DATU DAN WALI

=============================================================================================

Mari kita dukung pelestarian khazanah cerita rakyat Daerah Kalimantan Selatan seperti Maharaja sukarama dan raja-raja dari kerajaan negara daha, perebutan tahta pangeran samudera dengan pangeran tumenggung, legenda raja gubang, datu panglima amandit, datung suhit dan datuk makandang, datu singa mas, datu kurba, datu ramanggala di ida manggala, datu rampai dan datu parang di baru sungai raya, datu ulin dan asal mula kampung ulin, datu sangka di papagaran, datu saharaf parincahan, datu putih dan datu karamuji di banyu barau, legenda batu laki dan batu bini di padang batung, legenda gunung batu bangkai loksado, datu suriang pati di gambah dalam, legenda datu ayuh sindayuhan dan datu intingan bambang basiwara di loksado, kisah datu ning bulang di hantarukung, datu durabu di kalumpang, datu baritu taun dan datu patinggi di telaga langsat, legenda batu manggu masak mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga bidadari datu awang sukma di hamalau, kisah gunung kasiangan di simpur, kisah datu kandangan dan datu kartamina, datu hamawang dan datu kurungan serta sejarah mesjid quba, tumenggung antaludin dan tumenggung mat lima mempertahankan benteng gunung madang, panglima bukhari dan perang hamuk hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di lukloa, datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai, datu buasan dan datu singa jaya di hampa raya, datu haji muhammad rais di bamban, datu janggar di malutu, datu bagut di hariang, sejarah mesjid ba angkat di wasah, dakwah penyebaran agama islam datu taniran di angkinang, datu balimau di kalumpang, datu daha, datu kubah dingin, makam habib husin di tengah pasar kandangan, kubur habib ibrahim nagara dan kubah habib abu bakar lumpangi, kubur enam orang pahlawan di taal, makam keramat bagandi, kuburan tumpang talu di parincahan, pertempuran garis demarkasi dan kubur Brigjen H.M. Yusi di karang jawa, pahlawan wanita aluh idut di tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan Ibnu hajar, sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI yang dipimpin Brigjen H. Hasan Baseri dan pembacaan teks proklamasinya di Kandangan. Semuanya adalah salah satu aset budaya dan sejarah bagi Kalimantan Selatan.

Jumat, 27 September 2013

PANGERAN ANTASARI

Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Banjar, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan, 1797 atau 1809 – meninggal di Bayan Begok, Kabupaten Barito Utara, Provinsi Kalimantan Tengah, 11 Oktober 1862 pada umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Sebagai seorang pangeran, ia merasa prihatin menyaksikan kesultanan Banjar yang ricuh karena campur tangan Belanda pada kesultanan semakin besar. Gerakan-gerakan rakyat timbul di pedalaman Banjar. Pangeran Antasari diutus menyelidiki gerakan-gerakan rakyat yang sedang bergolak. Ia meninggal karena penyakit paru-paru dan cacar di pedalaman sungai Barito, Kalimantan Tengah. Kerangkanya dipindahkan ke Banjarmasin dan dimakamkan kembali di Taman Makam Perang Banjar Banjarmasin Utara, Banjarmasin. Perjuangan beliau dilanjutkan oleh puteranya Sultan Muhammad Seman dan mangkubumi Panembahan Muda (Pangeran Muhammad Said) serta cucunya Pangeran Perbatasari (Sultan Muda) dan Ratu Zaleha.

Pada 14 Maret 1862, beliau dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.

Silsilah :

Semasa muda nama beliau adalah Gusti Inu Kartapati. Ayah Pangeran Antasari adalah Pangeran Masohut (Mas'ud) bin Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aminullah. Ibunya Gusti Hadijah binti Sultan Sulaiman. Pangeran Antasari mempunyai adik perempuan yang bernama Ratu Antasari/Ratu Sultan yang menikah dengan Sultan Muda Abdurrahman tetapi meninggal lebih dulu sebelum memberi keturunan. Pangeran Antasari tidak hanya dianggap sebagai pemimpin Suku Banjar, beliau juga merupakan pemimpin Suku Ngaju, Maanyan, Siang, Sihong, Kutai, Pasir, Murung, Bakumpai dan beberapa suku lainya yang berdiam di kawasan dan pedalaman atau sepanjang Sungai Barito.
 
Setelah Sultan Hidayatullah ditipu belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibunda Pangeran Hidayatullah) dan kemudian diasingkan ke Cianjur, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan pula oleh Pangeran Antasari. Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris kesultanan Banjar. Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan umat Islam tertinggi di Banjar bagian utara (Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada tanggal 14 Maret 1862, bertepatan dengan 13 Ramadhan 1278 Hijriah, dimulai dengan seruan:
"Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!"

Seluruh rakyat, pejuang-pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar; dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi "Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin", yaitu pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi.[6]

Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran Antasari untuk berhenti berjuang, ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan oleh Pangeran Hidayatullah kepadanya dan bertekad melaksanakan tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenuhnya kepada Allah dan rakyat.

Perlawanan terhadap Belanda
Lanting Kotamara semacam panser terapung di sungai Barito dalam pertempuran dengan Kapal Celebes dekat pulau Kanamit, Barito Utara Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan 300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859. Selanjutnya peperangan demi peperangan dipkomandoi Pangeran antasari di seluruh wilayah Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang sungai Baritosampai ke Puruk Cahu.

Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara pasukan Khalifatul Mukminin dengan pasukan Belanda, berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia dan persenjataan modern, akhirnya berhasil mendesak terus pasukan Khalifah. Dan akhirnya Khalifah memindahkan pusat benteng pertahanannya di Muara Teweh.

Berkali-kali Belanda membujuk Pangeran Antasari untuk menyerah, namun beliau tetap pada pendirinnya. Ini tergambar pada suratnya yang ditujukan untuk Letnan Kolonel Gustave Verspijck di Banjarmasin tertanggal 20 Juli 1861.

“dengan tegas kami terangkan kepada tuan: Kami tidak setuju terhadap usul minta ampun dan kami berjuang terus menuntut hak pusaka (kemerdekaan)”

Dalam peperangan, belanda pernah menawarkan hadiah kepada siapa pun yang mampu menangkap dan membunuh Pangeran Antasari dengan imbalan 10.000 gulden. Namun sampai perang selesai tidak seorangpun mau menerima tawaran ini. Setelah berjuang di tengah-tengah rakyat, Pangeran Antasari kemudian wafat di tengah-tengah pasukannya tanpa pernah menyerah, tertangkap, apalagi tertipu oleh bujuk rayu Belanda pada tanggal 11 Oktober 1862 di Tanah Kampung Bayan Begok, Sampirang, dalam usia lebih kurang 75 tahun. Menjelang wafatnya, beliau terkena sakit paru-paru dan cacar yang dideritanya setelah terjadinya pertempuran di bawah kaki Bukit Bagantung, Tundakan.

Setelah terkubur selama lebih kurang 91 tahun di daerah hulu sungai Barito, atas keinginan rakyat Banjar dan persetujuan keluarga, pada tanggal 11 November 1958 dilakukan pengangkatan kerangka Pangeran Antasari. Yang masih utuh adalah tulang tengkorak, tempurung lutut dan beberapa helai rambut. Kemudian kerangka ini dimakamkan kembali Komplek Pemakaman Pahlawan Perang Banjar, Kelurahan Surgi Mufti, Banjarmasin.

Jika Pangeran Antasari selalu menekankan bahwa "Haram Menyerah" kepada musuh, maka semestinya ini bisa kita jadikan pencerahan untuk diri kita. Bisa saja kita menyemangati diri kita dengan semangat "Haram Menyerah" kepada kemiskinan, ketidak adilan atau apa saja yang hendak kita capai! Terkadang dengan kata semangat dan keingin dari diri sendiri, bukan mustahil ini bisa menjadi penambah kekuatan untuk diri kita dalam menggapai apa yang kita inginkan-dalam arti tujuan yang mulia tentunya!!!
 
Pangeran Antasari telah dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional dan Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 06/TK/1968 di Jakarta, tertanggal 23 Maret 1968. Nama Antasari diabadikan pada Korem 101/Antasari dan julukan untuk Kalimantan Selatan yaitu Bumi Antasari. Kemudian untuk lebih mengenalkan P. Antasari kepada masyarakat nasional, Pemerintah melalui Bank Indonesia (BI) telah mencetak dan mengabadikan nama dan gambar Pangeran Antasari dalam uang kertas nominal Rp 2.000.

Alasan:
1 Karena Pangeran Antasari memiliki segudang ilmu dan prestasi yang sangat besar.
2.Karena Pangeran Antasari adalah pahlawan Indonesia.
3.Karena Pangeran Antasari adalah pahlawan nasional dan kemerdekaan oleh pemerintah republic Indonesia.

Rabu, 25 September 2013

PAHLAWAN PATTIMURA

  1. Pattimura lahir pada tanggal 8 Juni 1783 dari ayah Frans Matulesi dengan Ibu Fransina Silahoi. Munurut M. Sapidja ( penulis buku sejarah pemerintahan pertama) mengatakan bahwa “pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan"

    Ia adalah pahlawan yang berjuang untuk Maluku melawan VOC Belanda. Sebelumnya Pattimura adalah mantan sersan di militer Inggris. pada tahun 1816 Inggris bertekuk lutut kepda belanda. Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura.

    Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengoordinir raja-raja dan patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda.

    Di Saparua, dia dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk itu, ia pun dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 Mei 1817, suatu pertempuran yang luar biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya tewas, termasuk Residen Van den Berg.
    Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut berhasil dikuasai pasukan Kapitan Patimura. Namun, Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja benteng itu. Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan mengerahkan pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih modern. Pasukan Pattimura akhirnya kewalahan dan terpukul mundur. Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda. Bersama beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia dibujuk agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Atas kegigihannya memperjuangkan kemerdekaan, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik Indonesia.

LEGENDA PARIKINAN


  1. Parikinan artinya ahli hitung yaitu orang yang memberi apa saja mesti dihitung untung ruginya. Suatu hari Parikinan berbicara dengan isterinya.
                    “ Kita ini hidup susah, jadi bisa-bisa kita saja. Kalau ada tetangga yang minta punting api itu artinya dia mengambil sebuah puntung kita. Coba kamu hitung, maka artinya bila sepuluh orang yang minta api sepuluh puntung kita akan rugi. Padahal sepuluh puntung itu bisa untuk kita sekali memasak,” ujarnya mencerocos.
                    Lalu dia meneruskan, “ Belum lagi kalau kita sedang makan ada yang datang, terpaksa kembali mengajak makan. Untung kalau yang datang itu paham, tapi kalau yang tidak paham setelah ditawari cepat mengaut nasi. Maka makannya banyak, bertambah tak henti-hentinya. Setelah makan ikut  merokok pula. Matilah kita kalau hidup di tengah orang banyak,” ujar Parikinan.
                    Lalu sang isteri menjawab, “ Tapi macam itulah orang semua sudah namanya hidup bertetangga.”
                    “ Makanya aku ingin kita berdiam jauh dengan orang. Biar ke ujung kampong. Sekira tidak ada lagi orang yang meminta-minta dengan kita,” ujar Parikinan.
                    Mendengar pembicaraan sang suami seperti itu berdiamlah sang isteri. Besoknya Parikinan sibuk menyusun pakaian dan segala barang dirumahnya, dibantu oleh isterinya. Dia akan berpindah ke ujung kampung. Setelah semua barangnya dibuat ke jukung, kemudian di kayuhnya ke arah hulu. Isterinya duduk di depan bertunduk memakai tanggui, dia malu kalau-kalau terlihat tetangga.
                    Setelah seharian berkayuh lalu sampailah ke tempat yang sunyi, tidak ada orang. Suara burungpun tidak terdengar. Kemudian Parikinan membuat rampa disana. Juga sawah dan kebunnya.
                    Singkat cerita, sampai hari raya haji. Lalu Parikinan ingat mau pergi ke kota mencari daging kurban, karena dia ingat kalau tiap hari raya haji di kampungnya dulu banyak orang menyembelih sapi dan kambing.
                    Belum pagi isterinya sudah dibangunkan oleh Parikinan. Disuruhnya memasak untuk bekal ke kota. Setelah cukup segala macam bekal kemudian berangkatlah sepasang suami isteri itu ke hilir sungai. Lalu berbelok ke matahari tenggelam. Pukul tiga sore baru sampai ke tujuan. Tapi disana dilihatnya sapi-sapi yang akan disembelih itu kurus-kurus. Dipikirkannya, daripada dapat daging sapi kurus, lebih baik dia pergi ke arah matahari terbit. Disana bisa-bisa memperoleh sapi yang gemuk.
                    Lalu berpaling menuju arah matahari terbit. Sesampainya di sana, ternyata orang yang berkurban sedikit sekali. Karena itu Parikinan tidak mendapat bagian.
                    Daripada tidak dapat sama sekli ia balik mendatangi daging sapi kurban yang kurus tadi saja. Lalu dengan cepat memutar haluan perahunya, mengayuh sekuat tenaga menuju arah matahari tenggelam. Tapi dasar nasib Parikinan benar-benar sial. Sesampainya disana orang-orang sudah selesai membagi daging, sampai tidak tersisa. Yang tertinggal cuma bekasnya saja.
                    Dengan hati yang kesal, perut keroncongan, turunlah Parikinan ke perahu mau menyantap bekalnya. Setelah membuka nasi lalu menuang sayur dan ikannya dari dalam bumbung. Tapi ikan itu lengket dalam bumbung, tidak mau keluar. Bumbung tadi dihentakkannya ke ujung perahu, tapi karena terlalu kuat menghentak. Lantas ikannya keluar terpelanting mencemplung ke dalam air. Parikinan marah lalu mengambil serapang. Ditombaknya ikan yang jatuh tadi. Serapangnya lengket. Dikiranya pas kena ikan yang jatuh itu, lantas ia tidak berani mengangkat. Kalau diangkat takut ikannya terjatuh kembali. Parikinan lalu bercebur mencari ujung serapangnya. Sang isteri tidak bersuara lagi melihat kelakuan suaminya.
                    Tengah menyelam itu, si isteri masih memandang pusaran air, tiba-tiba datang anjing kelaparan menyambar nasi yang terbuka tidak diberi tutup. Isterinya melihat tapi sudah terlambat, anjingnya lari dengan cepat.
                    Parikinan menyusuri ujung serapangnya, ternyata pas tersangkut dibatang kayu. Sebagian pun tak lagi ada ikannya. Hati Parikinan benci sekali tak tertahankan lalu naik keatas. Hatinya semakin benci setelah tahu nasinya dicuri anjing. Terduduk dia diburitan perahu termangu memikirkan nasibnya yang sial.
                    Tengah duduk termangu itu kemudian hadir sesosok orangtua naik perahu kecil sambil berkata,”Hai anakku ! Aku tahu kamu termangu sakit hati. Tapi aku ingin menolongmu. Biarlah yang berlalu jangan disesali dan jadikan sebagai pelajaran bagi kamu untuk dimasa yang akan datang. Ini kamu akan kuberi batu tiga buah. Hentakkan batu ini ke tanah, apa yang kau inginkan dengan seizin Tuhan akan jadi kenyataan.”
                    Tak lama kemudian orangtua itu menghilang.
                    Senang sekali hati Parikinan mendapat batu pemberian orangtua itu. Cepat-cepat dia pulang ke rumah. Sampai dirumah hari sudah tengah malam. Isterinya tertidur kelelahan. Parikinan tidak bisa tidur hanya memegang batu yang tiga buah itu saja. Lalu timbul kata hati untuk mencoba, benar tidaknya batu itu berkhasiat. Lalu ia berkata, “ Kalau aku minta kaya, perutku tetap saja lapar, tapi kalau aku minta nasi, aku tidak kaya.”
                    Tengah dia berbicara sendiri itu isterinya terbangun. Karena mendengar suaminya berbicara sendiri. Parikinan memutuskan.
                    “ Nah, sebaiknya aku minta kaya saja,” ujarnya dengan tekad yang bulat.
                    Lantas sebuah batu dihentakkannya ke tanah. Tapi saat dia mengatakan minta kaya itu, bersamaan dengan kaki isterinya menginjak kaki Parikinan. Lalu dikatakan,” Minta kaya kaki!”
    Lalu tumbuhlah kaki dibagian tubuh Parikinan sampai ke muka.
                    Melihat tubuh suaminya penuh dengan kaki sakit hati sang isteri. Lalu dia bertanya sambil menangis sesenggukan, adakah mempunyai batunya lagi. Berceritalah Parikinan bahwa masih ada dua buah batu lagi.
                    “Kalau begitu, sebuah lagi batu itu agar kaki itu hilang semua,” ujar isterinya.
                    Parikinan kemudian mengambil batu yang sebuah.
                    “Hei batu, hilangkanlah semua kaki yang ada ditubuhku ini,” ujarnya sambil menghentakkan  batu ke tanah.
                    Sekejap mata, semua kaki ditubuh Parikinan hilang, gaib, termasuk kaki yang asal. Jadi seperti guling saja Parikinan sekarang. Karena tidak berkaki lagi.
                    Menangis kembali sang isteri melihat suaminya tidak punya kaki. Lalu dia minta supaya suaminya menggunakan batu yang ketiga, supaya kakinya dapat kembali seperti semula.
                    “ Hati-hati saja. Jangan meminta-minta yang lain, asal kembali saja kakinya,” ujar isterinya.
                    Akhirnya digunakanlah batu yang ketiga dan kembalilah kakinya seperti semula. Jadi, sedikit tidak ada dia mendapat keuntungan dari batu pemberian orangtua itu. Itulah balasan Tuhan kepada orang yang terlalu rakus dan tamak dengan harta, tidak mau apa adanya.***

LEGENDA BATU GANTUNG



Pada jaman dahulu kala di sebuah desa kecil di tepi Danau Toba hiduplah sepasang suami istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni. Selain cantik, Seruni juga tergolong sebagai anak yang rajin karena selalu membantu kedua orang tuanya ketika mereka sedang bekerja di ladang yang hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari - hari.

Suatu hari, Seruni harus bekerja di ladang seorang diri karena kedua orang tuanya sedang ada keperluan di desa tetangga. Ia hanya ditemani oleh anjing peliharaannya yang diberi nama Si Toki. Sesampainya di ladang Seruni hanya duduk termenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba. Sementara anjingnya,
si Toki, ikut duduk di samping sambil menatap wajah majikannya yang tampak seperti sedang menghadapi suatu masalah. Sesekali sang anjing menggonggong untuk mengalihkan perhatian Seruni apabila ada sesuatu yang mencurigakan di sekitar ladang.

Sebenarnya, beberapa hari terakhir Seruni selalu tampak murung. Hal ini disebabkan karena
sang Ayah akan menjodohkannya dengan seorang pemuda yang masih tergolong sepupunya sendiri. Padahal, ia telah menjalin hubungan asmara dengan seorang pemuda di desanya dan telah berjanji pula akan membina rumah tangga. Keadaan ini membuatnya menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa, dan mulai berputus asa. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, namun di sisi lain ia juga tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya.

Setelah merenung beberapa saat dan tanpa menghasilkan apa
- apa, Seruni beranjak bangkit dari tempat ia duduk. Dengan berderai air mata ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya ia sudah sangat berputus asa dan ingin mengakhiri hidupnya dengan cara menceburkan diri ke Danau Toba. Sementara si Toki yang juga mengikuti majikannya menuju tepi danau hanya bisa menggonggong karena tidak tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam benak Seruni.

Saat berjalan ke arah tebing di tepi Danau Toba, tiba-tiba ia terperosok ke dalam sebuah lubang batu besar hingga masuk ke dasarnya. Dan, karena berada di dasar lubang yang sangat gelap, membuat gadis cantik itu menjadi takut dan berteriak minta tolong kepada anjing kesayangannya. Namun karena Si Toki hanyalah seekor binatang, maka ia tidak dapat berbuat apa
- apa kecuali terus - menerus menggonggong di sekitar mulut lubang.

Akhirnya gadis itu pun semakin putus asa dan berkata dalam hati, “Ah, lebih baik aku mati saja.”

Setelah berkata seperti itu, entah mengapa dinding
- dinding lubang tersebut mulai merapat. “Parapat…! Parapat batu!” seru Seruni agar dinding batu semakin merapat dan menghimpit tubuhnya.

Melihat kejadian itu Si Toki langsung berlari ke rumah untuk meminta bantuan. Sesampainya di rumah Si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan sudah berada di rumah. Sambil menggonggong, mencakar
- cakar tanah dan mondar - mandir di sekitar majikannya, Si Toki berusaha memberitahukan bahwa Seruni dalam keadaan bahaya.

Sadar akan apa yang sedang di
isyaratkan oleh si anjing, orang tua Seruni segera beranjak menuju ladang. Keduanya berlari mengikuti Si Toki hingga sampai ke tepi lubang tempat anak gadis mereka terperosok. Ketika mendengar jeritan anaknya dari dalam lubang, sang Ibu segera membuat obor sebagai penerang karena hari telah senja. Sementara sang Ayah berlari kembali menuju desa untuk meminta bantuan para tetangga.

Tak berapa lama kemudian, sebagian besar tetangga telah berkumpul di rumah ayah Seruni untuk bersama
- sama menuju ke lubang tempat Seruni terperosok. Mereka ada yang membawa tangga bambu, tambang, dan obor sebagai penerangan.

Sesampainya rombongan di ladang, sambil bercucuran air mata Ibu Seruni berkata pada suaminya, “Pak, lubangnya terlalu dalam dan tidak tembus cahaya. Saya hanya mendengar sayup-sayup suara anak kita yang berkata: parapat, parapat batu…”

Tanpa menjawab pertanyaan isterinya, Ayah Seruni segera melonggok ke dalam lubang dan berteriak, “Seruniii…! Serunii…!”

“Seruni…anakku! Kami akan menolongmu!” sang
Ibu ikut berteriak.

Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup
- sayup yang menyuruh batu di sekelilingnya untuk merapat dan menghimpitnya.

Warga yang hadir di tempat itu juga berusaha untuk membantu dengan mengulurkan seutas tambang hingga ke dasar lubang, namun sama sekali tidak disentuh atau dipegang oleh Seruni.

Merasa khawatir,
sang Ayah memutuskan untuk menyusul putrinya masuk ke dalam lubang, “Bu, pegang obor ini! Saya akan turun menjemput anak kita!”

“Jangan gegabah, Pak. Lubang ini sangat berbahaya!” cegah sang istri.

“Benar Pak, lubang ini sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang tetangganya.

Setelah ayah Seruni mengurungkan niatnya, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan bumi pun berg
uncang dahsyat yang membuat lubang secara perlahan merapat dan tertutup dengan sendirinya. Seruni yang berada di dalam lubang akhirnya terhimpit dan tidak dapat diselamatkan.

Beberapa saat setelah gempa berhenti, di atas lubang yang telah tertutup itu muncullah sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis yang seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Orang-orang yang melihat kejadian itu mempercayai bahwa batu itu adalah penjelmaan dari Seruni dan kemudian menamainya sebagai “Batu Gantung”.

Dan, karena ucapan Seruni yang terakhir didengar oleh warga hanyalah “parapat, parapat, dan parapat”, maka daerah di sekitar Batu Gantung kemudian diberi nama Parapat. Kini Parapat telah menjelma menjadi salah satu kota tujuan wisata di Provinsi Sumatera Utara.