya terjadilah perkelahian yang dasyat di samudra dekat pula penyu, negerinya Raja penyu Si Meulu, seorang bocah yang menunggangi ikan paus raksasa bertarung melawan naga raksasa. Beberapa kali bocah tersebut terlempar dari punggung ikan paus yang terpukul oleh ekor naga dan juga beberapa kali naga terjerebah ke dasar samudra terkena serudukan ikan paus. Pertarungan yang dasyat tersebut sepertinya akan dimenangkan oleh naga Smong, ikan paus sahabat si Nabang sudah terhuyung-huyuh dan jatuh kedasar samudra sedangkan naga smong terus menyerangnya. Saat melihat sahabatnya jatuh kedalam samudra, si Nabang mengambil serulingnya dan meniupkan alunan sedih, tanpa diduga naga yang mendengar alunan seruling tersebut menjadi tenang dan berhenti menyerang ikan paus dan tak lama kemudian tertidur pulas, setiap seruling itu berhenti mengalun naga Smong tersebut akan terbangun, maka ditiup lagi seruling itu oleh si Nabang. Kemudian ikan paus sahabat si Nabang mendorong naga Smong yang tertidur itu kedasar samudra dan mengurungnya didalam celah didasar samudra. Keesokan harinya, Elang Raja datang menemui Sultan Alam, “Tuanku Sultan Alam, hamba membawa pesan dari laksamana Nabang si penunggang paus, bahwa dia sudah menyelesaikan tugasnya dan sudah mengurung Smong si naga raksasa tersebut di dasar samudra,” Sultan Alam gembira sekali mendengar berita dari Elang Raja. “Paduka Tuanku, laksaman Nabang si penunggan paus, juga meminta kepada Tuanku Sultan Alam menyampaikan kepada rakyat seluruh negeri Andalas apabila suatu hari nanti naga raksasa tersebut terbangun, dia akan mengamuk sehingga bumi bergoncang kuat maka mintalah rakyat untuk mengungsi ke tempat yang lebih tinggi, naga Smong akan menghisap air laut hingga surut lalu dia akan menghamburkannya sehingga air laut bergelombang tinggi akan menyapu daratan. Kemudian naga Smong akan tertidur lagi untuk mengumpulkan tenanganya dan akan terbangun lagi untuk menggoyang dasar samudra tempat dia dikurung”, Jelas Elang Raja. Maka sejak itu Nabang si penunggang paus menetap di pulau penyu bersama Raja penyu Si Meulu dan rakyatnya, menjaga pulau tersebut dari amukan gelombang raksasa yang sekali-sekali menyerang pulau Si Meulu. Apabila terjadi gempa besar dan air laut surut maka orang-orang dipulau Simeulu akan berteriak SMONG!, SMONG!, SMONG!, untuk mengingatkan orang-orang akan datangnya gelombang tinggi dari laut (tsunami)...

Legenda Ular Dandaung


Konon, dahulu kala ada sebuah kerajaan. Tidak disebutkan oleh pencerita apa nama kerajaan itu. Menurut cerita, kerajaan itu cukup besar. Negerinya kaya raya sehingga penghasilan rakyat melimpah ruah. Rajanya adil dan bijaksana. Kekayaan kerajaan bukan hanya dinikmati raja dan keluarganya, tetapi rakyat pun turut menikmati. Pantaslah jika kerajaan itu selalu dalam suasana tenteram dan damai. Dengan kerajaan-kerajaan lain pun, tidak pernah terjadi silang sengketa sehingga mereka dapat hidup berdampingan secara damai.
Sayang, ketenteraman itu tidak bertahan lama. Tidak disangka-sangka musibah datang menimpa mereka. Mereka bukan diserang musuh yang iri pada kemakmuran dan kerukunan kerajaan, tetapi oleh burung raksasa yang tiba-tiba muncul. Langit menjadi gelap gulita karena tubuh burung itu amat besar. Kepak sayapnya memekakkan telinga.
Karena serbuan burung raksasa itu demikian mendadak, rakyat kerajaan panik luar biasa. Mereka bingung dan tidak tahu akan berbuat apa menghadapi suasana itu. Mereka menyangka kiamat sudah datang.
Dalam sekejap mata, kerajaan itu musnah binasa dengan segala isinya. Bangunan rata dengan tanah. Pohon-pohon bertumbangan. Rakyat dijemput maut tertimpa pohon atau terbenam dalam reruntuhan rumah dan gedung mereka.
Ibarat sebuah negeri kalah perang, kerajaan yang sebelumnya subur makmur itu menjadi sebuah lapangan terbuka. Tiada tumbuhan, hewan, dan manusia di sana, kecuali raja bersama permaisuri dan ketujuh putrinya. Mereka bingung dan takut, barangkali datang serangan kedua. Jika hal itu terjadi, tamatlah riwayat mereka. Dengan mudah burung raksasa itu melihat mereka sebab tidak selembar daun lalang pun dapat dijadikan tempat untuk berlindung.
Akan tetapi, mereka tetap bersyukur kepada Tuhan karena terhindar dari malapetaka. Tuhan yang Mahabesar masih menginginkan kehadiran mereka di dunia.
Dalam keadaan tidak menentu itu mereka dikagetkan lagi dengan kejadian yang membuat mereka semakin putus asa. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba seekor ular raksasa hadir di depan mereka. Ular itu mengangakan mulutnya sehingga lidahnya yang besar dan berbisa bergerak-gerak keluar masuk mulutnya. Raja bersama permaisuri dan ketujuh putri berkumpul menjadi satu kelompok. Mereka sating merangkul. Raja berpikir, jika harus mati, biarlah mereka mati bersama menjadi mangsa ular raksasa itu.
“Paduka tak usah takut,” tiba-tiba ular itu berkata. “Hamba tidak akan mengganggu Paduka, permaisuri, dan putri-putri Paduka, asalkan Paduka mengabulkan permohonan hamba.”
Rasa takut raja sekeluarga berkurang mendengar ular itu dapat berbicara seperti manusia.
“Siapakah engkau? Apakah keinginanmu?” tanya sang raja.
“Nama hamba Dandaung. Ular Dandaung,” ujar ular raksasa itu. “Hamba ingin memperistri salah seorang putri Paduka.”
Tertegun sejenak sang raja mendengar permintaan Ular Dandaung. Seekor ular raksasa ingin memperistri anaknya? Tidak masuk akal ular menikah dengan manusia. la tidak berani menolak karena takut akibatnya.
“Aku tidak menolak, tetapi juga tidak menerima lamaranmu,” sahut sang raja. “Aku harus menanyakan hal ini kepada putriku satu per satu!”
Seorang demi seorang putrinya ditanya. Putri sulung sampai dengan putri keenam menolak diperistri Ular Dandaung. Sang raja sudah membayangkan akibat buruk yang akan mereka terima andaikata putrinya menolak.
“Hamba bersedia menjadi istrinya,” kata putri bungsu ketika ditanya ayahandanya.
Tentu saja kakak-kakaknya mengejek putri bungsu. Berbagai cemooh mereka lontarkan, tetapi putri bungsu menerimanya dengan tabah. Pendiriannya tidak tergoyahkan.
Pada suatu matam, putri bungsu terbangun dari tidur. Ia amat kaget karena bukan Ular Dandaung yang berbaring di sisinya melainkan seorang permuda tampan. Belum habis rasa herannya, pemuda itu berkata, “Aku bukan orang lain, aku suamimu si Ular Dandaung. Aku seorang raja yang Baru terbebas dari kutukan.”
Raja dan permaisuri terkejut melihat kejadian itu. Akan tetapi, mereka bangga mendapat menantu yang sangat tampan, apatagi is seorang raja. Hanya keenam putrinya tidak habis-habisnya menyesaii diri mereka.
Di kemudian hari terbukti bahwa di samping seorang raja yang tampan, Ular Dandaung juga seorang yang mempunyai kehebatan. Dengan kesaktiannya, burung raksasa yang menghancurkan kerajaan mertuanya dapat ditaklukkan dan dibunuh. Ia juga menciptakan sebuah kerajaan Baru, lengkap dengan segala peralatan dan rakyatnya. Ketika mertuanya tidak mampu memerintah lagi, Ular Dandaung menggantikannya dan putri bungsu menjadi permaisurinya....

Legenda Pulau Kambang




Barito Kuala adalah salah kabupaten di Propinsi Kalimantan Selatan. Di daerah ini terdapat beberapa pulau yang terletak di tengah-tengah Sungai Barito yang membelah Kabupaten Barito Kuala. Pulau tersebut pada awalnya berupa delta yang kemudian disebut oleh masyarakat di sekitarnya sebagai pulau. Salah satu pulau atau delta yang sangat terkenal di daerah itu adalah Pulau Kambang. Pulau ini terletak di sebelah barat kota Banjarmasin, tepatnya di Kecamatan Alalak. Oleh pemerintah Indonesia, dalam hal ini Dinas Pertanian, Pulau Kambang ditetapkan sebagai pulau wisata pada tahun 1976. Sebagai objek wisata, Pulau ini sangat ramai dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah.

Jika anda berwisata ke Pasar Terapung Muara Kuin, anda akan melewati pulau ini. Sebagai objek wisata andalan kota Banjarmasin, Pulau Kambang ditawarkan dalam satu paket dengan Pasar Terapung Muara Kuin. Pulau kecil yang dikelilingi sungai ini mudah untuk dikunjungi. Salah satu daya tarik Pulau Kambang adalah keberadaan ribuan warik (kera) yang selalu menyambut para pengunjung yang datang, terlebih jika mereka sedang lapar. Tak jarang warik-warik tersebut merebut benda yang ada di pangkuan pengunjung.

Selain pengunjung yang ingin melihat warik-warik, ada pula pengunjung yang sengaja ke Pulau Kambang karena mempunyai niat atau nazar tertentu. Di pulau ini terdapat altar yang digunakan oleh etnis Tionghoa-Indonesia yang mempunyai kaul atau nazar tertentu sebagai tempat meletakkan kambang untuk dipersembahkan kepada “penjaga” Pulau Kambang. Altar tersebut dilambangkan dengan dua buah arca berwujud kera berwarna putih. Jika permohonan mereka dikabulkan, biasanya mereka melepaskan seekor kambing jantan yang tanduknya dilapisi emas sebagai tanda atau ucapan terima kasih kepada “penjaga” Pulau Kambang. Kenapa Pulau Kambang dijadikan sebagai tempat berziarah? Lalu, bagaimana dengan keberadaan warik-warik tersebut? Ternyata, Pulau Kambang sebagai tempat berziarah dan keberadaan warik-warik tersebut memang memiliki cerita tersendiri di kalangan masyarakat Kalimantan Selatan, yang dikenal dengan cerita Pulau Kambang.

Konon, pada zaman dahulu kala, di Muara Sungai Barito berdiri sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Kuin. Letaknya yang strategis menjadikan kerajaan tersebut sangat ramai dikunjungi oleh pedagang dari berbagai negeri. Selain letaknya yang strategis, kerajaan ini mempunyai seorang patih yang sangat sakti, berani dan gagah perkasa. Namanya Datu Pujung. Ia merupakan andalan dan benteng pertahanan Kerajaan Kuin untuk menghalau segala ancaman yang datang dari luar.

Suatu hari, sebuah jung besar berasal dari negeri Cina berlabuh di Sungai Barito. Meskipun di dalam jung itu terlihat kesibukan yang luar biasa, tidak seorang penduduk negeri yang mengetahui apa sebenarnya yang mereka kerjakan dalam jung itu. Penduduk negeri juga tidak tahu maksud kedatangan mereka. Layaknya tamu, semestinya mereka mengirim utusan menghadap kepada penguasa negeri. Lama ditunggu, tak seorang pun yang keluar dari jung itu untuk menyampaikan maksud kedatangan mereka. Sikap yang demikian itu membuat penguasa negeri menjadi lebih berhati-hati. Seluruh pengawal pelabuhan dipersiapkan untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan.

Keesokan harinya, sebuah perahu yang sarat serdadu berseragam dan bersenjata lengkap merapat di tepian sungai. Seorang di antaranya melompat ke darat sambil menambatkan seutas tali di kayu ulin yang sengaja dijadikan titian. “Wahai, anak negeri! Sebelum pertumpahan darah terjadi, kalian semua disarankan untuk menyerah. Jika tidak, negeri ini akan kami musnahkan. Siapapun yang berani melawan akan kami bunuh, dan yang tidak melawan kami jadikan sebagai budak tawanan!” ujar seorang utusan. Datu Pujung menjawab ancaman itu dengan kata-kata yang halus, “Musuh bagi kami tidak dicari. Bila datang, pantang bagi kami untuk menghindarinya.” Lalu, Datu Pujung balik bertanya, “Apakah kalian mampu mengalahkan kami?” Ucapan Datu Pujung membuat utusan itu geram. “Hai, orang tua! Berani sekali kamu berkata begitu. Apakah kamu minta bukti keperkasaan kami?” balas utusan itu. “Ya, begitulah,” jawab Datu Pujung dengan penuh wibawa.

“Hai, prajurit! Kepung dan tangkap mereka!” perintah sang Kepala Utusan. Namun, sebelum serdadu-serdadu tersebut bergerak, Datu Pujung melompat ke arah sang Kepala Utusan dan menorehkan sebilah pisau ke leher orang yang mengancam tadi. “Tidak bijaksana. Sama sekali tidak bijaksana. Sama dengan tidak bijaksananya pisauku ini. Ia akan menoreh dan membuat lehermu berlubang bila anak buahmu meneruskan langkahnya,” gertak Datu Pujung sambil menggores-goreskan pisaunya di leher sang Kepala Utusan.

Melihat keselamatan pemimpinnya terancam, para serdadu mengurungkan niatnya. Mereka tidak berani bergerak sedikit pun. Datu Pujung mundur selangkah. Sambil berbalik ia menawarkan sebuah taruhan. “Hai, Kepala Utusan! Di antara kita tidak perlu ada pertumpahan darah jika tawaranku ini kamu terima secara kesatria!” ujar Datu Pujung.

“Apa itu?” balas si Kepala Utusan penasaran. “Tariklah pohon ulin yang kalian jadikan titian itu sampai ke sini. Dengan senjata yang kalian miliki, penggal pohon itu menjadi dua potong. Jika kalian sanggup melakukannya, seluruh daerah ini akan menjadi milik kalian. Tapi sebaliknya, jika tidak mampu, dengan penuh hormat kami persilahkan kalian meninggalkan daerah ini sebelum kami berubah pikiran,” ancam Datu Pujung sambil menunjuk tebangan pohon ulin sebesar drum yang panjangnya tidak kurang dari sembilan depa.

“Tawaranmu kami terima, orang tua!” sambut Kepala Utusan dengan jumawa. “Kalau begitu. Bersiaplah untuk menarik kayu ulin itu,” ujar Datu Pujung. Mendengar ujaran itu, si Kepala Utusan terdiam. Sepertinya ia mulai ragu pada kemampuannya. Bagaimana mungkin ia bisa mengangkat kayu sebesar drum dan panjang itu. Datu Pujung sudah tidak sabar menunggu si Kepala Utusan melaksanakan kesanggupannya. “Tunggu apalagi, Kepala Utusan?” desak Datu Pujung. Perlahan-lahan si Kepala Utusan mencoba untuk mengangkat pohon ulin itu, namun tidak bergerak sedikit pun. Melihat ketidakmampuan komandannya, seluruh anggota pasukan ikut membantu menarik tebangan pohon ulin. Tapi, usaha mereka tetap saja sia-sia. Jangankan pohon ulin itu bergeser, bergerak pun tidak. Kemudian senjata mereka mereka tebaskan ke batang tersebut, tetapi jangankan pohon itu terbelah, tebasan mereka membekas pun tidak padanya.

Datu Pujung hanya tersenyum melihat tingkah mereka. Sambil mengawasi gerak-gerik lawannya, ia pun segera mendekati pohon itu. Dengan sebelah tangannya, ia menarik kayu ulin itu. Sebilah parang bungkulnya yang terhunus kemudian menebas kayu ulin itu hingga terpotong menjadi dua. Salah satu potongan sengaja ia lemparkan ke arah seluruh pasukan tersebut. Mereka pun lari terbirit-birit ke arah perahu. “Tunggu pembalasan kami sebentar lagi!” ujar mereka mengumbar ancaman. Perahu mereka dayung dengan sekuat tenaga menuju ke jung di tengah sungai.

Datu Pujung tidak menghiraukan ancaman itu. Dengan potongan kayu ulin yang lain, Datu Pujung meluncur ke sungai mengejar mereka. Dalam kejar-kejaran tersebut, Datu Pujung berhasil mendahului mereka tiba di atas jung. Pasukan naik di bagian depan jung, sedangkan Datu Pujung naik di buritan. “Kalian semua memang tidak bisa diberi hati!”, seru Datu Pujung penuh amarah. Ia mengambil pisau kecil dari balik bajunya, lalu mencungkil lambung jung itu. Dalam sekejap, air pun menggenangi jung. Sebuah hentakan kaki Datu Pujung membuat perahu bocor. Air memenuhi seluruh jung hingga tenggelam. Seluruh pasukan dan isi jung pun ikut tenggelam.

Sejak itu, endapan lumpur dan batang-batang kayu yang hanyut di Sungai Barito selanjutnya menimbun jung itu hingga membentuk delta atau pulau.

Dari cerita di atas diketahui bahwa penumpang jung yang tewas dalam peristiwa itu adalah kebanyakan keturuan Tionghoa. Oleh karena itu, untuk mengenang arwah-arwah mereka, banyak keturunan Tionghoa yang datang berziarah ke pulau itu dengan membawa kambang. Karena kegiatan ini berlangsung sepanjang waktu, maka terjadilah tumpukan kambang yang sangat banyak. Orang-orang yang melintasi pulau itu sering melihat dan menyaksikan tumpukan kambang tersebut. Oleh karena selalu menarik perhatian bagi mereka yang melintasi tempat ini dan menjadi penanda, maka pulau itu pun dijuluki sebagai Pulau Kambang. Lambat-laun, nama Pulau Kambang semakin dikenal dan ramai dikunjungi orang dengan niat dan tujuan yang berbeda-beda. Ada yang mengeramatkannya dan ada pula yang sekadar ingin tahu keberadaan Pulau Kambang yang telah melegenda itu. Hingga kini, pulau ini masih ramai dengan pengunjung yang mempunyai hajat tertentu, berbaur dengan para wisatawan lainnya.

Warik-Warik Pulau Kambang

Keberadaan warik-warik di Pulau Kambang juga memiliki cerita tersendiri. Namun, cerita tentang warik ini muncul belakangan yaitu setelah peristiwa tenggelamnya kapal keturunan Tionghoa di Sungai Barito dan setelah Pulau Kambang dijadikan sebagai tempat berziarah atau menyampaikan nazar.

Konon, Putri Bungsu, permaisuri di Kerajaan Palinggam Cahaya sudah bertahun-tahun belum dikaruniai anak. Sesuai dengan ramalan para ahli nujum, Putri Bungsu harus dibadudus di Pulau Kambang. Ramalan dan nasihat ahli nujum itu disambut baik oleh kerabat kerajaan. Beberapa hari setelah diadakannya upacara adat ba-dudus di salah satu tempat di Pulau Kambang, sang Permaisuri pun hamil dan selanjutnya melahirkan seorang putra yang nantinya akan mewarisi mahkota Kerajaan Palinggam Cahaya. Kemudian Baginda Raja memerintahkan agar tempat tersebut dijaga dan dipelihara keasriannya. Untuk itu, Baginda Raja mengirim dua orang pengawal untuk menjaga Pulau Kambang. Namun, karena pulau itu selalu terendam banjir, maka penjagaannya tidak semudah yang diperkirakan. Akhirnya, Baginda Raja mengirim sepasang warik untuk membantu kedua pengawal tersebut. Warik betina bernama si Anggur, sedangkan warik jantan bernama si Anggar. Kedua warik tersebut mengelilingi dan mengintai kalau-kalau ada gangguan yang datang dari luar, dengan cara bergelantungan dari pohon satu ke pohon lainnya.

Konon ceritanya, kedua orang pengawal yang ditugaskan menjaga pulau itu, dikabarkan menghilang entah ke mana. Sementara sepasang warik yang mereka tinggalkan beranak-pinak dan menjadi penghuni Pulau Kambang. Ketika para orang tua dahulu mengunjungi Pulau Kambang, mereka masih bisa melihat si Anggur dan si Anggar yang memang berbeda dari warik biasa. Tubuhnya sama besarnya dengan tubuh manusia.

Hingga kini, keberadaan warik-warik tersebut menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk datang berkunjung ke Pulau Kambang. Beberapa ahli pernah melakukan pengamatan mengenai komunitas warik tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan mereka, di pulau itu terdapat dua kumpulan warik yang keluar dari persembunyiannya secara bergantian. Rombongan warik pertama, biasanya keluar pukul 05.00 – 13.00. Setelah itu dilanjutkan oleh rombongan warik kedua. Saat rombongan kedua ini keluar, biasanya bertepatan dengan saat pengunjung sedang ramai. Hasil pengamatan mereka juga menunjukkan bahwa jika rombongan warik “sift” pertama tidak menaati ketentuan (dalam hal ini melewati batas waktunya), maka mereka akan diburu oleh rombongan warik “sift” kedua. Mengenai tepatnya waktu pergantian itu, hanya sesama warik yang tahu..

Legenda Burung Punai

Kalimantan Selatan merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki kekayaan alam yang cukup melimpah. Di daerah ini hutan-hutan terhampar bagaikan permadani. Di tengah hutan tersebut hidup beraneka ragam tumbuhan dan hewan. Salah satu hewan yang sangat terkenal adalah burung punai. Menurut masyarakat setempat, bahwa asal mula keberadaan burung punai di daerah ini dikaitkan dengan cerita rakyat Datu Pulut: Asal Mula Burung Punai. Alur cerita ini mirip dengan cerita Mahligai Keloyang dan Putri Mambang Linau di Propinsi Riau. Dalam cerita tersebut dikisahkan bahwa seorang pemuda mendapati tujuh orang putri yang hendak mandi di telaga turun dari Kahyangan. Pada  saat putri tersebut sedang asyik mandi, dengan hati-hati sang Pemuda mengambil salah satu selendang yang diletakkan di pinggir telaga. Setelah beberapa lama mandi, hari pun mulai senja. Saatnya ketujuh putri tersebut kembali ke Kahyangan. Namun ketika mereka ingin kembali, salah satu dari ketujuh putri tersebut tidak bisa terbang ke angkasa, karena selendangnya telah diambil oleh sang Pemuda. Akhirnya, putri yang malang itu kemudian ditinggalkan oleh keenam saudaranya di bumi sendirian. Pemuda yang telah mengambil selendangnya itu kemudian menemui sang Putri dan mengajaknya untuk menikah. Di akhir cerita, mereka berpisah setelah dikaruniai anak. Sang Putri kembali ke tempat asalnya di Kahyangan meninggalkan suami dan anaknya di bumi.

Masyarakat pendukung cerita tersebut, biasanya mengaitkannya dengan asal mula terjadinya sesuatu. Seperti dalam cerita Mahligai Keloyang, yang telah melahirkan nama Kecamatan Kelayang; dan cerita Putri Mambang Linau, yang telah melahirkan nama tarian Olang-olang di Riau. Demikian pula cerita Dutu Pulut yang telah melahirkan sebuah nama burung yang dikenal dengan burung punai. Kata “punai” diambil dari nama sebuah pohon di daerah Kalimantan Selatan yang disebut pohon berunai. Sesuai dengan pesan sang Bidadari, setiap kali anaknya menangis, Datu Pulut harus membuat ayunan untuk anaknya di atas pohon berunai. Pada saat itulah sang Bidadari yang dikawal keenam saudaranya datang menyusui anaknya. Tapi dengan syarat, Datu Pulut tidak boleh mendekat, apalagi menyentuhnya. Namun, Datu Pulut melanggar larangan itu. Ketika istrinya sedang menyusui anaknya, Datu Pulut mendekat dan menyentuh sang Bidadari. Ketika itu pula, tiba-tiba sang Bidadari dan keenam saudaranya menjelma menjadi burung punai. Kenapa Datu Pulut melanggar larangan itu? Untuk mengetahui jawabannya, ikuti kisahnya dalam cerita Datu Pulut: Asal Mula Burung Punai berikut ini.
Konon, di daerah Kalimantan Selatan, tersebutlah seorang pemuda pengembara yang bernama Andin. Ia adalah anak sebatang kara, tidak punya Abah dan Uma. Ia juga tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Ia mengembara dari satu desa ke desa lain, menjelajahi hutan belantara dan melewati berbagai negeri seorang diri.
Suatu hari, tibalah Andin di Desa Pakan Dalam yang berawa-rawa dan bersungai. Di permukaan rawa-rawa itu terlihat pemandangan yang sangat indah. Beraneka ragam bunga yang tumbuh mekar dan harum, sehingga burung yang senang mengunjungi daerah itu. Karena banyak burung yang cantik dan merdu di desa itu, banyak penduduk yang bekerja mamulut burung. Melihat kehidupan masyarakat di daerah itu makmur, maka Andin pun memutuskan menetap di sana. “Ah, lebih baik aku menetap di sini saja. Aku tidak akan kesulitan menghidupi diriku,” gumam Andin. Meskipun tidak memiliki lahan untuk bertani atau beternak hewan, ia masih memiliki sebuah harapan yaitu mamulut burung. Dari situlah ia bisa menghidupi dirinya. 
Hari dan bulan telah berganti. Tak terasa, sudah satu tahun Andin menetap di Pakan Dalam. Penduduk setempat sangat menyukai Andin, karena perangainya baik dan santun. Setiap hari Andin pergi mamulut burung. Pagi-pagi sekali ia sudah berangkat, dan kembali setelah hari mulai senja. Karena setiap hari pergi mamulut burung, penduduk desa memanggil Andin dengan sebutan Andin Pulut. Karena keahlian Andin mamulut burung tidak ada yang menandingi di desa itu, maka sebagian besar penduduk memanggilnya Datu Pulut. Artinya, orang yang sangat pandai dan berpengalaman mamulut burung.

Seperti biasa, pagi itu Datu Pulut bersiap-siap berangkat mamulut. Tak berapa lama kemudian, ia sudah terlihat di atas jukungnya menuju hilir. Ia terus mengayuh jukungnya menyusuri sungai. Setelah menemukan tempat yang cocok, ia pun turun dari jukungnya. Lalu, ia memasang pulut di sejumlah pohon di pinggir sungai. Setelah itu, ia kembali ke jukungnya menunggu pulutnya terkena burung sambil tiduran . Tengah asyik tiduran, tiba-tiba hujan turun. Ia pun cepat-cepat naik ke daratan. Tak jauh dari tempatnya memasang pulut, ditemu­kannya beberapa pohon yang besar lagi rindang. Di bawah pepohonan itu terdapat sebuah telaga yang cukup luas dan berair jernih. Ia sangat senang menemukan tempat berteduh yang nyaman. “Aha…, aku dapat berteduh di sini sambil menunggu hujan reda,” gumam Datu Pulut. Beberapa saat kemudian, hujan pun mulai reda. Datu Pulut kemudian manukui jebakan pulutnya. Namun, saat akan beranjak dari tempatnya, tiba-tiba ia mendengar suara perempuan yang sedang bergembira. Tanpa pikir panjang, ia cepat-cepat bersem­bunyi di balik pohon seraya mengintip. 
Kini suara itu semakin jelas dan semakin dekat. Tiba-tiba ia tersentak ketika melihat tujuh bidadari melayang-layang turun dari langit menuju telaga. Ketujuh bidadari tersebut mengenakan selendang berwarna pelangi. Dari ketujuh bidadari tersebut, bidadari yang berselendang warna jinggalah yang paling cantik. Datu Pulut sangat terpesona melihatnya. “Aduhai, cantik sekali bidadari yang berselendang jingga itu,” gumam Datu Pulut takjub. Para bidadari itu turun dan meletakkan selendangnya di atas bebatuan. Mereka mandi sambil bercengkerama dan bersuka ria. Pada saat itulah, Datu Pulut memanfaatkan kesempatan. Dengan hati-hati, ia mengambil selendang yang berwarna jingga itu, lalu dimasukkannya ke dalam butahnya. Kemudian, ia cepat-cepat kembali bersembunyi di balik pohon. 
Tak terasa, hari mulai senja. Saatnya bidadari tersebut kembali ke Kahyangan. Satu per satu mereka mengenakan kembali selendangnya. Tetapi bidadari yang tercantik itu tidak menemukan selendangnya. Saudara-saudaranya turut membantu mencari ke sana  ke mari. Namun tak kunjung mereka temukan. Hari pun semakin senja. Keenam bidadari tersebut terpaksa meninggalkan bidadari cantik yang malang itu seorang diri. Bidadari yang cantik itu sangat sedih ditinggal oleh saudara-saudaranya. “Abah, Uma, tolong ananda. Ananda takut sendirian di bumi ini. Kenapa nasib ananda begini malangnya?” Bidadari itu terus menangis meratapi nasibnya
Datu Pulut merasa iba melihat bidadari itu. Ia pun segera keluar dari tempatnya bersembunyi, lalu menghampirinya. “Apa yang telah terjadi, Adingku? Mengapa berada di tepi telaga seorang diri?” sapa Datu Pulut pura-pura tidak tahu kejadian yang menimpa sang Bidadari. “Selendang saya hilang, tuan! Tahukah tuan dimana selendang saya?” bertanya pula bidadari itu. Datu Pulut tidak menjawab pertanyaan itu, ia tidak ingin sang Bidadari  kembali ke Kahyangan. Lalu diajaknya sang Bidadari pulang bersamanya. Setelah sampai di gubuk reyotnya, Datu Pulut bercerita kepada sang Bidadari bahwa ia belum berkeluarga dan berniat untuk memperistrinya. “Wahai, Adingku! Bersediakah kamu menjadi istriku?” tanya Datu Pulut kepada bidadari. Mendengar pertanyaan itu, sang Bidadari pun bersedia menikah dengan Datu Pulut, karena ia tidak mungkin kembali ke Kahyangan tanpa selendangnya. Setelah itu, mereka hidup bahagia dan saling menyayangi. 
Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak perempuan yang cantik jelita. Maka semakin lengkaplah kebahagiaan keluarga itu. Datu Pulut semakin rajin dan bersemangat bekerja. Ia sering pergi mamulut hingga petang. Sementara, bidadari menyiapkan berbagai masakan yang lezat untuk suaminya. 


Pada suatu hari, sang Bidadari hendak menanak nasi. Namun, persediaan beras di padaringan habis. “Tidak biasanya Kaka lupa mengisi beras di padaringan. Ini kok habis?” kata sang Bidadari dalam hati. Kemudian, ia masuk ke dalam kindai untuk mengambil padi. Sejak menikah dengan Datu Pulut, ia tidak pernah mengambil padi di tempat itu. Baru mengambil padi beberapa takaran, sang Bidadari terpana melihat sebuah butah tergeletak di sela-sela timbunan biji padi. Ia penasaran ingin mengetahui isi butah itu. Maka dibukanya tutup butah itu. Tanpa diduga-duga, dilihatnya selendang kahyangannya. Kini, sang Bidadari tersadar, ternyata suaminyalah yang telah mengambil seledangnya beberapa tahun yang lalu. Ia pun Kahimungan, dan segera menyimpan selendang itu baik-baik. 
Menjelang senja, Datu Pulut pun datang membawa hasil pulutannya. Sang Bidadari menyambutnya seperti biasanya, sehingga Datu Pulut tidak curiga sedikit pun, jika istrinya telah menemukan selendang kahyangannya. Malam semakin larut, Datu Pulut sudah tertidur pulas di samping anaknya, karena letih mamulut sepanjang hari. Sang Bidadari masih belum juga dapat memejamkan matanya. Pikirannya melayang-layang, teringat orang tua dan saudara-saudaranya di negeri Kahyangan. Perasaannya bercampur baur, sedih dan bimbang. Ia ingin kembali ke negeri asalnya, tetapi tidak tega meninggalkan suami dan anaknya. “Oh… Abah, Umah! Aku sangat merindukan kalian. Tapi bagaimana dengan nasib anak dan suamiku jika aku meninggalkan mereka?” keluh sang Bidadari kebingungan. Namun, sang Bidadari harus mengambil keputusan antara kembali ke kahyangan atau tinggal di bumi. Akhirnya, setelah dipikir-pikir ia pun memutuskan meninggalkan bumi. “Aku harus kembali ke Kahyangan,” tegas sang Bidadari dalam hati. 
Keesokan harinya, Datu Pulut pulang dari mamalut. Ia tersentak kaget ketika melihat istrinya sudah berpakaian lengkap dengan selendang warna jingganya sambil mendekap anak mereka. Belum sempat Datu Pulut berkata-kata, sang Bidadari langsung berpesan kepadanya, “Maafkan Ading, Kaka! Ading harus kembali ke Kahyangan. Peliharalah putri kita baik-baik. Jika ia menangis, buatkanlah ayunan di pohon berunai. Saat itu Ading akan datang menyusuinya, dengan syarat Kaka tidak boleh mendekat.” Mendengar pesan istrinya, Datu Pulut pun berjanji untuk selalu mengingat pesan itu. Sesaat kemudian, tiba-tiba sang Bidadari terbang melayang ke angkasa meninggalkan suami dan putri tercintanya. 
Sejak saat itu, jika putrinya menangis, Datu Pulut segera membuatkan ayunan di pohon berunai yang tak jauh gubuknya. Tak lama setelah itu, datanglah istrinya untuk menyusui anaknya dengan dikawal oleh saudara-saudaranya. Datu Pulut hanya bisa melihat dari arah jauh dengan penuh kesabaran. Meskipun sebenarnya ia sangat merindukan istrinya, perasaan itu terpaksa ia pendam dalam hati. Tanpa terasa, beberapa bulan telah berlalu. Setiap manusia memiliki batas kesabaran. Datu Pulut tidak bisa lagi menahan rasa rindunya kepada istrinya.
Pada suatu hari, saat istrinya sedang menyusui anaknya, secara diam-diam Datu Pulut mendekat. Rupanya ia lupa pada pesan istrinya. Pada saat ia akan menyentuh istrinya, tiba-tiba terjadi keajaiban yang sangat luar biasa. Sang Bidadari dan saudara-saudaranya berubah menjadi tujuh ekor burung punai. Ketujuh burung itu pun terbang ke alam bebas dan meninggalkan Datu Pulut beserta putrinya. Datu Pulut hanya mampu menyesali dirinya. Namun apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Setiap kali putrinya menangis, ia membawanya ke bawah pohon berunai. Namun, istrinya yang telah menjadi burung punai tak pernah datang lagi.

Legenda Telaga Bidadari

Telaga itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya dan dua meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan jernih, tidak pernah kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di atas sebuah pematang, di bawah keteduhan, kelebatan, dan kerindangan pepohonan, khususnya pohon limau. Jika pohon-pohon limau itu berbunga, berkerumunlah burung-burung dan serangga mengisap madu. Di permukaan tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan, gadung namanya. Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi kerupuk yang gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.
Daerah itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang diri dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah itu. Oleh karena itu, ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga mahir meniup suling. Lagu-lagunya menyentuh perasaan siapa saja yang mendengarkannya.

http://dongeng.org/wp-content/uploads/2010/02/tlg-bidadari2.jpg
Awang Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan burung-burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah dimasak dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu yang sudah diberi getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di sela-sela tangkai bunga. Ketika burung hinggap, kepak sayapnya akan melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin erat sayapnya melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama bilah-bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke dalam keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang. Konon itulah sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu Suling dan Datu Pulut.
Akan tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada burung dan tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga Iimau yang sedang merekah.
“Heran,” ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga burung-burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus asa. Sambil berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan lagu-lagu indah melalui tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia lakukan sambil menjaga pulutnya mengena. Sebenarnya dengan meniup suling itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan irama suling, kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon, Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.
Awang Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang dan suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.
Entah berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan suara hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada penglihatannya. Matanya diusap-usap.
Legenda Telaga Bidadari
Ternyata, ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka bersembur-semburan air.
“Aku ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari tempat untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang diintip.
Dari tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas. Ketujuh putri itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki tampan dengan tajamnya menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah pada pakaian mereka yang bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan mereka saat turun ke telaga maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan. Tentulah mereka bidadari yang turun ke mayapada.
Puas bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main di tepi telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka asyik bermain sehingga tidak tahu Awang Sukma mengambil dan menyembunyikan pakaian salah seorang putri. Kemudian, pakaian itu dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari buluh bekas memasak lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai (lumbung tempat menyimpan padi).
Ketika ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang di antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu membuat mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu, kebetulan paling cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang kembali ke kayangan.
Kebingungan, ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu, Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.
“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara bersama hamba.”
Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama Awang Sukma.
Awang Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya. Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang amat serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan kelemahlembutan, dalam ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka adalah seorang putri yang diberi nama Kumalasari. Wajah dan kulitnya mewarisi kecantikan ibunya.
Rupanya memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi ini. Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium baunya.
Sore itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis bekerja. Istrinya duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur lelap. Pada saat itu, seekor ayam hitam naik ke atas lumbung. Dia mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung sambil berkotek dengan ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.
Putri bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di bekas kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena ingin tahu isinya. Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.
“Ternyata, suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.
Perasaan putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas, kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa cinta kepada suaminya.
“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.
Kemudian, putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong putrinya yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya sepuas-puasnya sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan anak itu membuat Awang Sukma terjaga.
Awang Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia bahwa saat perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.
“Adinda harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita, Kumalasari. Jika ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri, masukkan ke dalam bakul. Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan. Lantunkanlah sebuah lagu denganngan suling Kanda. Adinda akan datang menjumpainya.”
Putri bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan putri tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun kerinduan kepada istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin bersatu seperti sedia kala. Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada Kumalasari, putrinya.
Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka bagi dirinya.
Telaga yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga Bidadari, terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah Kecamatan Sungai Raya, delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan.
Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.....

Legenda Rawa Pening

Rawa Pening adalah sebuah danau yang merupakan salah satu obyek wisata air di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Danau ini tepatnya berada di cekungan terendah antara Gunung Merbabu, Telomoyo, dan Ungaran. Rawa Pening memiliki ukuran sekitar 2.670 hektar yang menempati empat wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru. Menurut cerita, danau ini terbentuk akibat suatu peristiwa yang pernah terjadi di daerah tersebut. Peristiwa apakah itu? Berikut kisahnya dalam cerita Legenda Rawa Pening.
Dahulu, di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo terdapat sebuah desa bernama Ngasem. Di desa itu tinggal sepasang suami-istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang dikenal pemurah dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh masyarakat. Sayangnya, mereka belum mempunyai anak. Meskipun demikian, Ki Hajar dan istrinya selalu hidup rukun. Setiap menghadapi permasalahan, mereka selalu menyelesaikannya melalui musyawarah.
Suatu hari, Nyai Selakanta duduk termenung seorang diri di depan rumahnya. Tak lama kemudian, Ki Hajar datang menghampiri dan duduk di sampingnya.
“Istriku, kenapa kamu terlihat sedih begitu?” tanya Ki Hajar.
Nyai Selakanta masih saja terdiam. Ia rupanya masih tenggelam dalam lamunannya sehingga tidak menyadari keberadaan sang suami di sampingnya. Ia baru tersadar setelah Ki Hajar memegang pundaknya.
“Eh, Kanda,” ucapnya dengan terkejut. “Istriku, apa yang sedang kamu pikirkan?” Ki Hajar kembali bertanya.
“Tidak memikirkan apa-apa, Kanda. Dinda hanya merasa kesepian, apalagi jika Kanda sedang pergi. Sekiranya di rumah ini selalu terdengar suara tangis dan rengekan seorang bayi, tentu hidup ini tidak sesepi ini,” ungkap Nyai Selakanta, “Sejujurnya Kanda, Dinda ingin sekali mempunyai anak. Dinda ingin merawat dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.”
Mendengar ungkapan isi hati istrinya, Ki Hajar menghela nafas panjang.
“Sudahlah, Dinda. Barangkali belum waktunya Tuhan memberi kita anak. Yang penting kita harus berusaha dan terus berdoa kepada-Nya,” ujar Ki Hajar. “Iya, Kanda,” jawab Nyai Selakanta sambil meneteskan air mata. Ki Hajar pun tak kuasa menahan air matanya melihat kesedihan istri yang amat dicintainya itu. “Baiklah, Dinda. Jika memang Dinda sangat menginginkan anak, izinkanlah Kanda pergi bertapa untuk memohon kepada Yang Mahakuasa,” kata Ki Hajar.
Nyai Selakanta pun memenuhi keinginan suaminya, meskipun berat untuk berpisah. Keesokan harinya, berangkatlah Ki Hajar ke lereng Gunung Telomoyo. Tinggallah kini Nyai Selakanta seorang diri dengan hati semakin sepi.
Berminggu-minggu, bahkan sudah berbulan-bulan Nyai Selakanta menunggu, namun sang suami belum juga kembali dari pertapaannya. Hati wanita itu pun mulai diselimuti perasaan cemas kalau-kalau terjadi sesuatu pada suaminya.
Suatu hari, Nyai Selakanta merasa mual dan kemudian muntah-muntah. Ia pun berpikir bahwa dirinya sedang hamil. Ternyata dugaannya benar. Semakin hari perutnya semakin membesar. Setelah tiba saatnya, ia pun melahirkan. Namun, alangkah terkejutnya ia karena anak yang dilahirkan bukanlah seorang manusia, melainkan seekor naga.
Ia menamai anak itu Baru Klinthing. Nama ini diambil dari nama tombak milik suaminya yang bernama Baru Klinthing. Kata “baru” berasal dari kata bra yang artinya keturunan Brahmana, yaitu seorang resi yang kedudukannya lebih tinggi dari pendeta. Sementara kata “Klinthing” berarti lonceng.
Ajaibnya, meskipun berwujud naga, Baru Klinthing dapat berbicara seperti manusia. Nyai Selakanta pun terheran-heran bercampur haru melihat keajaiban itu. Namun di sisi lain, ia juga sedikit merasa kecewa. Sebab, betapa malunya ia jika warga mengetahui bahwa dirinya melahirkan seekor naga. Untuk menutupi hal tersebut, ia pun berniat untuk mengasingkan Baru Klinthing ke Bukit Tugur. Tapi sebelum itu, ia harus merawatnya terlebih dahulu hingga besar agar dapat menempuh perjalanan menuju ke lereng Gunung Telomoyo yang jaraknya cukup jauh. Tentu saja, Nyai Selakanta merawat Baru Klinthing dengan sembunyi-sembunyi, tanpa sepengetahuan warga.
Waktu terus berjalan. Baru Klinthing pun tumbuh menjadi remaja. Suatu hari, anak itu bertanya kepada ibunya.
“Bu, apakah aku mempunyai ayah?” tanyanya dengan polos.
Nyai Selakanta tersentak kaget. Ia benar-benar tidak pernah menduga pertanyaan itu keluar dari mulut anaknya. Namun, hal itu telah menyadarkan dirinya bahwa sudah saatnya Baru Klinthing mengetahui siapa ayahnya.
“Iya, anakku. Ayahmu bernama Ki Hajar. Tapi, ayahmu saat ini sedang bertapa di lereng Gunung Telomoyo. Pergilah temui dia dan katakan padanya bahwa engkau adalah putranya,” kata Nyai Selakanta.
“Tapi, Bu. Apakah ayah mau mempercayaiku dengan tubuhku seperti ini?” tanya Baru Klinthing dengan ragu.
“Jangan khawatir, Anakku! Bawalah pusaka tombak Baru Klinthing ini sebagai bukti,” ujar Nyai Selakanta, “Pusaka itu milik ayahmu.”
Setelah memohon restu dan menerima pusaka dari ibunya, Baru Klinthing berangkat menuju lereng Gunung Telomoyo. Setiba di sana, masuklah ia ke dalam gua dan mendapati seorang laki-laki sedang duduk bersemedi. Kedatangan Baru Klinting rupanya mengusik ketenangan pertapa itu.
“Hai, siapa itu?” tanya pertapa.
“Maafkan saya, tuan, jika kedatangan saya mengganggu ketenangan Tuan,” kata Baru Klinting.
Betapa terkejutnya pertapa itu saat melihat seekor naga yang dapat berbicara.
“Siapa kamu dan kenapa kamu bisa berbicara seperti manusia?” tanya pertapa itu dengan heran.
“Saya Baru Klinthing,” jawab Baru Klinthing. “Kalau boleh tahu, apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar?”
“Iya, aku Ki Hajar. Tapi, bagaimana kamu tahu namaku? Siapa kamu sebenarnya?” tanya pertapa itu penasaran.
Mendengar jawaban itu, Baru Klinthing langsung bersembah sujud di hadapan ayahnya. Ia kemudian menjelaskan siapa dirinya. Awalnya, Ki Hajar tidak percaya jika dirinya memiliki anak berujud seekor naga. Ketika naga itu menunjukkan pusaka Baru Klinthing kepadanya, Ki Hajar pun mulai percaya. Namun, ia belum yakin sepenuhnya.
“Baiklah, aku percaya jika pusaka Baru Klinthing itu adalah milikku. Tapi, bukti itu belum cukup bagiku. Jika kamu memang benar-benar anakku, coba kamu lingkari Gunung Telomoyo ini!” ujar Ki Hajar.
Baru Klinthing segera melaksanakan perintah tersebut untuk meyakinkan sang ayah. Berbekal kesaktian yang dimiliki, Baru Klinting berhasil melingkari Gunung Telomoyo. Akhirnya, Ki Hajar pun mengakui bahwa naga itu adalah anaknya. Setelah itu, ia kemudian memerintahkan anaknya untuk bertapa di Bukit Tugur. “Pergilah bertapa ke Bukit Tugur!” ujar Ki Hajar, “Suatu saat kelak, tubuhmu akan berubah menjadi manusia.”
“Baik,” jawab Baru Klinthing.
Sementara itu, tersebutlah sebuah desa bernama Pathok. Desa ini sangat makmur, namun sayang penduduk desa ini sangat angkuh. Suatu ketika, penduduk Desa Pathok bermaksud mengadakan merti dusun (bersih desa), yaitu pesta sedekah bumi setelah panen. Untuk memeriahkan pesta, akan digelar berbagai pertunjukan seni dan tari. Berbagai makanan lezat pun akan disajikan sebagai hidangan bersama dan jamuan untuk para tamu undangan. Untuk itulah, para warga beramai-ramai berburu binatang di Bukit Tugur.
Sudah hampir seharian mereka berburu, namun belum satu pun binatang yang tertangkap. Ketika hendak kembali ke desa, tiba-tiba mereka melihat seekor naga sedang bertapa. Naga ini tak lain adalah Baru Klinthing. Mereka pun beramai-ramai menangkap dan memotong-motong daging naga itu lalu membawanya pulang. Setiba di desa, daging naga itu mereka masak untuk dijadikan hidangan dalam pesta.
Ketika para warga sedang asyik berpesta, datanglah seorang anak laki-laki yang tubuhnya penuh dengan luka sehingga menimbulkan bau amis. Rupanya, anak laki-laki itu adalah penjelmaan Baru Klinthing. Oleh karena lapar, Baru Klinthing pun ikut bergabung dalam keramaian itu. Saat ia meminta makanan kepada warga, tak satu pun yang mau memberi makan. Mereka justru memaki-maki, bahkan mengusirnya.
“Hai, pengemis. Cepat pergi dari sini!” usir para warga, “Tubuhmu bau amis sekali.”
Sungguh malang nasib Baru Klinthing. Dengan perut keroncongan, ia pun berjalan sempoyongan hendak meninggalkan desa. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan seorang janda tua bernama Nyi Latung.
“Hai, anak muda. Kenapa kamu tidak ikut berpesta?” tanya Nyi Latung.
“Semua orang menolak kehadiranku di pesta itu. Mereka jijik melihat tubuhku,” jawab Baru Klinthing, “Padahal, saya lapar sekali.”
Nyi Latung yang baik hati itu pun mengajak Baru Klinthing ke rumahnya. Nenek itu segera menghidangkan makanan lezat.
“Terima kasih, Nek,” ucap Baru Klinthing, “Ternyata masih ada warga yang baik hati di desa ini.”
“Iya, cucuku. Semua warga di sini memiliki sifat angkuh. Mereka pun tidak mengundang Nenek ke pesta karena jijik melihatku,” ungkap Nyi Latung.
“Kalau, begitu. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Baru Klinthing. “Jika nanti Nenek mendengar suara gemuruh, segeralah siapkan lesung kayu (lumpang: alat menumbuk padi)!”
Baru Klinthing kembali ke pesta dengan membawa sebatang lidi. Setiba di tengah keramaian, ia menancapkan lidi itu ke tanah.
“Wahai, kalian semua. Jika kalian merasa hebat, cabutlah lidi yang kutancapkan ini!” tantang Baru Klinthing.
Merasa diremehkan, warga pun beramai-ramai hendak mencabut lidi itu. Mula-mula, para anak kecil disuruh mencabutnya, tapi tak seorang pun yang berhasil. Ketika giliran para kaum perempuan, semuanya tetap saja gagal. Akhirnya, kaum laki-laki yang dianggap kuat pun maju satu persatu. Namun, tak seorang pun dari mereka yang mampu mencabut lidi tersebut.
“Ah, kalian semua payah. Mencabut lidi saja tidak bisa,” kata Baru Klinthing.
Baru Klinthing segera mencabut lidi itu. Karena kesaktiannya, ia pun mampu mencabut lidi itu dengan mudahnya. Begitu lidi itu tercabut, suara gemuruh pun menggentarkan seluruh isi desa. Beberapa saat kemudian, air menyembur keluar dari bekas tancapan lidi itu. Semakin lama semburan air semakin besar sehingga terjadilah banjir besar. Semua penduduk kalang kabut hendak menyelamatkan diri. Namun, usaha mereka sudah terlambat karena banjir telah menenggelamkan mereka. Seketika, desa itu pun berubah menjadi rawa atau danau, yang kini dikenal dengan Rawa Pening.
Sementara itu, usai mencabut lidi, Baru Klinthing segera berlari menemui Nyi Latung yang sudah menunggu di atas lesung yang berfungsi sebagai perahu. Maka, selamatlah ia bersama nenek itu. Setelah peristiwa itu, Baru Klinthing kembali menjadi naga untuk menjaga Rawa Pening....