DATU DAN WALI

=============================================================================================

Mari kita dukung pelestarian khazanah cerita rakyat Daerah Kalimantan Selatan seperti Maharaja sukarama dan raja-raja dari kerajaan negara daha, perebutan tahta pangeran samudera dengan pangeran tumenggung, legenda raja gubang, datu panglima amandit, datung suhit dan datuk makandang, datu singa mas, datu kurba, datu ramanggala di ida manggala, datu rampai dan datu parang di baru sungai raya, datu ulin dan asal mula kampung ulin, datu sangka di papagaran, datu saharaf parincahan, datu putih dan datu karamuji di banyu barau, legenda batu laki dan batu bini di padang batung, legenda gunung batu bangkai loksado, datu suriang pati di gambah dalam, legenda datu ayuh sindayuhan dan datu intingan bambang basiwara di loksado, kisah datu ning bulang di hantarukung, datu durabu di kalumpang, datu baritu taun dan datu patinggi di telaga langsat, legenda batu manggu masak mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga bidadari datu awang sukma di hamalau, kisah gunung kasiangan di simpur, kisah datu kandangan dan datu kartamina, datu hamawang dan datu kurungan serta sejarah mesjid quba, tumenggung antaludin dan tumenggung mat lima mempertahankan benteng gunung madang, panglima bukhari dan perang hamuk hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di lukloa, datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai, datu buasan dan datu singa jaya di hampa raya, datu haji muhammad rais di bamban, datu janggar di malutu, datu bagut di hariang, sejarah mesjid ba angkat di wasah, dakwah penyebaran agama islam datu taniran di angkinang, datu balimau di kalumpang, datu daha, datu kubah dingin, makam habib husin di tengah pasar kandangan, kubur habib ibrahim nagara dan kubah habib abu bakar lumpangi, kubur enam orang pahlawan di taal, makam keramat bagandi, kuburan tumpang talu di parincahan, pertempuran garis demarkasi dan kubur Brigjen H.M. Yusi di karang jawa, pahlawan wanita aluh idut di tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan Ibnu hajar, sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI yang dipimpin Brigjen H. Hasan Baseri dan pembacaan teks proklamasinya di Kandangan. Semuanya adalah salah satu aset budaya dan sejarah bagi Kalimantan Selatan.

Rabu, 23 Januari 2013

Kisah Nisan Berlumur Darah

Mashor adalah pemuda yang bertempat tinggal di desa yang sekarang sekitar Pekauman dan Teluk Selong. Mashor berasal dari keluarga yang miskin, tetapi mempunyai pendidikan yang tinggi dan budi akhlaknya tinggi. Dia mempunyai keahlian membaca Al-Quran yang sangat indah didengar. Mashor sebagai orang yang tidak mampu ikut bekerja di rumah Fatimah sebagai pembantu.
Fatimah merupakan gadis dari keluarga sangat kaya. Mereka tinggal disebarang desa Mashor, mungkin sekarang daerah Kampung Melayu. Orang tuanya merupakan pedagang yang mempunyai hubungan dagang keluar daerah. Terutama daerah Singapura.
Mashor sebagai pembantu mempunyai banyak pekerjaan yang harus dilakukannya seperti menimba air, memotong kayu, dan lain-lain. Hari demi hari, bulan demi bulan itu saja yang dilakukannya untuk membiayai hidup dan orang tuanya. Selama beberapa tahun Mashor bekerja dirumah kaya itu membuat Fatimah secara tidak sadar jatuh cinta kepadanya begitu juga sebaliknya. Tetapi karena adat yang menjaga ketat pertemuan antara perawan dengan bujangan membuat hubungan mereka tidak diketahui oleh keluarga.
Mashor sadar percintaan mereka pasti akan ditentang oleh keluarga Fatimah yang memegang adat keluarga. Mereka hanya akan menikahkan anak gadisnya hanya dengan orang yang sederajat dan mempunyai hubungan keluarga bangsawan dan pasti tentu harus pilihan keluarga. Tetapi Cinta di hati tidak bisa menolaknya.
Tidak lama kemudian hubungan mereka mulai diketahui orang tua Fatimah. Betapa marahnya orang tua Fatimah mengetahui hal demikian. Mereka memutuskan untuk menjauhkan Mashor dari Fatimah dengan menugaskan Mashor menjaga kebun karet dan ladang keluarga Fatimah di seberang sungai.
Kebun karet ini berada jauh dari rumah Fatimah, menujunya hanya bisa dengan perahu “jukung” karena melewati sungai yang kecil. Mashor diberikan pondok kecil untuk berteduh dan melakukan kegiatan sehari-hari. Setiap hari dia bekerja merawat kebun karet tersebut. Setiap hasil karet hanya orang suruhan keluarga Fatimah saja yang mengambilnya. Dia tidak diberikan kesempatan untuk ke rumah sang Majikan.
Fatimah mengetahui kabar Mashor hanya dengan meminta keterangan acil ijah, pembantu yang sering mengatarkan beras buat Mashor.
Suatu hari ada orang kaya bernama Muhdar yang masih ada hubungan keluarga dengan Fatimah badatang (melamar) ke rumah Fatimah dengan menggunakan satu buah kapal yang sangat besar sesuai dengan derajat kekayaan orang tersebut. Niat Muhdar disambut baik oleh keluarga Fatimah, mereka sepakat untuk mengadakan perkawinan besar-besaran. Hal ini tidak menjadi beban bagi Muhdar karena kakayaannya.
Fatimah sangat menentang niat orang tuanya yang menjodohkannya dengan Muhdar. Dia kenal betul perangai Muhdar. Walaupun kaya tetapi dia tidak mempunyai budi pekerti dan ilmu agama sebaik Mashor. Tetapi dia harus menjalankan dua pilihan yang sangat berat. Di satu sisi dia mempunyai pilihan dan cinta yang diyakininya membawa kebahagian di dunia dan di akhirat yaitu hidup bersama Mashor. Di satu sisi dia harus mengikuti perintah orang tuanya, dia sadar menyakiti hati orang tua adalah perbuatan yang durhaka. Akhirnya Fatimah pasrah terhadap perjodohan ini. Perjodohan yang dilandasi oleh harta, hubungan keluarga bukan oleh Cinta. Mashor yang berada jauh tidak mengetahui perjodohan ini. Semuanya yang datang ke gubuk Mashor bekerja selalu menutupinya. Mereka tidak ingin dipecat majikan jika menceritakan hal tersebut.
Akhirnya acara pernikahan dimulai, Muhdar datang dengan beberapa kapal besar yang membawa mas kawin atau jujuran. Ada kapal yang membawa isi kamar lengkap, ada kapal yang membawa perhiasan emas dan batu permata, ada kapal yang membawa pakaian wanita yang sangat indah-indah. Bagi mereka semua itu hal biasa, karena bisnis dagang keluarga ini ke Singapura berupa batu permata dan kain. Mereka mempunyai banyak pelanggan di Singapura. Pada jaman tersebut sungai Martapura digunakan sebagai jalur perdagangan. Kapal-kapal besar pedagang Martapura sering berangkat membawa barang dagangan ke Pulau Jawa dan Sumatera hingga Singapura dan Malaysia. Sesuai dengan jalur perdagangan dunia antara Malaysia dan pulau Sumatera.
Pada malam harinya ketika semua kelelahan. Muhdar dan Fatimah tidur di kamar penganten. Belum sempat malam pertama itu terjadi ternyata rumah Fatimah terbakar akibat api dapur lupa dimatikan. Muhdar lari keluar dengan segera tanpa memperdulikan Fatimah. Api semakin membesar Fatimah terjebak di dalamnya.
Mashor yang belum tidur melihat dari kejauhan warna merah di langit yang menadakan kebakaran. Dia yakin kebakaran itu berada di rumah Fatimah. Tanpa peduli aturan majikannya yang tidak memperbolehkannya mendekati rumah dia langsung berlari mengambil jukung. Setelah sampai di rumah Fatimah dia diberitahu bahwa Fatimah terjebak di dalamnya. Dengan kekuatan Cintanya dia terobos api dan menemukan Fatimah pingsan karena terlalu banyak menghirup asap. Dia angkat Fatimah melewati api yang besar. Dengan badannya dia melindungi Fatimah dari api dan kayu rumah yang berjatuhan. Setelah dia bawa keluar Mashor disambut Muhdar dengan merebut Fatimah dari pangkuan Mashor. Dengan demikian Mashor akhirnya mengetahui perkawinan tersebut. Belum sempat dia mendapatkan penjelasan, Mashor pingsan karena terlalu banyak luka bakar yang dialaminya.
Keluarga Fatimah memerintahkan agar mashor dirawat kembali di gubuknya tempatnya bekerja. Dan menginginkan agar peristiwa heroic ini jangan sampai diketahui Fatimah.
Subuh harinya mashor tidak bisa bertahan. Dia meninggal karena luka yang terlalu parah. Setelah sholat dzuhur dia dimakamkan di daerah perkebunan karet tersebut. Atau tepatnya sekarang berada di desa Tungkaran. Makam Mashor sederhana dengan nisan ulin. Untuk mencegah babi hutan kuburannya juga dipagar bambu.
Semuanya berada di pemakaman, baik teman-teman Mashor maupun keluarga Fatiamah. Tetapi Fatimah tidak mengetahui kematian ini. Dia masih lemah di kamar rumah Muhdar. Dia masih bertanya di dalam hati bagaimana dia bisa selamat, suaminya sendiri meninggalkannya saat kebakaran itu terjadi.
Sewaktu malam hari pertanyaan itu dikeluarkannya pada Acil Ijah yang sejak kecil merawatnya. Acil Ijah tahu betul perasaan Fatimah kepada Mashor. Karena tidak dapat mendustai tuannya yang sejak kecil dia pelihara tersebut akhirnya dia ceritakan peristiwa kebakaran itu.
Fatimah yang sangat rindu Mashor akhirnya menanyakan keberadaan Mashor. Dengan sangat hati-hati Acil Ijah menceritakan kematian Mashor dan memberitahukan letak kuburannya. Dia berjanji menemani Fatimah besok untuk ziarah ke kuburan Mashor.
Fatimah Sangat terpukul hatinya mengetahui pemuda yang melindungi dan dicintainya telah tiada. Menangislah Fatimah sejadinya. Setelah semua orang terlelap tidur, jam 3subuh tanpa sepengetahuan yang lain Fatimah keluar rumah. Dia tidak dapat menyimpan perasaan rindu dan dukanya. Tanpa menunggu siang dia bertekad harus menemukan ke kuburan Mashor. Dia tidak yakin kekasihnya sudah meninggal jika tidak menemukan kuburannya langsung. Dia seberangi sungai Martapura dan berjalan menyisir jalan setapak. Dia masih ingat letak kebun karet keluarganya ketika ayahnya pernah mengajak sewaktu kecil. Malam itu hari hujan dengan deras tetapi tidak menyurutkan hati Fatimah, di dalam hatinya hanya ada satu nama Mashor. Dipikirannya hanya ada satu wajah Mashor, pemuda yang sangat mengerti dirinya. Setelah tiba di kebun karet keluarganya, Fatimah tanpa sadar dan mungkin karena ilusi yang muncul karena obsesinya bertemu Mashor, dia melihat Mashor berdiri tersenyum kepadanya di tengah rintikan hujan. Tanpa berpikir panjang Fatimah berlari ingin memeluk tubuh kekasihnya melepaskan segala kerinduannya. Fatimah menabrak tubuh lelaki itu hingga terjatuh tanpa disadari pagar yang terbuat dari bambu yang melindungi kuburan Mashor menusuk tubuh Fatimah tepat di dadanya. Darah mengucur dan menetes di atas kubur Mashor dan melumuri nisannya. Fatimah meninggal dengan senyum dia yakin menemukan cintanya............

KISAH DATU NIHING



Zaman bahari dahulu di pagunungan Maratus ada urang tuha bangaran Datu Nihing. Pas lagi anum sidin katuju banar madam ka kampung-kampung nang jauh gasan mancari ilmu. Sidin suah baguru wan Panglima Burung di Kalteng, wan Panglima Antang di Kaltim, wan Panglima Ambih di Kalbar jua wan Patih Ampat di Kalsel. Jadi kada hiran amun Datu Nihing nangintu sakti banar urangnya, sidin bisa manarabang akan Mandau, mamarang maya, taguh, mangganali wan mahalusi awak, gancang, kawa bahinak dalam banyu, kawa bajajak di atas daun wan ahli batatamba. Datu Nihing ni ada baisi kabiasaan “Mangayau” satiap bulan April, nang jadi sasaran adalah kakanakan, ulih karana itu bila bulan April banyak kakanak hilang atau bila dapat kada bakupala lagi.
Datu Nihing ni badiam di dalam guha. Gawian sidin bagarit bayi wan payau, pakaian sidin kulit kayu atawa kulit binatang. Wayahnintu Datu Nihing lagi bagarit, pas sampai di muhara guha sidin ada maliat ular sawa sing ganalan nang kaya batang puhun “sirang” panjangnya kira-kira 30m. Lakas sidin mancabut Mandau lalu ditarabang akan sidin Mandau tuti ka arah kapala ular “TING” babunyi malating sakali Mandau manganai gulu Ular tapi hirannya ular ti kada papa, gurai gin kada, takajut Datu Nihing.
“Ini pasti ular jajadian” ujar sidin dalam hati.
Ular ti imbah kana Mandau lalu hamuk ai, kapalanya manumbuk ka arah Datu Nihing untung lakas sidin mambuang awak ka higa, tapi balum lagi Datu Nihing manarik hinak, buntut Ular ti mahambat sing gancangan ka arah Datu nihing, takipai sidin ta ka tabing batu, sampai runtuh tabing batu ti, untung Datu Nihing ni taguh sampai ka tulang jadi sidin kada papa. Imbah nintu sidin kaingatan papadahan guru sidin bahawa ular tu paling takutan wan haduk hanau, lalu lakas sidin mangaluar akan tali haduk nang rancak dibawa sidin gasan manjarat binatang hasil bagarit. Imbah itu sidin tarabang bajajak di daun mangulilingi Ular ganal ti sambil mambawa tali haduk, lalu talilit tali haduk ai ular ti, imbah talilit haduk saitu saini ular ganal ti lintuk lamah awaknya kada kawa bagarak lagi, imbah itu di tabas sidin ai lagi kapala ular ti wan Mandau lalu matilah Ular Sawa nang sing ganalan tuti.
Suah jua sidin lagi di dalam hutan batamuan wan Marabiaban, makhluk raksasa nang tingginya 5m dadanya tujuh kilan, awaknya hibak wan bulu, taringnya mangaluar sing panjangan. Maliat marabiaban lakas sidin mangganal akan awak jua jadi raksasa, lalu bakalahi ai sidin wan marabiaban ti, rabahan papuhunan dapatnya makhluk raksasa ti ba udar, matan puncak gunung sampai gugur ka jurang. Tuhuk mancari akal Datu nihing sagan ma alah akan marabiaban ti maka awaknya kada tadas dicucuk, ditimpas wan di banting ka batu. Pahantian ba udar sidin tabibit bamban lalu di hambat akan sidin ai bamban ti ka awak marabiaban, takuciak marabiaban kasakitan, imbah tu lalu mahancap ai sidin mahambat pakai bamban sampai ahirnya marabiaban ti mati, imbah mati dicabuti sidin bulu marabiaban ti, di simpani sidin gasan kanang-kanangan. Ujar barang siapa nang ma untal bulu marabiaban ti bisa taguh sapai katulang tapi kalamahannya di hambat wan batang bamban....

KISAH PANGLIMA BATUR



Panglima Batur adalah salah seorang pejuang Perang Banjar (Bandjermasinsche Krijg), yakni perang antara dua bangsa dan pemerintahan yang berdaulat, yakni antara bangsa Banjar di Kesultanan Banjarmasin di satu pihak yang wilayah utamanya meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sekarang dengan pihak Belanda. Pada saat berdirinya Kesultanan Banjar, semua suku yang ada dalam wilayah teritorial Kesultanan Banjar seperti suku Banjar, Bukit, dan Dayak (a.l. suku Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Siang, Bakumpai) baik yang beragama Islam maupun yang masih menganut kepercayaan Kaharingan adalah ”Bangsa Banjar”.
           Panglima Batur berasal dari suku Dayak beragama Islam di daerah Buntok-Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh. Sebagai panglima ia mengabdi kepada pemerintahan Pegustian yakni pemerintahan kelanjutan Kesultanan Banjar di hulu Sungai Barito. Setelah Perang Banjar meletus pada tahun 1859, maka kemudian perang ini meluas hingga ke hulu Barito. Pangeran Antasari sebagai pimpinan perang mampu menyatukan kalangan pejuang dari etnis Banjar dan Dayak untuk bersama-sama melawan Belanda. Selepas Antasari meninggal di tahun 1862 di Bayan Begok daerah Puruk cahu, pimpinan perlawanan diteruskan oleh puteranya Sultan Muhammad Seman, dan ia dibantu oleh pengikut setianya yakni Panglima Batur. Oleh karena itu, perjuangan yang dilakukan Panglima Batur pada hakikatnya adalah untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan tanah Banjar dari penguasaan Belanda.
           Panglima Batur bersama Sultan Muhammad Seman mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kerajaan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa. Ia adalah sultan terakhir dari Kerajaan Banjar dalam pemerintahan pelarian di daerah Barito. Sultan Muhammad Seman benar-benar konsekwen terhadap sumpah melaksanakan amanah ayahndanya Pangeran Antasari yang tidak kenal kompromi dengan Belanda, “Haram manyarah waja sampai kaputing”. Tertegun dan dengan rasa sedih yang mendalam ketika Panglima Batur kembali ke benteng Manawing yang musnah, dan Sultan Muhammad Seman, pimpinannya telah tewas. Panglima Batur dan teman seperjuangannya Panglima Umbung pulau ke kampung halaman mereka masing-masing. Panglima Umbung kembali ke Buntok-Kecil. Sultan Muhammad di Seman di makamkan di puncak gunung di Puruk Cahu.
           Sepeninggal Sultan, Panglima Baturlah satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih bertahan. Ia terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya, tetapi ia mudah terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya yang jatuh menderita. Hal itu diketahui oleh Belanda kelemahan yang menjadi sifat Panglima Batur, dan kelemahan inilah yang dijadikan alat untuk menjebaknya. Ketika terjadi upacara adat perkawinan kemenakannya di kampung Lemo, dimana seluruh anggota keluarga Panglima Batur terkumpul, saat itulah serdadu Belanda mengadakan penangkapan. Pasangan mempelai yang sedang bertanding juga ditangkap dimasukkan ke dalam tahanan, dipukuli dan disiksa tanpa perikemanusiaan. Cara inilah yang dipakai Belanda untuk menjebak Panglima Batur.
           Dengan perantaraan Haji Kuwit salah seorang saudara sepupu Panglima Batur Belanda berusaha menangkapnya. Atas suruhan Belanda Haji Kuwit mengatakan bahwa apabila Panglima Batur bersedia keluar dari persembunyian dan bersedia berunding dengan Belanda, barulah tahanan yang terdiri dari keluarganya dikeluarkan dan dibebaskan, dan sebaliknya apabila Panglima tetap berkeras kepala, tahanan tersebut akan ditembak mati. Hati Panglima Batur menjadi gundah dan dia sadar bahwa apabila dia bertekad lebih baik dia yang menjadi korban sendirian dari pada keluarganya yang tidak berdosa ikut menanggungnya.
Dengan diiringi orang-orang tua dan orang sekampungnya Panglima Batur turun ke Muara Teweh. Benar apa yang menjadi kata hatinya, bukan perundingan tetapi ia ditangkap sebagai tawanan dan selanjutnya dihadapkan di meja pengadilan. Ini terjadi pada tanggal 24 Agustus 1905. Setelah dua minggu di tawan di Muara Teweh, Panglima Batur diangkut dengan kapal ke Banjarmasin. Di kota Banjarmasin dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati.
Pada tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ketiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya dia minta dibacakan “Dua Kalimah Syahadat” untuknya. Dia dimakamkan di belakang Mesjid Jami’ lama Banjarmasin di tepian Sungai Martapura, tetapi sejak 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks “Makam Pahlawan Banjar” Jalan Mesjid Jami Banjarmasin (Dikutip a.l. dari Buku Sejarah Banjar; foto Panglima Batur koleksi keluarga alm. H.M. Yakub Amin —lahir 1915, pensiunan TNI tahun 1950— diwarisi dari orang tua beliau, di Jalan Panglima Batur, Banjarmasin)......

KISAH TUMENGGUNG JALIL

Jalil (nama populer Tumenggung Jalil), kemudian bergelar Tumenggung Macan Negara, kemudian bergelar Kiai Adipati Anom Dinding Raja (lahir di Kampung Palimbangan, Hulu Sungai Utara tahun 1840 – meninggal di Benteng Tundakan, Balangan tanggal 24 September 1861 pada umur 21 tahun) adalah panglima perang dalam Perang Banjar dengan basis pertahanan di Banua Lima, pedalaman Kalimantan Selatan. Jalil merupakan seorang jaba (Banjar: bukan berdarah bangsawan). Sejak kecil dia dikenal pemberani dan pendekar dalam ilmu silat. Pada waktu berusia 20 tahun dia terlibat dalam perlawanan terhadap Belanda di Desa Tanah Habang dan Lok Bangkai. Karena kepahlawanannya dia dikenal
sebagai Kaminting Pidakan (Banjar: jagoan / jawara). Tumenggung Jalil Menyusun Kekuatan Jalil diberi gelar Tumenggung Macan Negara oleh Sultan Tamjidullah II, karena itulah ia dikenal juga dengan sebutan Tumenggung Jalil. Kemudian Tumenggung Jalil memihak kepada mangkubumi Pangeran Hidayatullah dan diberi gelar Kiai Adipati Anom Dinding Raja oleh Pangeran Hidayatullah.
Pada tahun 1859 Tumenggung Jalil telah menyusun kekuatan di Banua Lima. Tumenggung Jalil membuat pos-pos penjagaan di sekitar Babirik, Alabio dan Sungai Banar. Disekitar Masjid Amuntai didirikan benteng. Di sungai dibuat rintangan-rintangan sehingga mempersulit bagi kapal yangakan lewat. Pertempuran di Amuntai, Balangan dan Tabalong Pada awal Februari 1860, Belanda mengerahkan kapal- kapal perang Admiral van Kingsbergen dan kapal Bernet dengan beberapa ratus serdadu dan pasukan meriam dipimpin oleh Mayor Gustave Verspijck. Kapal perang itu akhirnya sampai di Alabio, dan seterusnya terpaksa menggunakan kapal atau perahu yang lebih kecil karena rintangan yang banyak di
sungai. Pertempuran terjadi di sekitar Masjid Amuntai.
Dari masjid inilah keluar prajurit-prajurit rakyat yang tidak mengenal lelah menyerbu dengan hanya bersenjatakan tombak, parang bungkul dan mandau dengan meneriakkan Allahu Akbar menyerbu Belanda. Korban berjatuhan dan perang berhadapanpun terjadi. Semangat membela agama dan berjuang melawan orang kafir dan mati dalam perang itu adalah semangat patriotisme yang tinggi yang mengisi dada setiap rakyat yang bertempur melawan penjajah Belanda.
Benteng di sekitar masjid dipertahankan dengan kuat di bawah pimpinan Matia atau
Mathiyassin, pembantu utama Tumenggung Jalil dengan gagah berani mehamuk menyerbu serdadu Belanda.
Beratus-ratus yang menjadi syuhada dalam pertempuran itu, 44 orang di antaranya dimakamkan di Kaludan. Rumah-rumah penduduk ikut menjadi korban terbakar serta kampung di sekitarnya menjadi saksi kepahlawanan rakyat Amuntai mempertahankan agama. Di antara kampung yang musnah adalah Kampung Karias, dan di antara rumah penduduk yang musnah terdapat rumah Tumenggung Jalil. Di bekas benteng yang hancur, dijadikan Belanda bivak, benteng baru terletak di pertemuan sungai Balangan dan sungai Tabalong. Pertempuran ini terjadi pada 9 Februari 1860. Pasukan-pasukan Pangeran Hidayatullah yang tersebar di sekitar Barabai bergabung dengan pasukan Tumenggung Jalil dan dapat menahan gerakan serdadu Belanda di sekitar Pantai Hambawang. Dalam pertempuran yang terjadi di Lampihong di antara serdadu Belanda yang menjadi korban adalah Kapten De Jong. Pertempuran ini menyebabkan serdadu Belanda mundur.
Bantuan serdadu Belanda kemudian diangkut dengan kapal perang Boni pada tanggal 15 Mei 1860 menuju dan memudiki sungai Tabalong. Sebelum mencapai daerah Tabalong, serdadu Belanda menghadapi serbuan rakyat di sepanjang sungai yang dilewati. Sesampai di daerah Tabalong, terjadi pertempuran dengan pasukan Tumenggung Jalil.
Perlawanan rakyat cukup sengit menyebabkan serdadu Belanda terpaksa mundur ke daerah Kalua dan Amuntai. Baru pada bulan Juni 1860 Belanda berhasil menduduki daerah Tabalong. Serdadu Belanda menghadapi perlawanan dari pasukan Pangeran Hidayatullah, pasukan Tumenggung Jalil dan pasukan Pangeran Antasari dengan Tumenggung Surapati yang berpusat di Tanah Dusun. Benteng Batu Mandi dan Benteng Tabalong Tumenggung Jalil kemudian membuat benteng di Batu Mandi dan dari benteng ini dapat memutuskan hubungan serdadu Belanda antara Barabai dan Lampihong. Benteng ini terletak di atas sebuah bukit dan di sekitarnya diberi rintangan-rintangan, seperti parit-parit, lubang perangkap, tali jerat dan potongan pohon kayu besar yang sewaktu-waktu dapat digulingkan dari atas bukit. Benteng ini dipercayakan kepada Penghulu Mudin. Ketika serdadu Belanda menyerbu dan menaiki bukit yang dijadikan benteng ini, banyak sekali korban dari pihak Belanda, karena jebak (ranjau) yang dibuat. Di antara yang jatuh korban adalah pimpinan penyerbuan ini Sersan van de Bosch. Karena gagal menaiki benteng tersebut, serdadu Belanda menembaki benteng ini dengan meriam dari bawah. Sementara itu Pangeran Antasari memperkuat benteng Tabalong. Pangeran Antasari menaikkan bendera di atas benteng itu, yaitu bendera merah dengan dua buah keris bersilang.
Benteng Batu Mandi dipersiapkan dengan sungguh-sungguh oleh Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah. Disamping itu terdapat pula Pangeran Syarif Umar (ipar Pangeran Hidayatullah) dan Pangeran Usman (kemenakan Pangeran Hidayatullah). Sedangkan Tumenggung Jalil mempersiapkan pertahanan di sepanjang sungai Balangan. Sebelum sampai ke benteng ini, terdapat kubu-kubu pertahanan di batang Balangan. Di daerah Batang Alai terdapat kekuatan dibawah pimpinan Demang Jaya Negara Seman dan Kiai Jayapati. Pusat kekuatan telah dibagi dan dipencar-pencar Pangeran Antasari tetap bertahan di sekitar Amuntai, Kalua dan Tabalong, sedangkan Jalil berada di pusat kekuatan di Pasimbi, yang berusaha menghambat gerakan serdadu Belanda menuju Batu Mandi. Kubu-kubu pertahanan Jalil selain di Pasimbi, juga terdapat di Lampihong , Layap, Muara Pitap dan lain-lain.
Ketika serdadu Belanda sampai ke benteng Batu Mandi pada tanggal 13 Oktober 1860 ternyata benteng itu telah dikosongi. Belanda sangat kecewa karena sebelum mencapai benteng Batu Mandi, serdadu Belanda menghadapi perlawanan yang gencar dari segala pelosok, ternyata benteng itu telah kosong. Pertempuran di Benteng Tundakan 24 September 1861 Penyerangan benteng Gunung Tongka oleh Belanda (gambar oleh G. Kepper) Garis pertahanan Pangeran Antasari antara benteng Pengaron, benteng Tundakan dan Gunung Tongka (di daerah Barito ) merupakan basis perjuangan yang tak mudah ditaklukkan Belanda. Tumenggung Jalil setelah terpukul di Banua Lima, kemudian menggabungkan diri ke benteng Tundakan bersama-sama Tumenggung Baro dan Pangeran Maradipa. Ketika terjadi pertempuran menghadapi pasukan serdadu Belanda yang menyerbu benteng Tundakan, banyak korban berjatuhan kedua belah pihak. Benteng di dipertahankan dengan sekuat tenaga oleh para pejuang tak kenal menyerah. Mati syahid adalah idaman mereka dalam setiap pertempuran menghadapi orang kafir Belanda. Pertempuran itu terjadi pada 24 September 1861. Tumenggung Jalil mempertahankan benteng itu bersama-sama Pangeran Antasari dan tokoh pejuang lainnya. Benteng Tundakan hanya dipertahankan dengan 30 pucuk meriam dan senapan jauh lebih kecil dibanding dengan persenjataan Belanda. Meskipun dengan persenjataan yang kecil, tetapi dengan semangat juang tak kenal menyerah, akhirnya Belanda terpaksa mundur dan dapat dihalau dari tempat pertempuran. Dengan demikian benteng Tundakan dapat dipertahankan dan diselamatkan. Setelah usai ternyata Tumenggung Jalil gugur sebagai kesuma bangsa. Mayatnya ditemukan dalam tumpukan tumpukan mayat-mayat serdadu Belanda, jauh di luar benteng. Ketika perang sedang berkecamuk, Tumenggung Jalil mehamuk ke tengah-tengah musuh, dan dia menjadi korban bersama-sama serdadu Belanda yang dibunuhnya. Tumenggung Jalil menjadi syahid, seorang putera bangsa terbaik telah hilang. Kebencian Belanda kepada Tumenggung Jalil sebagai musuhnya yang paling ditakutinya, berusaha mencari dimana kuburan Tumenggung
ini. Akhirnya penghianat perjuangan memberi tahu letak kuburan tersebut. Kuburan beliau dibongkar kembali oleh kaki tangan Belanda, tengkoraknya diambil dan disimpan di Negeri Belanda, sisa mayatnya dihancurkan dan dia pejuang bangsa yang tidak mempunyai kubur....

Kisah SYEKH ABDURRAHMAN SIDDIQ

ULAMA Syeikh Haji Abdur Rahman Shiddiq bin Haji Muhammad Afif bin Haji Anang Mahmud bin Haji Jamaluddin bin Kiyai Dipa Santa Ahmad bin Fardi bin Jamaluddin bin Ahmad al-Banjari.Jalur keturunan yang menyentuh Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, ulama dunia Melayu yang sangat terkenal, ialah bahawa ibunya bernama Shafura binti Mufti Haji Muhammad Arsyad bin Mufti Haji Muhammad As’ad. Ibu Mufti Haji Muhammad As’ad bernama Syarifah binti Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, iaitu daripada perkahwinan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dengan Tuan Bajut. Dari jalur yang lain pula bahawa ibu Muhammad Afif bernama Sari binti Khalifah Haji Zainuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, iaitu daripada perkahwinan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari dengan Tuan Guat.Berdasarkan catatannya sendiri yang penulis peroleh daripada keturunan beliau di Sapat dan Tembilahan, Inderagiri Hilir (1982) bahawa Haji Abdur Rahman Shiddiq lahir bulan Rabiulakhir, malam Khamis, sebelum Subuh, 1284 Hijrah/Ogos 1867 Masihi. Beliau memadamnya dan diganti dengan 1288 Hijrah/Jun/Julai 1871 Masihi. Penulis tidak sependapat dengan beberapa orang penulis yang menyebut bahawa Haji Abdur Rahman Shiddiq lahir pada tahun 1857 Masihi. Mengenainya barangkali satu kekeliruan menyesuaikan tahun 1284 Hijrah atau 1288 Hijrah ke tahun Masihi saja. Bahawa 1284 Hijrah bukan bersamaan dengan tahun 1857 Masihi tetapi yang betul ialah tahun 1867 Masihi. Catatan tambahan yang dilakukan oleh anaknya bahawa beliau wafat pada hari Isnin, jam 5.40, 4 Syaaban 1358 Hijrah/18 September 1939 Masihi, dalam usia 70 tahun.
PENDIDIKAN
Pendidikan asasnya diperoleh dari lingkungan keluarga ulama Banjar yang ada hubungan dengan beliau. Sama ada kedua-dua orang tuanya, mahu pun Abdur Rahman Shiddiq sendiri berhasrat untuk memperoleh ilmu yang banyak di Tanah Suci Mekah, namun beliau menempuh jalan yang berliku-liku. Abdur Rahman Shiddiq banyak memperoleh ilmu di alam terbuka, bumi dipijak, langit dijunjung di beberapa tempat yang dirantaunya. Mulai Banjar berlayar ke Jawa, ke Sumatera, sambil berlayar, di rantau orang mengajar dan berusaha untuk memperoleh wang untuk sampai ke Tanah Suci Mekah. Perjuangannya adalah suci untuk memperoleh ilmu memartabatkan Islam, semangatnya adalah teguh kukuh tidak akan terabai dan tergugahkan. Sempat belajar dengan beberapa orang ulama di Padang, sambil berdagang emas dan perak di Padang. Beliau juga merantau ke daerah Tapanuli. Pernah mengajar kitab Sabilul Muhtadin, karangan Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari, datuk neneknya di Barus dan Natal di daerah Tapanuli. Berdasarkan catatan Abdur Rahman Shiddiq bahawa dalam musim haji tahun 1306 Hijrah yang bererti bersamaan dengan Julai 1889 Masihi barulah cita-cita Abdur Rahman Shiddiq sampai ke Mekah, dan tinggal di sana hingga tahun 1312 Hijrah/1894 Masihi.Oleh sebab Haji Abdur Rahman Shiddiq sampai di Mekah pada tahun tersebut di atas dinyatakan oleh beliau sendiri, maka penulis tidak sependapat dengan kenyataan Imran Effendy Hs dalam buku Pemikiran Akhlak Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari, halaman 16, 18 dan 63 yang menyebut bahawa Haji Abdur Rahman Shiddiq berangkat ke Mekah pada 1882/3 Masihi. Catatan tulisan tangan Haji Abdur Rahman Shiddiq penulis miliki sejak tahun 1982 di Sapat daripada salah seorang keturunan beliau. Dalam catatan itu jelas bahawa sejak dilahirkan, catatannya berada di Padang pada 10 Zulhijjah 1305 Hijrah/18 Ogos 1888 Masihi, bahawa beliau bernama Abdur Rahman Shiddiq. Oleh sebab catatannya ditulis jauh sebelum beliau berada di Mekah, maka penulis juga tidak sependapat dengan buku di atas (halaman 18) yang menyebut bahawa gelar `Shiddiq’ diberikan oleh gurunya, al-Syata (maksudnya Sayid Abu Bakri asy-Syatha) di Mekah.Sewaktu belajar di Mekah, beliau bersahabat dengan beberapa orang, di antara mereka ialah Tuan Husein Kedah al-Banjari, keturunan Banjar yang dilahirkan di Kedah ini (lahir 1280 Hijrah/1863 Masihi)usianya lebih tua beberapa tahun daripada Haji Abdur Rahman (lahir 1288 Hijrah/1871 Masihi). Sahabatnya yang lain ialah Haji Abdullah Fahim (lahir 1286 Hijrah/1869 Masihi), Tok Kenali (lahir 1287 Hijrah/1871 Masihi) dan ramai lagi. Mengenai guru-guru yang mengajar di Masjid al-Haram pada zaman itu telah banyak disebut pada siri-siri yang lalu, oleh itu tidak perlu dibicarakan lagi.
AKTIVITAS
Sudah cukup jelas dan tidak perlu diragukan bahawa Haji Abdur Rahman Shiddiq pulang dari Mekah ialah tahun 1312 Hijrah/1894 Masihi. Oleh itu pendapat Imran Effendy Hs dalam bukunya (halaman 20) yang menyebut Haji Abdur Rahman Shiddiq pulang dari Mekah pada tahun 1890/1 dan pendapat Syafei Abdullah dalam bukunya Riwayat Hidup dan Perjuangan Ulama Syeikh H.A. Rahman Shiddiq, Mufti Inderagiri, menyebut tahun 1897 Masihi penulis tidak sependapat dan perlu penelitian yang lebih kemas lagi.Pulang dari Mekah terus ke Martapura, kemudian pindah ke Bangka dilanjutkan pengembaraan di seluruh Semenanjung menziarahi teman-temannya, di antaranya Tok Kenali. Beberapa sultan, di antaranya sultan Johor meminta beliau menjadi mufti , semuanya beliau tolak. Akhirnya Syeikh Haji Abdur Rahman Shiddiq membuka perkampungan sendiri yang kemudian diberi nama Parit Hidayat di Inderagiri Hilir. Di sanalah beliau membina umat membuka pengajian sistem pondok. Dalam masa kejayaannya membuka perkampungan untuk perkebunan kelapa dan pengajian itulah Syeikh Haji Abdur Rahman Shiddiq dilantik sebagai Mufti Kerajaan Inderagiri.
PENULISAN
Karya-karya Mufti Haji Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari yang telah ditemui penulis senaraikan sebagai berikut:1. Asrarus Shalah, diselesaikan pada bulan Rejab 1320 Hijrah. Kandungannya membicarakan mengenai sembahyang. Cetakan yang pertama Mathba’ Haji Muhammad Sa’id bin Haji Arsyad, Kampung Silong, Jalan Arab Street, Kedai Surat No, 82 Singapura, akhir Zulhijjah 1327 Hijrah. Cetakan selanjutnya oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 1348 Hijrah/1929 Masihi (cetakan ketiga).2. Fat-hul `Alim, diselesaikan pada 10 Syaaban 1324 Hijrah. Kandungannya membicarakan akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah secara lengkap. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 28 Syaaban 1347 Hijrah/8 Januari 1929 Masihi.3. Risalatut Tazkirah li Nafsi wa lil Qashirin Mitsli, diselesaikan pada 20 Syaaban 1324 Hijrah. Kandungannya merupakan tazkirah dan nasihat yang dipetik daripada Majmu’ karangan Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Cetakan pertama, Tempat Cap Haji Muhammad Amin, Singapura, 1324 H.4. Risalah Amal Ma’rifat, diselesaikan di Sapat, Inderagiri, 8 Rabiulawal 1332 Hijrah. Kandungannya membicarakan akidah menurut pandangan tasawuf. Cetakan yang kedua, 30 Muharam 1344 Hijrah oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 50 Minto Road, Singapura.5. Syair Ibarat dan Khabar Kiamat, diselesaikan 25 Zulhijjah 1332 Hijrah. Kandungannya menceritakan peristiwa Hari Kiamat ditulis dalam bentuk syair. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 50 Minto Road, Singapura, 9 Syaaban 1344 Hijrah.6. Risalah Kecil Pelajaran Kanak-kanak Pada Agama Islam, diselesaikan 1 Safar 1334 Hijrah. Kandungannya merupakan pelajaran fardu ain untuk kanak-kanak. Cetakan yang ketiga oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 1348 Hijrah/1929 Masihi.7. Aqaidul Iman, diselesaikan di Sapat, Inderagiri, 16 Rabiulawal 1338 Hijrah. Kandungannya membicarakan tentang akidah. Cetakan baru oleh Toko Buku Hasanu, Jalan Hasanuddin Banjarmasin atas izin Mahmud Shiddiq, Pagatan, Kota Baru, Pulau Laut, Kalimantan Selatan, 1405 Masihi. Diterbitkan daripada salinan tulisan tangan oleh Hasan Bashri Hamdani.8. Syajaratul Arsyadiyah, diselesaikan 12 Syawal 1350 Hijrah. Kandungannya membicarakan asal-usul Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari dan keturunan-keturunannya. Cetakan pertama oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura.9. Risalah Takmilah Qaulil Mukhtashar, diselesaikan 10 Safar 1351 Hijrah. Kandungannya menceritakan tanda-tanda Hari Kiamat dan mengenai kedatangan Imam Mahdi. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, dicetak kombinasi dengan Syajaratul Arsyadiyah (103 halaman) oleh pengarang yang sama, dan Risalah Qaulil Mukhtashar fi `Alamatil Mahdil Muntazhar (55 halaman) karya Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari.10. Mau’izhah li Nafsi wa li Amtsali minal Ikhwan, diselesaikan 5 Rejab 1355 Hijrah. Kandungannya merupakan kumpulan pengajaran akhlak. Cetakan yang pertama oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 1355 Hijrah.11. Beberapa Khuthbah Pakai Makna Karangan Jaddi as-Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, tanpa dinyatakan tarikh selesai penulisan. Kandungannya merupakan kumpulan khutbah yang pernah diucapkan oleh Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 101 Jalan Sultan, Singapura, tanpa dinyatakan tahun cetakan.12. Majmu’ul Ayat wal Ahadits fi Fadhailil `Ilmi wal `Ulama’ wal Muta’allimin wal Mustami’in, tanpa dinyatakan tarikh selesai penulisan. Kandungannya merupakan kumpulan hadis serta terjemahannya dalam bahasa Melayu. Dicetak oleh Mathba’ah Al-Ahmadiah, 82 Jalan Sultan, Singapura, 1346 Hijrah/1927 Masihi.13. Catatan, tanpa tarikh, ditulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Kandungannya merupakan beberapa catatan Syeikh Abdur Rahman Shiddiq mulai lahir malam Khamis, sebelum Subuh 1288 Hijrah/ Jun/Julai 1871 Masihi. Wafat hari Isnin, jam 5.40, pada 4 Syaaban 1358 Hijrah/18 September 1939 Masihi, dalam usia 70 tahun. Tahun 1306 Hijrah beliau ke Mekah. Tinggal di sana hingga tahun 1312 Hijrah. Selain itu terdapat catatan kelahiran dan wafat anak-anaknya dan lain-lain.......