DATU DAN WALI

=============================================================================================

Mari kita dukung pelestarian khazanah cerita rakyat Daerah Kalimantan Selatan seperti Maharaja sukarama dan raja-raja dari kerajaan negara daha, perebutan tahta pangeran samudera dengan pangeran tumenggung, legenda raja gubang, datu panglima amandit, datung suhit dan datuk makandang, datu singa mas, datu kurba, datu ramanggala di ida manggala, datu rampai dan datu parang di baru sungai raya, datu ulin dan asal mula kampung ulin, datu sangka di papagaran, datu saharaf parincahan, datu putih dan datu karamuji di banyu barau, legenda batu laki dan batu bini di padang batung, legenda gunung batu bangkai loksado, datu suriang pati di gambah dalam, legenda datu ayuh sindayuhan dan datu intingan bambang basiwara di loksado, kisah datu ning bulang di hantarukung, datu durabu di kalumpang, datu baritu taun dan datu patinggi di telaga langsat, legenda batu manggu masak mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga bidadari datu awang sukma di hamalau, kisah gunung kasiangan di simpur, kisah datu kandangan dan datu kartamina, datu hamawang dan datu kurungan serta sejarah mesjid quba, tumenggung antaludin dan tumenggung mat lima mempertahankan benteng gunung madang, panglima bukhari dan perang hamuk hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di lukloa, datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai, datu buasan dan datu singa jaya di hampa raya, datu haji muhammad rais di bamban, datu janggar di malutu, datu bagut di hariang, sejarah mesjid ba angkat di wasah, dakwah penyebaran agama islam datu taniran di angkinang, datu balimau di kalumpang, datu daha, datu kubah dingin, makam habib husin di tengah pasar kandangan, kubur habib ibrahim nagara dan kubah habib abu bakar lumpangi, kubur enam orang pahlawan di taal, makam keramat bagandi, kuburan tumpang talu di parincahan, pertempuran garis demarkasi dan kubur Brigjen H.M. Yusi di karang jawa, pahlawan wanita aluh idut di tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan Ibnu hajar, sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI yang dipimpin Brigjen H. Hasan Baseri dan pembacaan teks proklamasinya di Kandangan. Semuanya adalah salah satu aset budaya dan sejarah bagi Kalimantan Selatan.

Minggu, 27 Januari 2013

KISAH RAJA GUBANG

Pada suatu kurun waktu dizaman dahulu, disuatu tempat didaerah aliran sungai Amandit di Kalimantan Selatan, terdapatlah sebuah kerajaan. Riwayat kerajaan ini hanyalah terceriterakan sambung bersambung dari mulut kemulut, karena pada suatu ketika terjadi sbuah kebakaran besar yang selain menghabiskan seluruh keraton dan isinya, juga rumah lembaga-lembaga kerajaan lainnya. Termasuk diantara yang terbakar itu adalah gedung hikayat dan sejarah yang menyimpan segala catatan-catatan mengenai kerajaan.

Orangpun lama kelamaan lupa silsilah nama raja-raja yang pernah memerintah disitu. Bahkan pada akhirnya orang juga lupa akan nama kerajaan itu sendiri. Dalam ceritera ini, biarlah untuk mudahnya kita namakan kerajaan itu sebagai kerajaan Hulu Amandit.

Dalam kurun waktu akhir-akhir dari keberadaan kerajaan itu, kerajaan Hulu Amandit diperintah oleh seorang baginda tua, yang diingat orang sudah puluhan tahun memerintah, dari usia muda hingga keusia beliau yang hamper 80 tahun. Dibawah pemerintahan beliau, negeri aman, makmur, tenteram dan sejahtera, tidak pernah kekurangan sesuatupun. Beliau berputera 2 orang, seorang pangeran putera mahkota dan seorang puteri.

Sebagai seorang raja yang berfikiran maju dan bersifat bijaksana, baginda memberikan pendidikan yang sangat cukup bagi putera mahkota dan sang puteri. Keduanya mendapatkan pendidikan dan latihan yang sangat cukup bagi sorang pangeran dan seorang puteri raja. Bahkan putera mahkota dikirim berguru, tidak hanya ke Negara tetangga seperti Kerajaan Banjar dan kesultanan-kesultanan lain didaerah aliran Sungai Barito, hinga yang dipesisir pulau Jawa seperti Gresik, Demak, Cirebon dan Banten, namun juga hingga ke tanah Mesir dan Arab, bahkan suatu waktu ke negeri Cina.

Maka menjadiliah putera mahkota seorang pangeran yang sangat pandai dan piawai didalam berbagai ilmu. Namun bagai kata pepatah: tak ada gading yang tak retak, ada satu cacat sifat pada sang putera mahkota yang sangat menonjol yang sangat merisaukan fikiran baginda raja.

Baginda sering termenung, merenung sendiri; “ Kita semua insan Tuhan memang harus ada keras kepalanya, namun itu sebaiknya hanya untuk mempertahankan yang benar, sampai sebatas keras hati atau kemauan untuk mencapai sesuatu yang baik”.
“Na’udzubillah, alangkah keras kepalanya anakku ini. Sekali ia berpendapat, tak seorang, bahkan aku dan ibundanya pun dapat mengubah atau melenturkan pendiriannya”.

Bagindapun sering berulang kali memikirkan, apakah sifat buruk puteranya itu berasal dari keturunan, dari baginda sendiri atau permaisuri. Namun sambil memohon ampun kehadapan Tuhan bahwa beliau harus menilai diri sendiri dengan pujian, rasa-rasanya beliau adalah seseorang yang mau saja mendengarkan dan mengikuti pendapat orang lain. Orang-orang, rakyat, seperti yang didengar baginda sendiri, selalu memuji diri baginda sebagai seorang raja yang arif dan bijkasana. Begitipun dengan permaisuri, Menurut baginda, rakyat sangatlah menghormati permaisuri sebagai seorang wanita yang lemah lembut, ramah tamah, rendah hati dan tiada banyak perkataan. Berulang kali beliau merenung sedemikian, namun selalu sampai pada kesimpulan, bahwa sifat dan sikap putera mahkota itu bukanlah diturunkan oleh nenek moyang, tetapi dari sananya, dari akunya sang anak itu sendiri. Dan terakhir biasanya baginda menghibur diri sendiri dengan kesimpulan untuk berdoa semoga sifat putera mahkota yang kurang menyenangkan, yang satu itu lambat laun akan berubah sendiri.

Adapun sifat putera mahkota yang sedemikian itu, tak pelak lagi, menimbulkan dikeraton satu lingkaran kubu antar pejabat dan kerabat bangsawan yang banyak hanya menyanjung-nyanjung serta memuja-mujinya. Perilaku sedeikian tentulah bukan tanpa maksud dan tujuan. Bangsawan-bangsawan itu hanyalah mencari keuntungan pribadi untuk mencari kedekatan dengan putera mahkota, terutama mengharapkan jabatan-jabatan penting kelak, pada saat putera mahkota menjadi raja. Jadilah orang-orang yang kurang beritikad baik itu disebut sebagai pembisik-pembisik bagi putera mahkota.

Demikianlah kerajaan itu, sebuah negeri yang berbasis agrarian, aman makmur damai sentosa dan berbahagia, diperintah dan diayomi oleh baginda tua dengan permaisuri, keduanya sangatlah arif bijksana, dicintai dan dihormati. Namun ibarat kata pepatah, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, suatu ketika, oleh karena penyakit usia tua, bagida jatuh gering dan meninggal dunia. Dengan segala kebesaranpun baginda dimakamkan.

Walau banyak cerdik pandai dan tetua-tetua negeri merasa kurang berkenan dihati, oleh karena tidak ada plihan lain, putera mahkotapun dinobatkan menjadi raja, menggantikan almarhum baginda tua. Ternyata program pertama baginda baru adalah kunjungan muhibah ke Negara-negara tetangga dan manca Negara dimasa itu. Kepada pembesar dan rakyat baginda menyatakan bahwa ini adalah perjalanan penting kerajaan untuk memperkenalkan diri.

Maka pada suatu hari, berangkatlah dari pelabuhan kerajaan Hulu Amnadit, tidak kurang dari belasan buah kapal membawa baginda dan sri ratu serta robongan pembesar, pejabat dan kerabat, orang-orang yang semua dipilih oleh baginda. Tidak dilupakan pembekalan yang cukup untuk diperjalanan serta satu kapal khusus memuat cendera mata yang akan dipersembahkan kepada raja-raja atau kepala-kepala negara yang akan dikunjungi. Juga rombongan dilengkapi dengan cukup awak dan pengawal.

Tujuan perjalanan adalah kerajaan-kerajaan disepanjang sungai Barito, kerajaan Banjar di Selatan, menyeberang laut ke kerajaan-kerajaan sepanjang pantai utara pulau Jawa, ke barat ke kesultanan di Palembang, Siak Sri Indrapura, Samdra Pasai, mengarungi lautan Hindia hingga ke Madagaskar. Pulangnya singgah di Maladewa, Sailan dan India, singgah di Siam dan Patani di Malaka, menyeberang ke Pontianak dan Mempawah, ke utara lagi lalu ke timur singgah di kesultanan Moro menyisiri pantai utaa Selebes ke kesultanan-kesultanan Halmahera, Ternate dan Tidore. Dari kepulauan Maluku ini perjalanan pulang menyinggahi kerajaan-kerajaan Gowa dan Bone, meyebeangi selat Makassar memasuki kembali sungai Barito dan Amandit.

Pada masa itu perjalanan tidaklah semahal pejalanan zaman sekarang. Kapal-kapal tidak memerlukan bahan bakar, hanya menunggu angina rahmat Illahi. Persediaan makananpun tidak terlalu banyak karena disetiap pelabuhan kerajaan yang disinggahi, kapal-kapal dibekali isi hadiah dari tuan rumah. Persediaan yang mustahak pada masa itu hanyalah juadah-juadah kering seperti amping beras dan kerak nasi kuning, wajik dan cengkaruk (sejenis penganan manis dibuat dari beras ketan yang disangrai, ditumbuk dengn gula merah dan gorengan kelapa parut), ikan asin basah dan kering untuk persediaan sewaktu-waktu.

Adapu baginda sangat bersuka cita dengan perjalanan itu. Raja-raja serta pembersar-pembesar dari kerajaan-kerajaan yang disinggahi sangatlah ramahnya berbasa basi dan beradat istiadat. Disetiap penjemputan, gerbang istana selalu digelari permadani merah dan megah, diiringi kesenian-kesenian, upacara adat dan tari-tarian. Perjamuan makan besarpun selalu digelar menghormati tetamu.

Cenderamata yang didapatpun berlimpah-limpah, dimuatkan ke kapal-kapal untuk dibawa pulang. Sebagai balasan, baginda menghadiahkan berkarung-karung akar kayu pasak bumi, khas dari pedalaman hulu Barito. Raja-raja yang menerimapun sangatlah bersuka cita karena konon katanya akar kayu pasak bumi itu air seduhannya dapat merangsang gairah para raja-raja diperaduan.

Adapun perjalanan itu lamanya tidak kurang dan tidak lebih dari empat belas bulan purnama. Sementara baginda bepergian, kerajaan dijalankan dengan aman dan tenteram oleh adinda puteri dibantu oleh pembesar-pembesar yang ditinggal. Tidaklah selama itu terjadi sesuatu kejadian yang luar biasa.

Demikianlah, berminggu-minggu hingga bahkan berbulan-bulan lamanya, baginda masih terbayang dan terngiang diliputi rasa puas dan mimpi bahagia perjalanan muhibah tadi. Hanya rakyat jelata dan tetua-tetua yang arif yang merasakan bahwa perjalanan baginda itu sama sekali tidak ada manfaatnya, terutama bagi rakyat jelata. Mereka ini terkenang kembali akan almarhum raja tua yang sepanjang hidupnya hanya pernah satu kali naik haji ke mekah dan singgah di Patani di Malaka dan Kesunanan Ampel di Surabaya. Almarhum adalah seorang pemimpin Negara yang sangat hati-hati untuk tidak membuang-buang waktu dan biaya, raja yang sangat memikirkan Negara dan rakyat.

Sekembalinya memerintah, Raja Baru Hulu Amandit tadi banyak sekali membuat peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang menyusahkan rakyat. Tingkah laku para pembisikpun besimaharajalela. Dan puncak daripada kemalangan kerajaan adalah ketika dibentuknya dewan menteri yang baru. Menteri-menteri yang tua yang tergolong arif dan bijaksana, yang dulu diangkat dan menjadi handalan dan kepercayaan bagi baginda tua almarhum, diberhentikan dan diganti dengan orang-orang dari lingkaran kubu pembisik dalam istana. Dengan sifat baginda yang sangat keras kepala itu, keputusan-keputusan bag inda adalah kata akhir. Walau seberapa buruk dan tidak bijaksanapun keputusan-keputusan itu dirasakan orang-orang yang arif maupun rakyat jelata. Para pejabat yang baru tinggal mengaminkan, bertepuk tangan mengia-ia kan segala keputusan raja, walau yang paling buruk atau tidak masuk akal sekalipun.

Adalah pada masa itu rakyat harus selalu menurut dan menerima. Orang tidak oleh tidak setuju dengan keputuan raja sehingga rakyat yang sedih hanya boleh menangis sendiri dan mengurut dada. Tidak pernah terlintas dibenak rakyat utnuk berunjuk rasa seperti orang dimasa kini.

Demikianlah pemerintahan kerajaan serta rakyatnya berjalan, sampai pada suatu ketika terjadi malapetaka. Dengan tidak diketahui sebab musabab dan asal muasalnya, pada suatu musim kemarau yang panjang yang diikuti oleh kekeringan yang sangat, dilereng barat pegunungan Meratus, membujur dar utara ke selatan, terjadi kebakaran hutan. Kebakaran itu mulai dan melintasi kawasan yang tidak berpenduduk sehungga orang-orang di Hulu Amandit baru tahu akan adanya, setelah api hamper mencapai gunung Madang, ujung kerajaan di Tenggara. Orang-orang sudah tidak mampu lagi memadamkannya serta merekapun sangatlah cemas. Namun untung ketika itu terjadi musim mulai berganti. Musin hujan tiba. Hujan itulah yang secara alami memadamkan kebakaran. Sebagai sisa bencana itu, hutan bekas kebakaranpun menjadi gundul.

Sebetulnya daerah Hulu Amandit tergolong dataran yang agak tinggi. Berbeda dengan negeri-negeri sepanjang hiliran sungai Barito yang rendah dan berawa, banjir hampir tak pernah terjadi. Namun setelah kebakaran besar tersebut, hutan gundulpun tidak dapat menahan dan meresapkan air. Pada suatu musim hujan yang lebat dan panjang, terjadilah banjir dinegeri Hulu Amandit. Banjir itu sedemikian besar, hingga merendam hamper seluruh kebun dan persawahan diseluruh negeri. Hama tikus dan lain-lainnya tumbuh subur dan panen pangan gagal total. Rakyatpun hidup seadanya dengan sisa-sisa pangan yang masih ada. Tetua-tetua serta orang arif dan rakyat jelata berfikir panjang, terutama untuk masa depan. Merekapun membentuk suatu perutusan menghadap raja untuk memohon demi penanggulangan musibah hingga kemasa depan, agar dicanangkan program. Pertama, rakyat memburu tikus-tikus dan istana mengganjar sejumlah hadiah untuk tiap jumlah ekor tikus yang dapat dibunuh, dan jedua, rakyat dikerahkan menanam bibit-bibit pohon di gunung Madang agar hutan tumbuh kembali sehingga air hujan dari dari hulu dan lereng pegunungan Meratus akan tersangga. Namun sedikitpun baginda tidak memperdulikan usul-usul tersebut. Dengan lagak sinis dan sombong, raja menjawab, “ Ah, tahu apa kalian, aku puny aide lebih baik.”

Tersebutlah di ibukota kerajaan ada lima batang pohon kayu besar yang sangat disayangi rakyat. Dua pohon johar besar dipekarangan mesjid jami istana telah tumbuh sejak puluhan bahkan mungkin ratusan tahun yang lalu. Keduanya begitu megah namun anggun dan cantik, dilambangkan rakyat sebagai penaung dan mengayom mereka, terutama dalam menjalankan ajaran agama yang kokoh. Lalu dua batang pohon lantung (sejenis pohon karet hutan) yang jangung dan langsing tumbuh dikanan kiri halaman istana, pucuk-pucuknya nan tinggi diatas tempat burung-burung cantik bermain dan bersarang, berusia ratusan tahun sejak sebelum Keraton didirikan, pelambang bagi rakyat untuk kepanjangan usia, kelestarian dan kedaulatan negeri.Pohon-pohon tadi adalah sisa-sisa dari hutan yang ditebang sewaktu keraton didirikan. Bangunan-bangunan keraton hamper seluruhnya dibuat dari jenis-jenis pohon tadi yang ditebang dibuat kayu bangunan. Mesjid agung seluruhnya dibuat dari kayu batang pohon johar.

Dipekarangan kediaman panglima perang, tumbuhlah batang pohon kedondong yang besar. Pohon ini sama juga tua usianya dan menghasilkan buah kedondong yang besar, lebih besar dari kepalan tinju manusia dan sangat manis, berbuah sepanjang tahun tanpa henti-hentinya dengan lebat. Hampir seluruh bayi dinegeri itu dilahirkan dari kehamilan ibu-ibu yang mengdamnya buah kedondong dari halaman rumah tuanku panglima. Karena buahnya yang lebat dan terus menerus, siapapun diizinkan mengambilnya terutama bagi kaum wanita yang sedang hamil.

Kelima pohon tadi diperintahkan raja untuk ditebang. Rakyatpun kaget. Apalagi yang akan mereka jadikan perlambang kelestarian, kebesaran dan kemakmuran negeri seperti di zaman almarhum baginda tua serta nenek-nenek moyang, selain kedua pohon johar dan kedua pohon lantung itu? Apalagi mereka membayangkan bahwa anak-anak balita dimasa depan akan tampak sebagai anak-anak yang dungu dengan mulut terbuka sedikit menganga serta air liur yang mengalir dari sudut-sudut mulut dan bibir terus menerus akibat ketidak-lulusan ibu-ibu mereka wktu mengidam buah kedondong dari halaman tuanku panglima.

Namun rakyat harus menurut dan walhasil merekapun terpaksa menebang kelima pohon tadi. Setelah itu, datanglah raja kembali memberi perintah agar batang pohon-pohon kayu dipotong-potong melintang menjadi penampang-penampang setebal tiga jari tangan kanan tidur. Rakyatpun mengerjakannya. Perintah berikutnya adalah penampang-penampang adi diracik-racik hinga setebal lidi korek api, diraut sampai halus dan rapi, dan salah satu ujungnya diruncingkan menjadi bagaikan tusuk gigi. Kesana kemari baginda mengontrol kerja rakyat sambil berteriak, “Raut…raut terus…licinkan…runcingkan…!!”.

Setiap segenggam bilah-bilah tadi diikat dengan tali serat batang pisang, tiap gelondingan dimuat, diatur dalam kotak-kotak kayu dan kotak-kotak ini dimuatkan ke kapal. Semuanya sebanyak sepuluh buah kapal. Segenap pekerjaan tadi dikerjakan tanpa mesin sedikitpun, terselesaikan rakyat tidak kurang dalam tempo Sembilan puluh hari kerja siang dan malam.

Setelah semuanya siap termuat, besok pagnya baginda dengan serombongan pejabat kerajaan kepercayaannya, berangkat berlayar membawa kesepuluh kapal yang memuat bilah-bilah kayu kecil tadi. Tidak seorangpun yang tinggal dikerajaan diberitahu negeri mana yang akan dituju. Alkisah rakyat yang ditinggalkan terbingung-bingung memikirkan kelakukan raja. Namun lama kelamaan mereka merasa tidak begitu penting memikirkan hal itu lagi, karena mereka harus pergi ke hutan-hutan untuk mencari umbi-umbian, berburu atau memancing ala kadarnya untuk sekedar mendapatkan yang dapat dimakan. Pada akhirnyapun rakyat lupa akan kepergian raja mereka. Selang kurang lebih lima enam bulan kemudian, pada suatu hari rombongan raja kembali tiba di pelabuhan Hulu Amandit. Muatan kapalpun dibongkar, ternyat ada lima belas kapal berisi beras. Setelah separuhnya disisihkan untuk lumbung istana, sisanya dibagikan kepada rakyat. Dan dapatlah setiap orang barang satu dua gantang, cukup untuk makan nasi sekeluarga barang sepuluh hari.

Raja sangat bangga dan bercerita tentang kehebatan idenya. Pada perjalanan muhibah dahulu, sewaktu singgah di negeri Siam, raja Siam bercerita bahwa mereka mendapat hadiah sapisapi dari kerajaan India.orang Siam mengembangkan peternakan sapid an berhasil. Daging sapi berlimpah-limpah dan koki-koki negeri Siam dikirim ke India dan Timur Tengah belajar memasak sate kebab, kari dan gulai. Akibat menu-manu itu orang Siam terancam sakit gigi karena sering keselilitan. Karena asyknya beternak disamping mengembangkan pertanian, walau pohon kelapa tumbuh melimpah dinegerinya, orang Siam malas membuat, dan kekurangan tusuk gigi.

Maka tatkala raja Hulu Amandit membawa tusuk gigi itulah orang Siam sangat sukacita. Ditukarlah tusuk gigi itu dengan beras dalam jumlah kapal yang sama ditambahi hadiah lima kapal lagi, semua menjadi lima belas kapal penuh beras Siam.

Sekarang mengertilah rakyat Hulu Amandit bahwa lima pohon negeri kecintaan mereka telah betul-betul menjadi tusuk gigi. Mereka tidak dapat merasa betul-betul bersukacita, malah menjadi sedih. Lambat laun satu orang, dua orang, empat orang, sepuluh orang hingga hamper seluruh orang-orang arif dan rakyat jelata tidak hanya merasa sedih, sedikit-sedikit berubah menjadi gusar dan akhirnya marah. Mereka merasa terhina, dipermalukan raja mereka sendiri. Untuk pertama kali rakyat Hulu Amandit mengadakan pertemuan rahasia dan untuk pertama kali mereka memutuskan untuk berunjuk rasa, menyampaika memorandum ke istana.

Memorandum yang akan disampaikan berbunyi; Bahwa rakyat merasa sakit hati karena pertama, dihinakan menjadi bangsa kuli pembuat tusuk gigi dan kedua, rakyat sedih karena lima batang pohon kesayangan mereka telah hilang ditebang untuk dijadikan tusuk gigi. Betul betul tusuk gigi. Dalam memorandum tahap pertama itu mereka, untuk pertama kali, menuntut raja meminta maaf kepada rakyat.

Maka pada hari yang ditentukan, berbondong-bondonglah rakyat dari segenap penjuru Hulu Amandit dari Hamalau, Simpur dan Sungai Raya, dari Gambah, Tabihi, Bakarung, Taniran dan Hangkinang, dari Telaga Langsat sampai Haruyan, dari Muara Banta, Padang Basung, sampai ke Gunung Madang, dari LokLoa sampai Jambu berbaris ke istana. Mereka tidak membawa poster dan spandukseperti orang berunjuk rasa jaman sekarang, juga tidak seorangpun membawa senjata biar senjata tumpul sekalipun. Yang dibawa hanyalah kaleng-kaleng bekas, tutup-tutup panic dan kuali, nyiru-nyiru dan tudung-tudung saji. Semua hiruk pikuk dipukuli batangan kayu.

Adalah Su Tjap dari pimpinan rombongan orang Hangkinang yang mendengar bunyi dari Tugamal dibarisan paling belakang orang Hamalau. Mereka waktu itu berbaris menurut urutan abjad huruf arab dari nama-nama kampong. Bunyinya khas trot tot tot, selang tak lama trat tat tat atau trit tit tit dari arah ekor Tugamal. Su Tjap mengarahkan telinga dan mendengarkan lgi dengan teliti. Memang dari arah ekor Tugamal. Benar, benar, benar, orang diseluruh negeri tahu bahwa Tugamal menderita sakit hernia atau disebut kondor oleh orang Jawa, naik berok olh orang Jakarta atau burut burut kata orang Banjar, Kadang-kadang sebagian dinding usus terjepit didinding bagian bawah ruang perut yang lembek sehingga isi usus termasuk angina tidak bisa lewat. Kalau hernianya hanya kecil, biasanya terjepitnya hanya sebagian dan usus bisa lepas bebas lagi kembali normal dengan perobahan posisi orang. Namun pada waktu itu, orang percaya bahwa orang yang tidak bisa melewatkan angina harus makan obat. Obatnya ialah biji buah kidaung (sejenis petai-petaian yang bijinya kurang lebih sebentuk dan sebesar biji semangka belanda). Biji buah kidaung ini digoreng kering atau dengan pasir, isi bijinya dimakan seperti makan kuaci. Dan orang segera bisa melepas angina, bahkan dengan hebat. Rupanya hernia Tugamal kemarin sore kumat dan malamnya dia makan biji kidaung, sehingga itulah, pagi-paginya tatkala ikut barisan, trot tot tot, tret tet tet. Su Tjap tak ragu lagi..

Ia berlari-lari kedepan sambil sebentar-sebentar berteriak,”Ya kentut. Ya kentut!” Demikianlah Su Tjap berlari berkeliling, berbicara sebentar dengan pimpinan masing-masing rombongan kampong, sampai akhirnya seluruh barisan terhenti dan pemimpin-pemimpinnya berkumpul disebuah lapangan kecil untuk berunding. Pemimpin-pemimpin rombongan tak lama kemudian kembali ke barisan masing-masing dan atas instruksinya barisan-barisan pada bubar dan kembali kekampungnya. Unjuk rasapun batal.

Sore harinya orang laki-laki rakyat jelata pergi ke hutan-hutan mencari buah kidaung. Malamnya ibu-ibu dan nenek-nenek sibuk menggoreng biji kidaung tadi yang langsung dimakan beramai-ramai oleh bapak-bapak dan pemuda-pemuda. Haripun larut malam dan semua orang beristirahat. Selama itu orang-orang istana tidak ada tahu apa yang siang tadi telah terjadi dan apa yang besok direncanakan rakyat akan terjadi.

Selepas sembahyang subuh esok harinya, barisan rakyat dimulai lagi. Hari ini mereka bertangan kosong, tidak membawa benda apapun. Juga barisan menjadi lebih diatur, semua berbaris empat orang empat orang memanjang dari depan kebelakang. Sehingga panjangnya sampai kiloan meter. Orang-orang berbaris tanpa banyak berbunyi-bunyi atau berkata-kata. Terlihat banyak orang dalam barisan itu yang kadang-kadang tersengal-sengal menahan nafas mengempiskan perut seakan-akan menahan sesuatu jangan sampai terlepas dari badan mereka. Sekali-sekali ada yang usahanya gagal dan terdengarlah trot tot tot atau trit tit tit kecil-kecilan.

Seluruh rakyat negeri itu sangat tahu akan kegiatan rutin baginda raja. Setelah bangun untuk sembahyang subuh, baginda biasanya tidur lagi. Nanti tatkala matahari sudah tinggi hampir sepenggalan, baginda terjaga. Setelah minum air putih, dengan sebatang rokok terselip dimulut, baginda keluar kebelakang istana. Demikianlah tepat barisan terdepan rakyat sampai dibelakang istana, mereka melihat raja memasuki kamar persiraman dan pelepasan hajat baginda. Baginda sedikitpun tidak menyadari apa yang terjadi disekeliling.

Bagaikan dikomando, keempat orang dibarisan tadi maju dan bercerai. Satu ke utara, satu ke timur, satu ke selatan dan satu ke barat dinding kamar mandi baginda. Dengan serempak pula mereka, yang memakai sarung menyiingsing sarung tinggi-tinggi, yang bercelana melorotkan celana agak sedikit, mmbelakangi dinding kamar mandi, menungging dan mulai melepaskan tembakan beruntun – trot tot tot, trat tat tat, ada juga yang tret tet tet dan trit tit tit.

Selesai empat orang ini, dengan tenang mereka bubar memberi kesempatan berbuat sama bagi empat orang dibelakangnya. Lama kelamaan, baginda didalam kamar mandi, melalui sebuah lobang kecil didinding ingin mengintip rakyat yang menembak. Ingin beliau lari keluar tapi takut akan barisan rakyat yang begitu panjang. Akhirnya selesailah pekerjaan seluruh rakyat dalam barisan sedikit waktu sebelum lohor. Disekitar istanapun sudah lengang lagi. Orang-orang istana tahu bahwa raja ada didalam kamar mandi dan tahu apa semua yang telah terjadi. Mereka membuka pintu kamar mandi. Namun raja tidak ada didalamnya. Raja raib tak tentu rimbanya.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar