DATU DAN WALI

=============================================================================================

Mari kita dukung pelestarian khazanah cerita rakyat Daerah Kalimantan Selatan seperti Maharaja sukarama dan raja-raja dari kerajaan negara daha, perebutan tahta pangeran samudera dengan pangeran tumenggung, legenda raja gubang, datu panglima amandit, datung suhit dan datuk makandang, datu singa mas, datu kurba, datu ramanggala di ida manggala, datu rampai dan datu parang di baru sungai raya, datu ulin dan asal mula kampung ulin, datu sangka di papagaran, datu saharaf parincahan, datu putih dan datu karamuji di banyu barau, legenda batu laki dan batu bini di padang batung, legenda gunung batu bangkai loksado, datu suriang pati di gambah dalam, legenda datu ayuh sindayuhan dan datu intingan bambang basiwara di loksado, kisah datu ning bulang di hantarukung, datu durabu di kalumpang, datu baritu taun dan datu patinggi di telaga langsat, legenda batu manggu masak mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga bidadari datu awang sukma di hamalau, kisah gunung kasiangan di simpur, kisah datu kandangan dan datu kartamina, datu hamawang dan datu kurungan serta sejarah mesjid quba, tumenggung antaludin dan tumenggung mat lima mempertahankan benteng gunung madang, panglima bukhari dan perang hamuk hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di lukloa, datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai, datu buasan dan datu singa jaya di hampa raya, datu haji muhammad rais di bamban, datu janggar di malutu, datu bagut di hariang, sejarah mesjid ba angkat di wasah, dakwah penyebaran agama islam datu taniran di angkinang, datu balimau di kalumpang, datu daha, datu kubah dingin, makam habib husin di tengah pasar kandangan, kubur habib ibrahim nagara dan kubah habib abu bakar lumpangi, kubur enam orang pahlawan di taal, makam keramat bagandi, kuburan tumpang talu di parincahan, pertempuran garis demarkasi dan kubur Brigjen H.M. Yusi di karang jawa, pahlawan wanita aluh idut di tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan Ibnu hajar, sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI yang dipimpin Brigjen H. Hasan Baseri dan pembacaan teks proklamasinya di Kandangan. Semuanya adalah salah satu aset budaya dan sejarah bagi Kalimantan Selatan.

Kamis, 31 Januari 2013

KISAH SUKU BUGIS

Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).

Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.

Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading.

Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Adat Istiadat

Salah satu daerah yang didiami oleh suku Bugis adalah Kabupaten Sidenreng Rappang. Kabupaten Sidenreng Rappang disingkat dengan nama Sidrap adalah salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Pangkajene Sidenreng. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 2.506,19 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 264.955 jiwa. Penduduk asli daerah ini adalah suku Bugis yang ta’at beribadah dan memegang teguh tradisi saling menghormati dan tolong menolong. Dimana-mana dapat dengan mudah ditemui bangunan masjid yang besar dan permanen. Namun terdapat daerah dimana masih ada kepercayaan berhala yang biasa disebut ‘Tau Lautang’ yang berarti ‘Orang Selatan’. 

Adat Pernikahan 

Dalam sistem perkawinan adat Bugis terdapat perkawinan ideal:
1. Assialang Maola
    Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kesatu, baik dari pihak ayah 
    maupun ibu.

2. Assialanna Memang
    Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah 
    maupun ibu.

3. Ripaddeppe’ Abelae
    Ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari pihak ayah 
    maupun ibu atau masih mempunyai hubungan keluarga. 

Adapun perkawinan – perkawinan yang dilarang dan dianggap sumbang (salimara’):
1. perkawinan antara anak dengan ibu / ayah
2. perkawinan antara saudara sekandung
3. perkawinan antara menantu dan mertua
4. perkawinan antara paman / bibi dengan kemenakan
5.  perkawinan antara kakek / nenek dengan cucu

Tahap – tahap dalam perkawinan secara adat :
1. Lettu ( lamaran)
    Ialah kunjungan keluarga si laki-laki ke calon mempelai perempuan untuk 
    menyampaikan keinginannya untu melamar calon mempelai perempuan.

2. Mappettuada. (kesepakatan pernikahan)
    Ialah kunjungan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan untuk membicarakan
    waktu pernikahan,jenis sunrang atau mas kawin,balanja atau belanja 
    perkawinan penyelanggaran pesta dan sebagainya

3. Madduppa (Mengundang)
    Ialah kegiatan yang dilakukan setelah tercapainya kesepakayan antar kedua bilah 
    pihak untuk memberi tahu kepada semua kaum kerabat mengenai perkawinan yang
    akan dilaksanakan.

4. Mappaccing (Pembersihan)
    Ialah ritual yang dilakukan masyarakat bugis (Biasanya hanya dilakukan oleh kaum 
    bangsawan), Ritrual ini dilakukan pada malam sebelum akad nikah di mulai, 
    dengan mengundang para kerabat dekat sesepuh dan orang yang dihormati 
    untuk melaksanakan ritual ini, cara pelaksanaan nya dengan menggunakan daun 
    pacci (daun pacar),kemudian para undangan di persilahkan untuk memberi berkah 
    dan doa restu kepada calon mempelai, konon bertujuan untuk membersihkan dosa 
    calon mempelai, dilanjutkan dengan sungkeman kepada kedua orang tua calon mempelai.

Pasangan Pengantin


Hari pernikahan dimulai dengan mappaendre balanja , ialah prosesi dari mempelai laki-laki disertai rombongan dari kaum kerabat, pria-wanita, tua-muda, dengan membawa macam-macam makanan, pakaian wanita, dan mas-kawin ke rumah mempelai wanita. Sampai di rumah mempelai wanita langsung diadakan upacara pernikahan,dilanjutkan dengan akad nikah. Pada pesta itu biasa para tamu memberikan kado tau paksolo’. setelah akad nikah dan pesta pernikahan di rumah mempelai wanita selesai dilalanjutkan dengan acara “mapparola” yaitu mengantar mempelai wanita ke rumah mempelai laki-laki.

mappaenre botting :
Beberapa hari setelah pernikahan para pengantin baru mendatangi keluarga mempelai laki-laki dan keluarga mempelai wanita untuk bersilaturahmi dengan memberikan sesuatu yang biasanya sarung sebagai simbol perkenalan terhadap keluarga baru. Setelah itu, baru kedua mempelai menempati rumah mereka sendiri yang disebut nalaoanni alena.

Kepercayaan

Orang-orang ini dalam seharinya menyembah berhala di dalam gua atau gunung atau pohon keramat. Akan tetapi, di KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka, agama yang tercantum adalah agama Hindu. Mereka mengaku shalat 5 waktu, berpuasa, dan berzakat. Walaupun pada kenyataannya mereka masih menganut animisme di daerah mereka. Saat ini, penganut kepercayaan ini banyak berdomisili di daerah Amparita, salah satu kecamatan di Kabupaten Sidrap.

Hukum Adat

Di Sidrap pernah hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis yang cukup terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan Addatuang Rappang (Addatuang = semacam pemerintahan distrik di masa lalu) yang bernama Nenek Mallomo’. Dia bukan berasal dari kalangan keluarga istana, akan tetapi kepandaiannya dalam tata hukum negara dan pemerintahan membuat namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai saat ini masih diabadikan di Sidenreng yaitu: Naiya Ade’e De’nakkeambo, de’to nakkeana. (Terjemahan : sesungguhnya ADAT itu tidak mengenal Bapak dan tidak mengenal Anak). Kata bijaksana itu dikeluarkan Nenek Mallomo’ Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu dan tentunya melanggar hukum. Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan. 

Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan dipatuhiketika dipanggil oleh Raja untuk memutuskan hukuman kepada putera Nenek Mallomo yang mencuri peralatan bajak tetangga sawahnya. Dalam Lontara’ La Toa, Nenek Mallomo’ disepadankan dengan tokoh-tokoh Bugis-Makassar lainnya, seperti I Lagaligo, Puang Rimaggalatung, Kajao Laliddo, dan sebagainya. Keberhasilan panen padi di Sidenreng karena ketegasan Nenek Mallomo’ dalam menjalankan hukum, hal ini terlihat dalam budaya masyarakat setempat dalam menentukan masa tanam melalui musyawarah yang disebut TUDANG SIPULUNG (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah Besar) yang dihadiri oleh para Pallontara’ (ahli mengenai buku Lontara’) dan tokoh-tokoh masyarakat adat. Melihat keberhasilan TUDANG SIPULUNG yang pada mulanya diprakarsai oleh Bupati kedua, Bapak Kolonel Arifin Nu’mang sebelum tahun 1980, daerah-daerah lain pun sudah menerapkannya.

Mata Pencaharian 

Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan.

Adat Panen

Mulai dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Ada upacara appalili sebelum pembajakan tanah. Ada Appatinro pare atau appabenni ase sebelum bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit padi di possi balla, sebuah tempat khusus terletak di pusat rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun lewat di atasnya. Lalu ritual itu dirangkai dengan massureq, membaca meong palo karallae, salah satu epos Lagaligo tentang padi. 

Dan ketika panen tiba digelarlah katto bokko, ritual panen raya yang biasanya diiringi dengan kelong pare. Setelah melalui rangkaian ritual itu barulah dilaksanakan Mapadendang. Di Sidrap dan sekitarnya ritual ini dikenal dengan appadekko, yang berarti adengka ase lolo, kegiatan menumbuk padi muda. Appadekko dan Mappadendang konon memang berawal dari aktifitas ini.

Bagi komunitas Pakalu, ritual mappadendang mengingatkan kita pada kosmologi hidup petani pedesaan sehari-hari. Padi bukan hanya sumber kehidupan. Ia juga makhluk manusia. Ia berkorban dan berubah wujud menjadi padi. Agar manusia memperoleh sesuatu untuk dimakan, yang seolah ingin menghidupkan kembali mitos Sangiyang Sri, atau Dewi Sri di pedesaan Jawa, yang diyakini sebagai dewi padi yang sangat dihormati.

Bahasa Suku Bugis

Bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan etnik Bugis di Sulawesi Selatan, yang tersebar di kabupaten sebahagian Kabupaten Maros, sebahagian Kabupaten Pangkep, Kabupaten Barru, Kota Pare-pare, Kabupaten Pinrang, sebahagian kabupaten Enrekang, sebahagian kabupaten Majene, Kabupaten Luwu, Kabupaten Sidenrengrappang, Kabupaten Soppeng,Kabupaten Wajo, Kabupaten Bone, Kabupaten Sinjai, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Bantaeng. Masyarakat Bugis memiliki penulisan tradisional memakai aksara Lontara. Pada dasarnya, suku kaum ini kebanyakannya beragama Islam Dari segi aspek budaya, suku kaum Bugis menggunakan dialek sendiri dikenali sebagai ‘Bahasa Ugi’ dan mempunyai tulisan huruf Bugis yang dipanggil ‘aksara’ Bugis. Aksara ini telah wujud sejak abad ke-12 lagi sewaktu melebarnya pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia.

 
Aksara Bugis


Kesenian

Alat musik:

1.Kacapi(kecapi) 
   Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, 
   Bugis Makassar dan Bugis Mandar. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau 
   diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang  
   memiliki dua dawai,diambil karena penemuannya dari tali layar perahu. 
   Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan, 
   bahkan hiburan pada hari ulang tahun.

2. Sinrili
    Alat musik yang mernyerupai biaola cuman kalau biola di mainkan dengan 
    membaringkan di pundak sedang singrili di mainkan dalam keedaan pemain 
    duduk dan alat diletakkan tegak di depan pemainnya.

3. Gendang
    Musik perkusi yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang dan bundar
    seperti rebana.

4. Suling
   Suling bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
• Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telah punah.
• Suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan dengan piola (biola) kecapi dan 
   dimainkan bersama penyanyi
• Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara di daerah
   Kecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (baris-berbaris) atau
   acara penjemputan tamu.

Seni Tari

• Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan.
• Tari Paduppa Bosara; tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika 
   kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran 
   dan kehormatan
• Tari Pattennung; tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang 
   sedang menenun benang menjadi kain. Melambangkan kesabaran dan ketekunan 
   perempuan-perempuan Bugis.
• Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan oleh calabai (waria), 
   namun jenis tarian ini sulit sekali ditemukan bahkan dikategorikan telah punah.
• Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa ,tari Pa’galung, dan tari
   Pabbatte(biasanya di gelar padasaat Pesta Panen).

Makanan Khas Sulawesi Selatan

1. COTO MAKASSAR
2. KONRO
3. SOP SAUDARA
4. PISANG EPE’
5. PISANG IJO
6. PALU BASSAH
7. PALA BUTUNG
8. NASU PALEKKO (Bebek)

Permainan

Beberapa permainan khas yang sering dijumpai di masyarakat Bugis ( Pinrang): Mallogo, Mappadendang, Ma’gasing, Mattoajang (ayunan), getong-getong, Marraga, Mappasajang (layang-layang), Malonggak

Senjata Suku Bugis

 KAWALI senjata khas suku bugis.....!

Kisah Suku Minangkabau

Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah kelompok etnik Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai barat Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak (bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri).
Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki, serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam, sedangkan Thomas Stamford Raffles, setelah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan Pagaruyung, menyatakan bahwa Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal bangsa Melayu, yang kemudian penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.
Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia. Selain itu, etnik ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur’an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam.
Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang banyak terdapat di Negeri Sembilan, Malaysia dan Singapura.
Masyarakat Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang, dan sangat digemari di Indonesia bahkan sampai mancanegara.

Etimologi

Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan “Manang kabau” (artinya menang kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman (Pariaman) menggunakan nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.
Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagamatahun 1365 M, juga telah ada menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya.
Sedangkan nama “Minang” (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 Masehi dan berbahasa Sanskerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari “Minānga”. Beberapa ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (…minānga) dan ke-5 (tāmvan….) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi mināngatāmvan dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa “tāmvan” tidak ada hubungannya dengan “temu”, karena kata temu dan muara juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya. Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.

Asal-usul

Dari tambo yang diterima secara turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain. Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda berbanding fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak. Namun demikian kisah tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang juga menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk meminta Sang Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut untuk menjadi raja mereka.
Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500-2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau. Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak nan Tigo, yang terdiri dari Luhak Limo PuluahLuhak Agam, dan Luhak Tanah Datar. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, daerah luhak ini menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai oleh seorang residen dan oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.
Sementara seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasanrantau. Konsep rantau bagi masyarakat Minang merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).
Pada awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai dibedakan melihat budaya matrilineal yang tetap bertahan berbanding patrilineal yang dianut oleh masyarakat Melayu umumnya.Kemudian pengelompokan ini terus berlangsung demi kepentingan sensus penduduk maupun politik.

Persukuan

Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu per-empat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama.
Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada sebuah rumah gadang secara bersama-sama.

Daftar Suku Minangkabau

Seperti etnis lainnya, dalam etnis Minangkabau terdapat banyak klan yang disebut dengan istilah suku. Menurut tambo alam Minangkabau, pada masa awal pembentukan budaya Minangkabau oleh Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang, hanya ada empat suku induk dari dua kelarasan. Suku-suku tersebut adalah.
  1. Suku Koto
  2. Suku Piliang
  3. Suku Bodi
  4. Suku Caniago
Sedangkan kelarasan yang dimaksud adalah kelarasan koto piliang dan kelarasan bodi caniago, kelarasan disini semacam sistem kekuasaan, dan dalam perkembangannya kelarasan koto piliang cendrung kepada sistem aristokrat sedangkan kelarasan bodi caniago lebih kepada sistem konfederasi.
Dan jika melihat dari asal kata dari nama-nama suku induk tersebut, dapat dikatakan kata-kata tersebut berasal dari bahasa Sanskerta, sebagai contoh koto berasal dari kata kotto yang berarti benteng atau kubu, piliang berasal dari dua kata phi dan hyang yang digabung berarti pilihan tuhan, bodi berasal dari kata bodhi yang berarti orang yang terbangun, dan caniago berasal dari dua kata chana dan ago yang berarti sesuatu yang berharga.
Demikian juga untuk suku-suku awal selain suku induk, nama-nama suku tersebut tentu berasal dari bahasa Sanskerta dengan pengaruh agama Hindu dan Buddha yang berkembang disaat itu. Sedangkan perkembangan berikutnya nama-nama suku yang ada berubah pengucapannya karena perkembangan bahasa minang itu sendiri dan pengaruh dari agama Islam dan pendatang-pendatang asing yang tinggal menetap bersama.
Suku-suku dalam Minangkabau pada awalnya kemungkinan ditentukan oleh raja Pagaruyung, namun sejak berakhirnya kerajaan Pagaruyung tidak ada lagi muncul suku-suku baru di Minangkabau.
Sedangkan orang Minang di Negeri Sembilan, Malaysia, membentuk 13 suku baru yang berbeda dengan suku asalnya di Minangkabau.........

KISAH ORANG PENDEK

Orang pendek adalah makhluk kecil setinggi 50 sentimeter yang bentuknya kombinasi manusia dan orang utan. Ia tidak berekor, tapi telapak kakinya menghadap ke belakang. Beberapa penduduk mengaku pernah melihatnya, tapi makhluk itu menghilang secepat kilat.

Jeremy Holden dan Debby Martir, dua turis asal Inggris, juga mengaku pernah melihat hewan itu sekilas. Mereka kemudian mengadakan penelitian di kawasan itu sejak 1995. WWF juga ikut mendanai penelitian untuk menyibak misteri orang pendek ini dan sejumlah kamera dipasang di hutan di kawasan ini.

Tapi hingga kini hewan itu tak kunjung ditemui. Walaupun tempatnya di jantung taman nasional, tidak terlihat ada "orang pendek". Justru burung-burung dan berang-berang yang berenang hilir mudik di danau. Kemungkinan binatang-binatang liar itu sudah pindah ke kawasan hutan yang lebih jauh ke dalam seiring dengan mulai banyaknya orang yang datang ke kawasan Danau Gunung Tujuh.

Danau Gunung Tujuh merupakan danau vulkanik yang terbentuk akibat kegiatan gunung berapi ratusan tahun lalu. Panjangnya sekitar 4,5 kilometer dengan lebar sekitar 3 kilometer.

Menjelajahi Danau Gunung tujuh, pengunjung bisa berenang dan berjalan di pinggiran danau. Pada bagian tepi danau terhampar pasir putih sepanjang hampir satu kilometer. Pasir putih ini biasanya tenggelam saat pemukaan air danau naik pada musim penghujan dan muncul ketika permukaan air danau turun pada musim panas.

Selain tempat wisata, kawasan Danau Gunung Tujuh merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Berbagai jenis tumbuhan dan satwa, seperti harimau Sumatera, kambing hutan, rusa, tapir, dan beruang madu banyak ditemukan di sini. Jadi bisa berwisata sekaligus belajar.

Bila ingin ke Danau Gunung Tujuh, perjalanan bisa dimulai dari Kayu Aro. Ke Kayu Aro bisa menggunakan bus travel ke Kerinci dari Padang. Jadwal bus setiap hari dengan perjalanan 5 sampai 6 jam. Bila dari Jambi ke Kayu Aro bisa lebih lama, perjalanan memakan waktu 10-12 jam.

KISAH MALIN KUNDANG

Pada zaman dahulu hiduplah seorang janda yang bernama Mande Rubayah. Mande Rubayah mempunyai seorang putra bernama Malin Kundang. Mereka tinggal di perkampungan Pantai Air Manis, Padang – Sumatera Barat. Kondisi perekonomian mereka kian memburuk setelah sang suami pergi berlayar dan tidak pernah kembali lagi. Mande Rubayah terpaksa harus membesarkan Malin Kundang dengan keringat sendiri. Malin Kundang sangat disayang oleh ibunya, dia termasuk anak yang cerdas  tapi sedikit nakal. Suatu hari ketika Malin sedang mengejar ayam, ia tersandung batu dan lengan kanannya luka terkena batu. Luka tersebut menjadi berbekas dilengannya dan tidak bisa hilang.

Setelah Malin beranjak dewasa, ia memutuskan untuk mencari nafkah ke luar pulau karena tidak tega melihat sang ibu membanting tulang untuk menghidupkan keluarga. Awalnya sang ibu tidak setuju mengingat suaminya dulu tidak pernah kembali setelah merantau. Pada akhirnya sang ibu mengizinkan karena Malin bersikeras untuk pergi merantau.

Malin Kundang menumpang kapal seorang saudagar. Selama di kapal Malin belajar tentang pelayaran. Banyak pulau sudah dilalui oleh Malin, sampai pada akhirnya kapal yang ditumpangi Malin dibajak oleh perompak. Malin bersembunyi di balik kayu kapal, semua awak terbunuh dalam serangan perompak. Malin terombang-ambing di tengah laut dan akhirnya dia terdampar di suatu pulau. Pulau tersebut sangat subur karena warganya yang gigih dalam bekerja. Dengan tenaga seadanya, Malin berjalan menuju kota tersebut.

Di pulau ini Malin Kundang bekerja dengan giat, sampai akhirnya dia kaya raya dan mempersunting seorang wanita yang dijadikannya istri. Malin mempunyai kapal dagang dan beberapa anak buah. Kekayaan Malin Kundang akhirnya terdengar oleh sang ibu, Mande Rubayah. Mande sangat senang sekali mendengar kabar bahwa anaknya sudah berhasil. Sejak saat itu Mande Rubayah selalu menunggu di dermaga untuk menyaksikan anaknya pulang.

Setelah lama menikah akhirnya Malin memutuskan untuk pergi berlayar bersama istri dan anak buahnya. Benar saja, tak lama Malin menuju pulau kelahirannya. Sang ibu melihat dari jauh ada dua orang sedang berdiri di atas kapal dan Mande Rubayah yakin bahwa itu anak beserta istrinya.

Ibu Malin Kundang pun mendekati kapal agar bisa lebih yakin bahwa itu adalah anaknya. Pada saat mendekati kapal, Mande Rubayah semakin yakin bahwa dia adalah Malin Kundang setelah melihat bekas luka di lengan kanan pemuda tersebut. Dia mendekat dan berkata “ Malin Kundang anakku, kenapa kau pergi begitu lama tanpa memberi kabar ibumu?” seraya memeluk anaknya. Tetapi melihat wanita tua berpakain lusuh dan kotor memeluknya, Malin menjadi marah, padahal Malin mengetahui bahwa itu memang ibunya. Malin marah karena malu terhadap istri dan anak buahnya. Karena diperlakukan seperti itu, Mande Rubayah marah kepada Malin Kundang. Dia berdoa jika memang benar dia Malin Kundang kutuklah dia menjadi batu.

Malin Kundang kembali berlayar dan di tengah jalan badai besar terjadi menghacurkan kapalnya, doa sang ibu dikabulkan, secara perlahan tubuh Malin Kundang kaku dan berubah menjadi batu. Sampai saat ini Batu Malin Kundang masih dapat dilihat di pantai Air Manis, di selatan kota Padang, Sumatera Barat.

Minggu, 27 Januari 2013

KISAH BATU KAPIT DOSA

Konon, dahulu, daerah sekitarnya berupa sungai, seluas mata memandang, yang tampak air semata. Mirip cerita si Malin Kundang, sang anak durhaka, Tangkiling pun, dikutuk karena kedurhakaannya. Berubahlah sungai tempatnya berlayar menjadi daratan dan perbukitan. Sedang perahu dan seluruh barang bawaannya, berubah menjadi batu-batuan yang besarnya sebesar rumah-rumahan.
Tangkiling sendiri, karena dosa-dosa yang disandangnya, harus rela terjepit diantara biliknya, sekarang dikenal dengan batu pengapit dosa. Memang, batu kapit dosa, dipercaya, berasal dari bilik Tangkiling yang turut diterbangkan angin dan kemudian berubah membatu seperti benda lainnya.
"Bila orang bersangkutan ada dosa, maka tidak bisa melewati antara dua batu itu, terjepit," ungkap Aisyah-sebut saja begitu namanya- seorang penduduk Kelurahan Tangkiling yang kerap mendaki bukit bersama keluarganya. Dia mengaku, apa yang barusan dipaparkannya, berdasar kepercayaan yang mereka terima turun temurun.
Dulu pun, menurutnya, ada semacam upacara penghormatan atau ritual yang dilakukan dekat batu itu, fungsinya meminta pengampunan atas dosa yang telah dilakukan. Sesaji turut dihadirkan, terhampar bermacam kue tradisional dan kemenyan yang menyengat hidung.
"Kita baca doa sesuai agama kepercayaan yang kita anut," imbuhnya.
Apakah sudah ada yang terjepit disana? Sambil tertawa, dikatakannya, sepengetahuan dia, memang belum pernah terjadi, kecuali karma yang menimpa Tangkiling, hingga terjepit diantara dua batu itu.
"Mungkin, karena zamannya sudah berubah, kekuatan itu tidak pernah dinampakkan lagi," tukasnya. Meski begitu, menurutnya, kepercayaan akan kekuatan magis batu itu, masih beredar dan dipercaya masyarakat. Nyatanya, beberapa kecelakaan, pernah terjadi di seputar bukit Tangkiling.
Mengenai kepercayaan ini, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi kalteng Drs H Nawawi Mahmuda, menilai, itu hanyalah fenomena atau peristiwa alam belaka. Dan, tidak ada keterkaitannya dengan kekuatan magis atau supranatural.
"Artinya memang murni fenomena alam, tidak ada kaitannya dengan kekuatan magis atau supranatural," tegasnya.
Kepercayaan ini dibuktikan sekelompok pelajar dari sebuah SMU di Palangkaraya. Mereka menghabiskan akhir pekannya mendaki bukit, mau tidak mau, mereka harus memiringkan tubuhnya agar tidak terjepit di antara dua batu itu. Hasilnya? Mereka sampai ke puncak dan kembali lagi dengan selamat.
Dilihat dari jarak antara kedua batu yang berkisar 15 sentimeteran, terletak di punggung bukit, memang agak sulit untuk melewatinya, harus memiringkan tubuh. Di bawah batu sendiri, ternyata ada rongga atau ruang kosong, sehingga bila kita melangkah diatasnya, terasa ada suara langkah, bergema.
Kiri kanan, jalan yang dilewati, bukanlah dataran, tapi jurang yang menganga cukup dalam. Jadi, kehati-hatian adalah modal yang harus dimiliki.
"Kalau menengok ke bawah, hati rasanya rawan," imbuh Aisyah yang memiliki warung teh di Pelabuhan Tangkiling.
Sedang Juhran mantan pegawai Komunikasi Radio di Kelurahan Banturung, menuturkan, di Bukit Tangkiling terdapat bermacam-macam batu, batu pengapit dosa hanyalah salah satunya. Disebutnya pula, batu banama, batu cincin dan batu kawah yang terletak di puncak bukit.
Batu kawah, dipercaya sebagai jelmaan perahu Tangkiling yang karam, kemudian membatu. Batu kawah, oleh masyarakat sekitar dikenal pula dengan sebutan batu rinjing, karena bentuknya yang menyerupai rinjing atau wajan.
"Waktu masih bertugas, saya tiap hari naik bukit. Karena di atas bukitlah tempat paling efektif menyampaikan dan menerima informasi, suaranya terdengar lebih jelas," paparnya.
Kelabang Raksasa
Kepercayaan masyarakat lagi, menurut penuturan Aisyah, di sekitar batu kapit dosa, bermukim seekor kelabang raksasa, berukuran sebesar batang pohon kelapa.
"Bahkan, selain batu kapit dosa, disana ada juga halilipan (kelabang-red) sebesar batang nyiur (kelapa-red)," ujarnya yang berasal dari hulu Sungai Barito ini. Namun, sama halnya dengan batu kapit dosa, kelabang raksasa ini tidak pernah lagi menampakkan dirinya, raib seperti di telan bumi.
"Masa yang sudah berubah, membuat mereka tidak pernah lagi menampakkan diri," ungkapnya beralasan.
Persis seperti penuturan Aisyah, setiba kembali di base camp, dalam guyuran hujan lebat, sekelompok anak sekolahan tadi dikejutkan jeritan salah seorang temannya. Sontak, orang-orang yang berada di situ terkesiap, ternyata cowok ABG itu digigit kelabang sebesar jempol tangan.
Memang, kelabang termasuk binatang merayap yang memiliki bisa (racun). Racunnya bisa menyebabkan badan meriang, berkepanjangan.
"Jangan-jangan, kelabang ini, cucunya kelabang raksasa yang pernah diceritakan itu, lepas dari jepitan batu pengapit dosa, eh, malah digigit cucunya kelabang raksasa," celetuk mereka bersahutan.......

KISAH RAJA-RAJA BANJAR

Kemunculan Kerajaan Banjar tidak lepas dari melemahnya pengaruh Negara Daha (tepatnya didaerah Kandangan) sebagai kerajaan yang berkuasa saat itu. Tepatnya pada saat Raden Sukarama memerintah Negara Daha, menjelang akhir kekuasaannya dia mewasiatkan tahta kekuasaan Negara Daha kepada cucunya yang bernama Raden Samudera. Akan tetapi, wasiat tersebut ditentang oleh ketiga anak Raden Sukarama yaitu Mangkubumi, Tumenggung dan Bagulung. Setelah Raden Sukarama wafat, Pangeran Tumenggung merebut kekuasaaan dari pewaris yang sah yaitu Raden samudera dan merebut tahta kekuasaan Negara Daha.

Raden Samudera sebagai pihak yang kalah melarikan diri dan bersembunyi di daerah hilir sungai Barito. Dia dilindungi oleh kelompok orang melayu yang menempati wilayah itu. Kampung orang melayu itu disebut kampung oloh masih yang artinya kampung orang melayu pimpinan Pati Masih. Lama kelamaan kampung ini berkembang menjadi kota Banjarmasih karena ramainya perdagangan di tempat ini dan banyaknya pedagang yang menetap. Dalam pelarian politiknya, raden Samudera melihat potensi Banjarmasih dengan sumber daya manusianya dapat dijadikan kekuatan potensial untuk melawan kekuatan pusat, yaitu Negara Daha. Kekuatan Banjarmasih untuk melakukan perlawaann terhadap Negara Daha akhirnya mendapat pengakuan formal setelah komunitas melayu mengangkat Raden Samudera sebagai kepala Negara.

Pengangkatan ini menjadi titik balik perjuangan Raden Samudera. Terbentuknya kekuatan politik baru di banjarmasih, sebagai kekuatan politik tandingan bagi Negara Daha ini menjadi media politik bagi Raden Samudera dalam usahanya memperoleh haknya sebagai Raja di Negara Daha, sedangkan bagi orang Melayu merupakan media mereka untuk tidak lagi membayar pajak kepada Negara Daha

Setelah menjadi Raja di Banjarmasih, Raden Samudera dianjurkan oleh Patih Masih untuk meminta bantuan Kerajaan Demak. Permintaan bantuan dari Raden Samudera diterima oleh Sultan Demak, dengan syarat Raden Samudera beserta pengikutnya harus memeluk agama Islam. Syarat tersebut disanggupi Raden Samudera dan Sultan Demak mengirimkan kontingennya yang dipimpin oleh Khatib Dayan. Setibanya di Banjarmasih, kontingen Demak bergabung dengan pasukan dari Banjarmasih untuk melakukan penyerangan ke Negara Daha di hulu sungai Barito. Setibanya di daerah yang bernama Sanghiang Gantung, pasukan Bandarmasih dan Kontingen Demak bertemu dengan Pasukan Negara daha dan pertempuran pun terjadi. Pertempuran ini berakhir dengan suatu mufakat yang isinya adalah duel antara Raden Samudera dengan Pangeran Tumenggung. Dalam duel itu, Raden Samudera tampil sebagai pemenang dan pertempuran pun berakhir dengan kemenangan Banjarmasih.

Setelah kemenangan dalam pertempuran, Raden Samudera memindahkan Rakyat Negara Daha ke Banjarmasih dan Raden Samudera dikukuhkan sebagai Kepala negaranya. Pembauran penduduk Banjarmasih yang terdiri dari rakyat Negara Daha, Melayu, Dayak dan orang jawa (kontingen dari Demak) menggambarkan bersatunya masyarakat di bawah pemerintahan Raden Samudera. Pengumpulan penduduk di banjarmasih menyebabkan daerah ini menjadi ramai, ditambah letaknya pada pertemuan sungai Barito dan sungai Martapura menyebabkan lalu lintas menjadi ramai dan terbentuknya hubungan perdagangan. Raden Samudera akhirnya menjadikan Islam sebagai agama negara dan rakyatnya memeluk agama Islam. Gelar yang dipergunakan oleh Raden Samudera sejak saat itu berubah menjadi Sultan Suriansyah. Kerajaan Banjar pertama kali dipimpin oleh Sultan Suriansyah ini.

Gambar : Mesjid yang didirikan Sultan Suriansyah di Kuin

WILAYAH KERAJAAN BANJAR
Kerajaan Banjar semakin berkembang dan lama kelamaan luas wilayahnya semakin bertambah. Kerajaan ini pada masa jayanya membentang dari banjarmasin sebagai ibukota pertama, dan martapura sebagai ibukota pengganti setelah banjarmasin direbut Belanda, daerah Tanah laut, Margasari, Amandit, Alai, Marabahan, Banua lima yang terdiri dari Nagara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua serta daerah hulu sungai barito. Kerajaan semakin diperluas ke tanah bumbu, Pulau Laut, Pasir, Berau dan kutai di panati timur. Kotawaringin, Landak, Sukadana dan sambas di sebelah barat. Semua wilayah tersebut adalah Wilayah Kerajaan Banjar (yang apabila dilihat dari peta zaman sekarang, Kerajaan Banjar menguasai hampir seluruh wilayah kalimantan di 4 provinsi yang ada). Semua wilayah tersebut membayar pajak dan upeti. Semua daerah tersebut tidak pernah tunduk karena ditaklukkan,tetapi karena mereka mengakui berada di bawah Kerajaan Banjar, kecuali daerah pasir yang ditaklukkan pada tahun 1663
Kerajaan Banjar yang berdiri pada 24 september 1526 sampai berakhirnya perang Banjar yang merupakan keruntuhan kerajaan Banjar memiliki 19 orang raja yang pernah berkuasa. Sultan pertama kerajaan Banjar adalah Sultan Suriansyah (1526 - 1545), beliau adalah raja pertama yang memeluk Agama Islam. Raja terakhir adalah Sultan Mohammad Seman (1862 - 1905), yang meninggal pada saat melakukan pertempuran dengan belanda di puruk cahu.

Sultan Suriansyah sebagai Raja pertama mejadikan Kuin Utara sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan Kerajaan Banjar. Sedangkan Sultan Mohammad Seman berkeraton di daerah manawing - puruk cahu sebagai pusat pemerintahan pelariansenyumkenyit

Berikut adalah rincian Raja-raja Kerajaan Banjar sejak berdirinya kerajaan hingga runtuhnya kerajaan itu :
1526 - 1545 :
Pangeran Samudra yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah, Raja pertama yang memeluk Islam
1545 - 1570 :
Sultan Rahmatullah
1570 - 1595 :
Sultan Hidayatullah
1595 - 1620 :
Sultan Mustain Billah, Marhum Penambahan yang dikenal sebagai Pangeran Kecil. Sultan inilah yang memindahkan Keraton Ke Kayutangi, Martapura, karena keraton di Kuin yang hancur diserang Belanda pada Tahun 1612
1620 - 1637 :
Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatullah
1637 - 1642 :
Ratu Anum bergelar Sultan Saidullah
1642 - 1660 :
Adipati Halid memegang jabatan sebagai Wali Sultan, karena anak Sultan Saidullah, Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa
1660 - 1663 :
Amirullah Bagus Kesuma memegang kekuasaan hingga 1663, kemudian Pangeran Adipati Anum (Pangeran Suriansyah) merebut kekuasaan dan memindahkan kekuasaan ke Banjarmasin=
1663 - 1679 :
Pangeran Adipati Anum setelah merebut kekuasaan memindahkan pusat pemerintahan Ke Banjarmasin bergelar Sultan Agung
1679 - 1700 :
Sultan Tahlilullah berkuasa
1700 - 1734 :
Sultan Tahmidullah bergelar Sultan Kuning
1734 - 1759 :
Pangeran Tamjid bin Sultan Agung, yang bergelar Sultan Tamjidillah
1759 - 1761 :
Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah
1761 - 1801 :
Pangeran Nata Dilaga sebagai wali putera Sultan Muhammad Aliuddin yang belum dewasa tetapi memegang pemerintahan dan bergelar Sultan Tahmidullah
1801 - 1825 :
Sultan Suleman Al Mutamidullah bin Sultan Tahmidullah
1825 - 1857 :
Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman
1857 - 1859 :
Pangeran Tamjidillah
1859 - 1862 :
Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mu'mina
1862 - 1905 :
Sultan Muhammad Seman yang merupakan Raja terakhir dari Kerajaan Banjar

Setelah dikalahkannya Sultan Muhammad Seman oleh Belanda pada tahun 1905, praktis seluruh wilayah Kerajaan banjar jatuh ke tangan Belanda dan Kerajaan Banjar runtuh. Akan tetapi semangat yang dikobarkan pejuang perang Banjar melalui sumpah perjuangan "haram manyarah waja sampai kaputing" benar-benar memberikan semangat untuk mempertahankan Kerajaan Banjar. Walaupun akhirnya jatuh ke tangan belanda juga, kita mesti menghargai perjuangan para pejuang yang telah mengorbankan segalanya untuk mempertahankan Kerajaan Banjar. Kota Banjarmasin yang sekarang adalah bukti sejarah hasil perjuangan Sultan Suriansyah dan pengikutnya

KISAH DATU KURBA

ZAMAN DULU SEKITAR TAHUN 1870 ADA DUA JALAN MENUJU DAERAH HILIR ( BANJAR MUARA /KUALA ) ATAU BANJARMASIN SEKARANG ,JALAN ATAS DAN JALAN BAWAH, JALAN ATAS MELALUI DAERAH PEGUNUNGAN MERATUS DAN JALAN BAWAH MELALUI DARATAN RENDAH ATAU MELALUI DAERAH PINGGIRAN SUNGAI.DARI SALAH SATU DARI JULAN ITULAH MASYARAKAT HULU MENUJU DAERAH HILIR.

PADA  MASA ITU PUSAT PENDIDIKAN ISLAM BERDA DI DAERAH BANJAR  MUARA/KUALA TEPATNYA DIDERAH DALAM PAGAR MARTAPURA,.DISINILAH BANYAK PARA SANTRI DAERAH BERBAGAI DAERAH HULU MENUNTUT ILMU AGAMA

JALAN BAWAH ADALAH JALAN YANG LEBIH AMAN DIBANDING JALAN ATAS YANG MELEWATI DAERAH PEGUNUNGAN ,KARENA ITULAH JALAN BAWAH SANGAT RAMAI DI LALUI ORANG DARI DAERAH HULU  ( BANJAR HULU / UDIK ATAU BANUA LIMA ) ,BAIK MELAKUKAN PERDAGANGAN ATAUPUN UNTUK PERGI MENUNTUT ILMU AGAMA ISLAM KEDALAM PAGAR

PADA MASA ITU ADA SEORANG SANTRI DARI NEGARA YANG SUKA MENUNTUT ILMU  SUKA MELALUKAN ZIARAH KEPADA ORANG MULIA DAN SUKA MELAKUKAN PERJALANAN SERTA SAMBIL BERUSAHA UNTUK MENJUAL BATU PERMATA DEMARGA  SANTRI TERSEBUT BERSAHABAT DENGAN DATU SANGGUL DAN DENGAN MAKHLUK GHAIB SEEKOR TADUNG  ( ULAR BESAR ) .DIALAH YANG DINAMAKAN DENGAN GELAR DATU KURBA.

DATU KURBA MEMPUNYAI SAUDARA 7 ORANG SALAH SEORANG SAUDARA BELIAU MELAKUKAN IBADAH HAJI KE MEKKAH ,SEPULANG DARI MELAKUKAN IBADAH HAJI  DALAM PERJALANAN PULANG DITENGAH LAUT SAUDARA DATU KURBA TERSEBUT MENDERITA SAKIT DAN MENGINGINKAN NYIUR ANUM ( KELAPA MUDA )  KEMUDIAN KAPAL TERSEBUT MERAPAT DIDAERAH ADEN, YAMAN.TERNYATA DIDAERAH PANTAI TERSEBUT ADA SEORANG MEMBAWA BUTAH YANG BERISI NYIUR ANUM SEPERTI YANG DIKEHENDAKI SAUDARA DATU KURBA TERSEBUT, KETUJUH SAUDARA DATU KURBA SETELAH MENINGGALNYA MASING-MASING MEMPUNYAI KAROMAH.

KETIKA ITU PERAMPOKAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG MANYAN SANGAT MERAJALELA ,PERAMPOKAN ITU DILAKUKAN DENGAN MELAKUKAN PENGHADANGAN DIDAERAH JALAN BAWAH ,JALAN YANG SANGAT SERING DILALUI OLEH PARA PEDAGANG MAUPUN PARA SANTRI .SATU KETIKA MEREKA MELAKUKAN PENGHADANGAN DIDAERAH SUNGAI PARING DALAM DAN BERTEPATAN PADA SAAT ITU DATU KURBA TENGAH MELEWATI JALAN TERSEBUT UNTUK MELAKUKAN KEBIASAAN BELIAU .DISAAT ITU ORANG MANYAN MELAKUKAN PERAMPOKAN TERHADAP DATU KURBA .NAMUN ORANG-ORANG MANYAN TERSEBUT TIDAK LAH MUDAH DAPAT MENGALAH KAN DATU KURBA YANG MERUPAKAN SEORANG SANTRI ,TETAPI KARENA KEGANASAN ORANG-ORANG MANYAN DAN KARENA TIDAK BERIMBANG DAPATLAH DATU KURBA MEREKA KALAHKAN .DAN DENGAN KEJAMNYA MEREKA MEMISAH KEPALA DATU KURBA DARI TUBUH DAN MERAMPAS HABIS SEGALA HARTA MILIK DATU KURBA

DALAM KEADAAN KEPALA TERPISAH DARI TUBUH ITULAH DATANG SAHABAT BELIAU YAITU TADUNG.KEPALA DATU KURBA YANG TERPOTONG ITU DIBAWA OLEH TADUNG TERSEBUT DIBAWA KE DAERAH NEGARA UNTUK DIBERITAHUKAN KEPADFA KELUARGA BELIAU .BERITA TERSEBUT DIBAWA OLEH TADUNG TERSEBUT KEPALA KELUARGA BELIAU DI SUNGAI MANDALA DAN BARUH KAMBANG,KELUARGA DATU KURBA INGIN MENGAMBIL KEPALA DATU KURBA TERSEBUT,NAMUN KEPAL TERSEBUT TIDAK DILEPASKAN TADUNG,KEMUDIAN TADUNG TERSEBUT BERLALU DARI KELUARGA DATU KURBA ,PERJALANAN TADUNG TERSEBUT DIIKUTI OLEH SEBAGIAN KELUARGA DATU KURBA DAN SAMPAILAH MEREKA DITEMPAT DIMANA DITEMUKAN TUBUH DATU KURBA YANG SUDAH TIDAK BERKEPALA LAGI ,SETELAH DITEMUKAN MAKA DILAKUKAN LAH UPACARA PENGUBURAN SESUAI DENGAN AJARAN AGAMA ISLAM

SAMPAI  SEKARANG MAQAM DATU KURBA SERING DIZIARAHI ORANG, TERUTAMA SEKALI OLEH KELUARGA.DAN ORANG YANG SERING MENJIARAHI DAN ATAS PERANTARA DATU KURBA  HAJATNTA SERING DIKABUL KAN OLEH ALLAH DAN DI MAQAM BELIAU SERING TERLIHAR TADUNG SAHABAT DATU KURBA TERSEBUT, MAQAM DATU KURBA KURBA SAMPAI SEKARNG TIDAK PERNAH DIBUATKAN KUBAH  SEBAB APABILA DIBUAT KAN KUBAH ,MAKA KUBAH TERSEBUT AKAN RUNTUH DENGAN SENDIRINYA.

MENURUT SALAH SEORANG DARI DATU KURBA APALABILA MQAM BELIAU LAMA TIDAK DIZIARAHI DAN TIDAK DIBERSIHKAN OLEH KELUARGA BELIAU  MAKA SERING TERLIHAT ULAR BESAR DIRUMAH-RUMAH KELUARGA BELIAU TERSEBUT, HAL INI SEBAGAI ISYARAT AGAR KELUARGA MENZIARAHI DAN MEMBERSIHKAN MAQAM BELIAU......

KISAH RAJA GUBANG

Pada suatu kurun waktu dizaman dahulu, disuatu tempat didaerah aliran sungai Amandit di Kalimantan Selatan, terdapatlah sebuah kerajaan. Riwayat kerajaan ini hanyalah terceriterakan sambung bersambung dari mulut kemulut, karena pada suatu ketika terjadi sbuah kebakaran besar yang selain menghabiskan seluruh keraton dan isinya, juga rumah lembaga-lembaga kerajaan lainnya. Termasuk diantara yang terbakar itu adalah gedung hikayat dan sejarah yang menyimpan segala catatan-catatan mengenai kerajaan.

Orangpun lama kelamaan lupa silsilah nama raja-raja yang pernah memerintah disitu. Bahkan pada akhirnya orang juga lupa akan nama kerajaan itu sendiri. Dalam ceritera ini, biarlah untuk mudahnya kita namakan kerajaan itu sebagai kerajaan Hulu Amandit.

Dalam kurun waktu akhir-akhir dari keberadaan kerajaan itu, kerajaan Hulu Amandit diperintah oleh seorang baginda tua, yang diingat orang sudah puluhan tahun memerintah, dari usia muda hingga keusia beliau yang hamper 80 tahun. Dibawah pemerintahan beliau, negeri aman, makmur, tenteram dan sejahtera, tidak pernah kekurangan sesuatupun. Beliau berputera 2 orang, seorang pangeran putera mahkota dan seorang puteri.

Sebagai seorang raja yang berfikiran maju dan bersifat bijaksana, baginda memberikan pendidikan yang sangat cukup bagi putera mahkota dan sang puteri. Keduanya mendapatkan pendidikan dan latihan yang sangat cukup bagi sorang pangeran dan seorang puteri raja. Bahkan putera mahkota dikirim berguru, tidak hanya ke Negara tetangga seperti Kerajaan Banjar dan kesultanan-kesultanan lain didaerah aliran Sungai Barito, hinga yang dipesisir pulau Jawa seperti Gresik, Demak, Cirebon dan Banten, namun juga hingga ke tanah Mesir dan Arab, bahkan suatu waktu ke negeri Cina.

Maka menjadiliah putera mahkota seorang pangeran yang sangat pandai dan piawai didalam berbagai ilmu. Namun bagai kata pepatah: tak ada gading yang tak retak, ada satu cacat sifat pada sang putera mahkota yang sangat menonjol yang sangat merisaukan fikiran baginda raja.

Baginda sering termenung, merenung sendiri; “ Kita semua insan Tuhan memang harus ada keras kepalanya, namun itu sebaiknya hanya untuk mempertahankan yang benar, sampai sebatas keras hati atau kemauan untuk mencapai sesuatu yang baik”.
“Na’udzubillah, alangkah keras kepalanya anakku ini. Sekali ia berpendapat, tak seorang, bahkan aku dan ibundanya pun dapat mengubah atau melenturkan pendiriannya”.

Bagindapun sering berulang kali memikirkan, apakah sifat buruk puteranya itu berasal dari keturunan, dari baginda sendiri atau permaisuri. Namun sambil memohon ampun kehadapan Tuhan bahwa beliau harus menilai diri sendiri dengan pujian, rasa-rasanya beliau adalah seseorang yang mau saja mendengarkan dan mengikuti pendapat orang lain. Orang-orang, rakyat, seperti yang didengar baginda sendiri, selalu memuji diri baginda sebagai seorang raja yang arif dan bijkasana. Begitipun dengan permaisuri, Menurut baginda, rakyat sangatlah menghormati permaisuri sebagai seorang wanita yang lemah lembut, ramah tamah, rendah hati dan tiada banyak perkataan. Berulang kali beliau merenung sedemikian, namun selalu sampai pada kesimpulan, bahwa sifat dan sikap putera mahkota itu bukanlah diturunkan oleh nenek moyang, tetapi dari sananya, dari akunya sang anak itu sendiri. Dan terakhir biasanya baginda menghibur diri sendiri dengan kesimpulan untuk berdoa semoga sifat putera mahkota yang kurang menyenangkan, yang satu itu lambat laun akan berubah sendiri.

Adapun sifat putera mahkota yang sedemikian itu, tak pelak lagi, menimbulkan dikeraton satu lingkaran kubu antar pejabat dan kerabat bangsawan yang banyak hanya menyanjung-nyanjung serta memuja-mujinya. Perilaku sedeikian tentulah bukan tanpa maksud dan tujuan. Bangsawan-bangsawan itu hanyalah mencari keuntungan pribadi untuk mencari kedekatan dengan putera mahkota, terutama mengharapkan jabatan-jabatan penting kelak, pada saat putera mahkota menjadi raja. Jadilah orang-orang yang kurang beritikad baik itu disebut sebagai pembisik-pembisik bagi putera mahkota.

Demikianlah kerajaan itu, sebuah negeri yang berbasis agrarian, aman makmur damai sentosa dan berbahagia, diperintah dan diayomi oleh baginda tua dengan permaisuri, keduanya sangatlah arif bijksana, dicintai dan dihormati. Namun ibarat kata pepatah, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, suatu ketika, oleh karena penyakit usia tua, bagida jatuh gering dan meninggal dunia. Dengan segala kebesaranpun baginda dimakamkan.

Walau banyak cerdik pandai dan tetua-tetua negeri merasa kurang berkenan dihati, oleh karena tidak ada plihan lain, putera mahkotapun dinobatkan menjadi raja, menggantikan almarhum baginda tua. Ternyata program pertama baginda baru adalah kunjungan muhibah ke Negara-negara tetangga dan manca Negara dimasa itu. Kepada pembesar dan rakyat baginda menyatakan bahwa ini adalah perjalanan penting kerajaan untuk memperkenalkan diri.

Maka pada suatu hari, berangkatlah dari pelabuhan kerajaan Hulu Amnadit, tidak kurang dari belasan buah kapal membawa baginda dan sri ratu serta robongan pembesar, pejabat dan kerabat, orang-orang yang semua dipilih oleh baginda. Tidak dilupakan pembekalan yang cukup untuk diperjalanan serta satu kapal khusus memuat cendera mata yang akan dipersembahkan kepada raja-raja atau kepala-kepala negara yang akan dikunjungi. Juga rombongan dilengkapi dengan cukup awak dan pengawal.

Tujuan perjalanan adalah kerajaan-kerajaan disepanjang sungai Barito, kerajaan Banjar di Selatan, menyeberang laut ke kerajaan-kerajaan sepanjang pantai utara pulau Jawa, ke barat ke kesultanan di Palembang, Siak Sri Indrapura, Samdra Pasai, mengarungi lautan Hindia hingga ke Madagaskar. Pulangnya singgah di Maladewa, Sailan dan India, singgah di Siam dan Patani di Malaka, menyeberang ke Pontianak dan Mempawah, ke utara lagi lalu ke timur singgah di kesultanan Moro menyisiri pantai utaa Selebes ke kesultanan-kesultanan Halmahera, Ternate dan Tidore. Dari kepulauan Maluku ini perjalanan pulang menyinggahi kerajaan-kerajaan Gowa dan Bone, meyebeangi selat Makassar memasuki kembali sungai Barito dan Amandit.

Pada masa itu perjalanan tidaklah semahal pejalanan zaman sekarang. Kapal-kapal tidak memerlukan bahan bakar, hanya menunggu angina rahmat Illahi. Persediaan makananpun tidak terlalu banyak karena disetiap pelabuhan kerajaan yang disinggahi, kapal-kapal dibekali isi hadiah dari tuan rumah. Persediaan yang mustahak pada masa itu hanyalah juadah-juadah kering seperti amping beras dan kerak nasi kuning, wajik dan cengkaruk (sejenis penganan manis dibuat dari beras ketan yang disangrai, ditumbuk dengn gula merah dan gorengan kelapa parut), ikan asin basah dan kering untuk persediaan sewaktu-waktu.

Adapu baginda sangat bersuka cita dengan perjalanan itu. Raja-raja serta pembersar-pembesar dari kerajaan-kerajaan yang disinggahi sangatlah ramahnya berbasa basi dan beradat istiadat. Disetiap penjemputan, gerbang istana selalu digelari permadani merah dan megah, diiringi kesenian-kesenian, upacara adat dan tari-tarian. Perjamuan makan besarpun selalu digelar menghormati tetamu.

Cenderamata yang didapatpun berlimpah-limpah, dimuatkan ke kapal-kapal untuk dibawa pulang. Sebagai balasan, baginda menghadiahkan berkarung-karung akar kayu pasak bumi, khas dari pedalaman hulu Barito. Raja-raja yang menerimapun sangatlah bersuka cita karena konon katanya akar kayu pasak bumi itu air seduhannya dapat merangsang gairah para raja-raja diperaduan.

Adapun perjalanan itu lamanya tidak kurang dan tidak lebih dari empat belas bulan purnama. Sementara baginda bepergian, kerajaan dijalankan dengan aman dan tenteram oleh adinda puteri dibantu oleh pembesar-pembesar yang ditinggal. Tidaklah selama itu terjadi sesuatu kejadian yang luar biasa.

Demikianlah, berminggu-minggu hingga bahkan berbulan-bulan lamanya, baginda masih terbayang dan terngiang diliputi rasa puas dan mimpi bahagia perjalanan muhibah tadi. Hanya rakyat jelata dan tetua-tetua yang arif yang merasakan bahwa perjalanan baginda itu sama sekali tidak ada manfaatnya, terutama bagi rakyat jelata. Mereka ini terkenang kembali akan almarhum raja tua yang sepanjang hidupnya hanya pernah satu kali naik haji ke mekah dan singgah di Patani di Malaka dan Kesunanan Ampel di Surabaya. Almarhum adalah seorang pemimpin Negara yang sangat hati-hati untuk tidak membuang-buang waktu dan biaya, raja yang sangat memikirkan Negara dan rakyat.

Sekembalinya memerintah, Raja Baru Hulu Amandit tadi banyak sekali membuat peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang menyusahkan rakyat. Tingkah laku para pembisikpun besimaharajalela. Dan puncak daripada kemalangan kerajaan adalah ketika dibentuknya dewan menteri yang baru. Menteri-menteri yang tua yang tergolong arif dan bijaksana, yang dulu diangkat dan menjadi handalan dan kepercayaan bagi baginda tua almarhum, diberhentikan dan diganti dengan orang-orang dari lingkaran kubu pembisik dalam istana. Dengan sifat baginda yang sangat keras kepala itu, keputusan-keputusan bag inda adalah kata akhir. Walau seberapa buruk dan tidak bijaksanapun keputusan-keputusan itu dirasakan orang-orang yang arif maupun rakyat jelata. Para pejabat yang baru tinggal mengaminkan, bertepuk tangan mengia-ia kan segala keputusan raja, walau yang paling buruk atau tidak masuk akal sekalipun.

Adalah pada masa itu rakyat harus selalu menurut dan menerima. Orang tidak oleh tidak setuju dengan keputuan raja sehingga rakyat yang sedih hanya boleh menangis sendiri dan mengurut dada. Tidak pernah terlintas dibenak rakyat utnuk berunjuk rasa seperti orang dimasa kini.

Demikianlah pemerintahan kerajaan serta rakyatnya berjalan, sampai pada suatu ketika terjadi malapetaka. Dengan tidak diketahui sebab musabab dan asal muasalnya, pada suatu musim kemarau yang panjang yang diikuti oleh kekeringan yang sangat, dilereng barat pegunungan Meratus, membujur dar utara ke selatan, terjadi kebakaran hutan. Kebakaran itu mulai dan melintasi kawasan yang tidak berpenduduk sehungga orang-orang di Hulu Amandit baru tahu akan adanya, setelah api hamper mencapai gunung Madang, ujung kerajaan di Tenggara. Orang-orang sudah tidak mampu lagi memadamkannya serta merekapun sangatlah cemas. Namun untung ketika itu terjadi musim mulai berganti. Musin hujan tiba. Hujan itulah yang secara alami memadamkan kebakaran. Sebagai sisa bencana itu, hutan bekas kebakaranpun menjadi gundul.

Sebetulnya daerah Hulu Amandit tergolong dataran yang agak tinggi. Berbeda dengan negeri-negeri sepanjang hiliran sungai Barito yang rendah dan berawa, banjir hampir tak pernah terjadi. Namun setelah kebakaran besar tersebut, hutan gundulpun tidak dapat menahan dan meresapkan air. Pada suatu musim hujan yang lebat dan panjang, terjadilah banjir dinegeri Hulu Amandit. Banjir itu sedemikian besar, hingga merendam hamper seluruh kebun dan persawahan diseluruh negeri. Hama tikus dan lain-lainnya tumbuh subur dan panen pangan gagal total. Rakyatpun hidup seadanya dengan sisa-sisa pangan yang masih ada. Tetua-tetua serta orang arif dan rakyat jelata berfikir panjang, terutama untuk masa depan. Merekapun membentuk suatu perutusan menghadap raja untuk memohon demi penanggulangan musibah hingga kemasa depan, agar dicanangkan program. Pertama, rakyat memburu tikus-tikus dan istana mengganjar sejumlah hadiah untuk tiap jumlah ekor tikus yang dapat dibunuh, dan jedua, rakyat dikerahkan menanam bibit-bibit pohon di gunung Madang agar hutan tumbuh kembali sehingga air hujan dari dari hulu dan lereng pegunungan Meratus akan tersangga. Namun sedikitpun baginda tidak memperdulikan usul-usul tersebut. Dengan lagak sinis dan sombong, raja menjawab, “ Ah, tahu apa kalian, aku puny aide lebih baik.”

Tersebutlah di ibukota kerajaan ada lima batang pohon kayu besar yang sangat disayangi rakyat. Dua pohon johar besar dipekarangan mesjid jami istana telah tumbuh sejak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu. Keduanya begitu megah namun anggun dan cantik, dilambangkan rakyat sebagai penaung dan mengayom mereka, terutama dalam menjalankan ajaran agama yang kokoh. Lalu dua batang pohon lantung (sejenis pohon karet hutan) yang jangung dan langsing tumbuh dikanan kiri halaman istana, pucuk-pucuknya nan tinggi diatas tempat burung-burung cantik bermain dan bersarang, berusia ratusan tahun sejak sebelum Keraton didirikan, pelambang bagi rakyat untuk kepanjangan usia, kelestarian dan kedaulatan negeri.Pohon-pohon tadi adalah sisa-sisa dari hutan yang ditebang sewaktu keraton didirikan. Bangunan-bangunan keraton hamper seluruhnya dibuat dari jenis-jenis pohon tadi yang ditebang dibuat kayu bangunan. Mesjid agung seluruhnya dibuat dari kayu batang pohon johar.

Dipekarangan kediaman panglima perang, tumbuhlah batang pohon kedondong yang besar. Pohon ini sama juga tua usianya dan menghasilkan buah kedondong yang besar, lebih besar dari kepalan tinju manusia dan sangat manis, berbuah sepanjang tahun tanpa henti-hentinya dengan lebat. Hampir seluruh bayi dinegeri itu dilahirkan dari kehamilan ibu-ibu yang mengdamnya buah kedondong dari halaman rumah tuanku panglima. Karena buahnya yang lebat dan terus menerus, siapapun diizinkan mengambilnya terutama bagi kaum wanita yang sedang hamil.

Kelima pohon tadi diperintahkan raja untuk ditebang. Rakyatpun kaget. Apalagi yang akan mereka jadikan perlambang kelestarian, kebesaran dan kemakmuran negeri seperti di zaman almarhum baginda tua serta nenek-nenek moyang, selain kedua pohon johar dan kedua pohon lantung itu? Apalagi mereka membayangkan bahwa anak-anak balita dimasa depan akan tampak sebagai anak-anak yang dungu dengan mulut terbuka sedikit menganga serta air liur yang mengalir dari sudut-sudut mulut dan bibir terus menerus akibat ketidak-lulusan ibu-ibu mereka wktu mengidam buah kedondong dari halaman tuanku panglima.

Namun rakyat harus menurut dan walhasil merekapun terpaksa menebang kelima pohon tadi. Setelah itu, datanglah raja kembali memberi perintah agar batang pohon-pohon kayu dipotong-potong melintang menjadi penampang-penampang setebal tiga jari tangan kanan tidur. Rakyatpun mengerjakannya. Perintah berikutnya adalah penampang-penampang adi diracik-racik hinga setebal lidi korek api, diraut sampai halus dan rapi, dan salah satu ujungnya diruncingkan menjadi bagaikan tusuk gigi. Kesana kemari baginda mengontrol kerja rakyat sambil berteriak, “Raut…raut terus…licinkan…runcingkan…!!”.

Setiap segenggam bilah-bilah tadi diikat dengan tali serat batang pisang, tiap gelondingan dimuat, diatur dalam kotak-kotak kayu dan kotak-kotak ini dimuatkan ke kapal. Semuanya sebanyak sepuluh buah kapal. Segenap pekerjaan tadi dikerjakan tanpa mesin sedikitpun, terselesaikan rakyat tidak kurang dalam tempo Sembilan puluh hari kerja siang dan malam.

Setelah semuanya siap termuat, besok pagnya baginda dengan serombongan pejabat kerajaan kepercayaannya, berangkat berlayar membawa kesepuluh kapal yang memuat bilah-bilah kayu kecil tadi. Tidak seorangpun yang tinggal dikerajaan diberitahu negeri mana yang akan dituju. Alkisah rakyat yang ditinggalkan terbingung-bingung memikirkan kelakukan raja. Namun lama kelamaan mereka merasa tidak begitu penting memikirkan hal itu lagi, karena mereka harus pergi ke hutan-hutan untuk mencari umbi-umbian, berburu atau memancing ala kadarnya untuk sekedar mendapatkan yang dapat dimakan. Pada akhirnyapun rakyat lupa akan kepergian raja mereka. Selang kurang lebih lima enam bulan kemudian, pada suatu hari rombongan raja kembali tiba di pelabuhan Hulu Amandit. Muatan kapalpun dibongkar, ternyat ada lima belas kapal berisi beras. Setelah separuhnya disisihkan untuk lumbung istana, sisanya dibagikan kepada rakyat. Dan dapatlah setiap orang barang satu dua gantang, cukup untuk makan nasi sekeluarga barang sepuluh hari.

Raja sangat bangga dan bercerita tentang kehebatan idenya. Pada perjalanan muhibah dahulu, sewaktu singgah di negeri Siam, raja Siam bercerita bahwa mereka mendapat hadiah sapisapi dari kerajaan India.orang Siam mengembangkan peternakan sapid an berhasil. Daging sapi berlimpah-limpah dan koki-koki negeri Siam dikirim ke India dan Timur Tengah belajar memasak sate kebab, kari dan gulai. Akibat menu-manu itu orang Siam terancam sakit gigi karena sering keselilitan. Karena asyknya beternak disamping mengembangkan pertanian, walau pohon kelapa tumbuh melimpah dinegerinya, orang Siam malas membuat, dan kekurangan tusuk gigi.

Maka tatkala raja Hulu Amandit membawa tusuk gigi itulah orang Siam sangat sukacita. Ditukarlah tusuk gigi itu dengan beras dalam jumlah kapal yang sama ditambahi hadiah lima kapal lagi, semua menjadi lima belas kapal penuh beras Siam.

Sekarang mengertilah rakyat Hulu Amandit bahwa lima pohon negeri kecintaan mereka telah betul-betul menjadi tusuk gigi. Mereka tidak dapat merasa betul-betul bersukacita, malah menjadi sedih. Lambat laun satu orang, dua orang, empat orang, sepuluh orang hingga hamper seluruh orang-orang arif dan rakyat jelata tidak hanya merasa sedih, sedikit-sedikit berubah menjadi gusar dan akhirnya marah. Mereka merasa terhina, dipermalukan raja mereka sendiri. Untuk pertama kali rakyat Hulu Amandit mengadakan pertemuan rahasia dan untuk pertama kali mereka memutuskan untuk berunjuk rasa, menyampaika memorandum ke istana.

Memorandum yang akan disampaikan berbunyi; Bahwa rakyat merasa sakit hati karena pertama, dihinakan menjadi bangsa kuli pembuat tusuk gigi dan kedua, rakyat sedih karena lima batang pohon kesayangan mereka telah hilang ditebang untuk dijadikan tusuk gigi. Betul betul tusuk gigi. Dalam memorandum tahap pertama itu mereka, untuk pertama kali, menuntut raja meminta maaf kepada rakyat.

Maka pada hari yang ditentukan, berbondong-bondonglah rakyat dari segenap penjuru Hulu Amandit dari Hamalau, Simpur dan Sungai Raya, dari Gambah, Tabihi, Bakarung, Taniran dan Hangkinang, dari Telaga Langsat sampai Haruyan, dari Muara Banta, Padang Basung, sampai ke Gunung Madang, dari LokLoa sampai Jambu berbaris ke istana. Mereka tidak membawa poster dan spandukseperti orang berunjuk rasa jaman sekarang, juga tidak seorangpun membawa senjata biar senjata tumpul sekalipun. Yang dibawa hanyalah kaleng-kaleng bekas, tutup-tutup panic dan kuali, nyiru-nyiru dan tudung-tudung saji. Semua hiruk pikuk dipukuli batangan kayu.

Adalah Su Tjap dari pimpinan rombongan orang Hangkinang yang mendengar bunyi dari Tugamal dibarisan paling belakang orang Hamalau. Mereka waktu itu berbaris menurut urutan abjad huruf arab dari nama-nama kampong. Bunyinya khas trot tot tot, selang tak lama trat tat tat atau trit tit tit dari arah ekor Tugamal. Su Tjap mengarahkan telinga dan mendengarkan lgi dengan teliti. Memang dari arah ekor Tugamal. Benar, benar, benar, orang diseluruh negeri tahu bahwa Tugamal menderita sakit hernia atau disebut kondor oleh orang Jawa, naik berok olh orang Jakarta atau burut burut kata orang Banjar, Kadang-kadang sebagian dinding usus terjepit didinding bagian bawah ruang perut yang lembek sehingga isi usus termasuk angina tidak bisa lewat. Kalau hernianya hanya kecil, biasanya terjepitnya hanya sebagian dan usus bisa lepas bebas lagi kembali normal dengan perobahan posisi orang. Namun pada waktu itu, orang percaya bahwa orang yang tidak bisa melewatkan angina harus makan obat. Obatnya ialah biji buah kidaung (sejenis petai-petaian yang bijinya kurang lebih sebentuk dan sebesar biji semangka belanda). Biji buah kidaung ini digoreng kering atau dengan pasir, isi bijinya dimakan seperti makan kuaci. Dan orang segera bisa melepas angina, bahkan dengan hebat. Rupanya hernia Tugamal kemarin sore kumat dan malamnya dia makan biji kidaung, sehingga itulah, pagi-paginya tatkala ikut barisan, trot tot tot, tret tet tet. Su Tjap tak ragu lagi..

Ia berlari-lari kedepan sambil sebentar-sebentar berteriak,”Ya kentut. Ya kentut!” Demikianlah Su Tjap berlari berkeliling, berbicara sebentar dengan pimpinan masing-masing rombongan kampong, sampai akhirnya seluruh barisan terhenti dan pemimpin-pemimpinnya berkumpul disebuah lapangan kecil untuk berunding. Pemimpin-pemimpin rombongan tak lama kemudian kembali ke barisan masing-masing dan atas instruksinya barisan-barisan pada bubar dan kembali kekampungnya. Unjuk rasapun batal.

Sore harinya orang laki-laki rakyat jelata pergi ke hutan-hutan mencari buah kidaung. Malamnya ibu-ibu dan nenek-nenek sibuk menggoreng biji kidaung tadi yang langsung dimakan beramai-ramai oleh bapak-bapak dan pemuda-pemuda. Haripun larut malam dan semua orang beristirahat. Selama itu orang-orang istana tidak ada tahu apa yang siang tadi telah terjadi dan apa yang besok direncanakan rakyat akan terjadi.

Selepas sembahyang subuh esok harinya, barisan rakyat dimulai lagi. Hari ini mereka bertangan kosong, tidak membawa benda apapun. Juga barisan menjadi lebih diatur, semua berbaris empat orang empat orang memanjang dari depan kebelakang. Sehingga panjangnya sampai kiloan meter. Orang-orang berbaris tanpa banyak berbunyi-bunyi atau berkata-kata. Terlihat banyak orang dalam barisan itu yang kadang-kadang tersengal-sengal menahan nafas mengempiskan perut seakan-akan menahan sesuatu jangan sampai terlepas dari badan mereka. Sekali-sekali ada yang usahanya gagal dan terdengarlah trot tot tot atau trit tit tit kecil-kecilan.

Seluruh rakyat negeri itu sangat tahu akan kegiatan rutin baginda raja. Setelah bangun untuk sembahyang subuh, baginda biasanya tidur lagi. Nanti tatkala matahari sudah tinggi hampir sepenggalan, baginda terjaga. Setelah minum air putih, dengan sebatang rokok terselip dimulut, baginda keluar kebelakang istana. Demikianlah tepat barisan terdepan rakyat sampai dibelakang istana, mereka melihat raja memasuki kamar persiraman dan pelepasan hajat baginda. Baginda sedikitpun tidak menyadari apa yang terjadi disekeliling.

Bagaikan dikomando, keempat orang dibarisan tadi maju dan bercerai. Satu ke utara, satu ke timur, satu ke selatan dan satu ke barat dinding kamar mandi baginda. Dengan serempak pula mereka, yang memakai sarung menyiingsing sarung tinggi-tinggi, yang bercelana melorotkan celana agak sedikit, mmbelakangi dinding kamar mandi, menungging dan mulai melepaskan tembakan beruntun – trot tot tot, trat tat tat, ada juga yang tret tet tet dan trit tit tit.

Selesai empat orang ini, dengan tenang mereka bubar memberi kesempatan berbuat sama bagi empat orang dibelakangnya. Lama kelamaan, baginda didalam kamar mandi, melalui sebuah lobang kecil didinding ingin mengintip rakyat yang menembak. Ingin beliau lari keluar tapi takut akan barisan rakyat yang begitu panjang. Akhirnya selesailah pekerjaan seluruh rakyat dalam barisan sedikit waktu sebelum lohor. Disekitar istanapun sudah lengang lagi. Orang-orang istana tahu bahwa raja ada didalam kamar mandi dan tahu apa semua yang telah terjadi. Mereka membuka pintu kamar mandi. Namun raja tidak ada didalamnya. Raja raib tak tentu rimbanya.......