Sayyid Abu Bakr bin Hasan Assegaf
hidup di paroh akhir abad ke-18 M. Menurut angka tahun di nisan beliau,
tercatat wafat pada tahun 1902 M. Beliau bermakam di Alkah Balai Ulin Desa
Lumpangi Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Menurut folklor
setempat, pembawa agama Islam yang pertama di wilayah pegunungan meratus adalah
Habib Idrus bin Hasyim Assegaf beserta saudaranya yang bernama Habib Hasan bin
Hasyim Assegaf (wafat tahun 1802) yang sekarang bermakam di Desa Taniran.
Para zuriat Rasulullah SAW tersebut
konon berasal dari Hadramaut, dan menginjakkan kaki pertama di Bandarmasih
(nama lama Kota Banjarmasin). Setelah sempat beberapa waktu menetap dan
memperistri seorang warga di kota bandar itu yang melahirkan seorang putra
bernama Habib Ali bin Idrus Assegaf, Habib Idrus beserta keluarga tersebut
kemudian berpindah ke wilayah Banua Anam, tepatnya ke kampung Lumpangi. Konon,
perjalanan ke kampung tersebut pada waktu itu ditempuh hanya dengan berjalan
kaki.
Masih berdasarkan folklor yang
berhasil penulis gali, para habaib tersebut memiliki gambaran audiens dakwah
yang mirip dengan wali songo di Tanah Jawa. Di kampung Lumpangi kala itu masih
berupa kehidupan Balai, yaitu Balai Ulin; dan di sana terdapat tokoh yang
disebut penghulu Balai yang terkenal dengan kemampuannya mengobati orang sakit.
Ternyata, kemampuan medis habib yang baru datang ke wilayah itu lebih tinggi
darinya, sehingga warga Balai sangat terkesima dan akhirnya mau menerima Islam.
Bahkan, disebutkan bahwa di antara tokoh habib itu ada yang menikahi puteri
penghulu Balai Ulin. Sedangkan warga Balai yang enggan menerima Islam akhirnya
menyingkir sampai ke kampung Tanuhi sekarang, meskipun akhirnya terus didatangi
oleh para habib sampai beroleh kesepakatan bahwa Tanuhi merupakan batas wilayah
Islam, karena warga Balai yang tetap dengan agama leluhurnya semakin menyingkir
ke kampung Loksado.
Kampung Lumpangi pun berkembang
pesat, dan setelah berhasil beradaptasi dengan masyarakat sekitar, beliau
memulai berdakwah secara lisan di kalangan warga mengenai akhlak dan amaliyah
serta ajaran lainnya. Setelah diterima dengan baik oleh warga Lumpangi, mereka
pun bersemangat untuk mempelajari agama Islam. Sedangkan rumah yang
dipergunakan tempat mengajar dan berdakwah di Kampung tersebut yang semula
hanya dihadiri oleh beberapa orang saja lama kelamaan menjadi penuh, karena
warga setempat makin bertambah yang menerima Islam. Kemudian, dibangunlah
mesjid dengan konstruksi yang sangat sederhana, yaitu bertiangkan kayu Sungkai,
berdinding Kajang, dan beratapkan rumbia. Mesjid inilah yang kemudian dikenal
bernama Jannatul Anwar.
Putra Habib Idrus yang bernama Habib
Ali bin Idrus Assegaf wafat pada tahun 1909 dan bermakam di tengah kota
Kandangan atau persisnya di alkah Alawiyah Ashhab Turban Anak Mas di jalan H.M
Rusli. Adapaun salah seorang putra Habib Ali, yaitu Habib Husin bin Ali bermakam
di tengah kantin pasar Kandangan. Adapun Habib Idrus bin Hasyim pergi ke tanah
Jawa dan wafat di sana. Sementara Habib Hasan bin Hasyim pergi ke Kampung
Taniran dan wafat di sana.
Meskipun penulis belum berhasil
menggali data etnohistoris dari tetuha masyarakat Taniran, namun diduga kuat
bahwa Habib Hasan inilah yang membina penduduk Taniran sehingga mereka memiliki
ghirah yang kuat terhadap ilmu agama. Hal ini terbukti bahwa keberadaan Datu
Taniran (Tuan Guru Haji Muhammad Thaib) di kampung itu berawal dari adanya
permintaan masyarakat Taniran kepada Tuan Mufti Muhammad As’ad agar mengirim
seorang ulama ke sana. Mana mungkin penduduk suatu kampung memiliki ghirah yang
tinggi terhadap Islam jika sebelumnya tidak diberikan bimbingan yang mampu
menentramkan jiwa-jiwa mereka.
Adapun Sayyid Abu Bakr bin Hasan yang
konon bertahan di Lumpangi tetap membina masyarakat setempat sampai akhir
hayatnya, yaitu tahun 1902 M. Menurut cerita tetuha masyarakat, kakek-kakek
mereka sempat hidup sezaman dengan Sayyid Abu Bakr tersebut, ketika warga
Kampung Hamawang banyak yang menghindar dari kesewenangan penjajah Belanda dan
memilih menetap menjadi orang gunung di Kampung Lumpangi. Disebutkan bahwa
perawakan beliau tinggi besar dan memiliki janggut yang panjang sampai ke dada.
Menurut laporan Jurnalisia.net pada
bulan Oktober 2010, di alkah Balai Ulin bermakam beberapa Habib lainnya seperti
Habib Muhammad bin Ali bin Idrus Assegaf, Habib Ahmad bin Ali bin Idrus
Assegaf, Habib Ibrahim bin Ali bin Idrus Assegaf, Habib Hasan bin Ahmad bin Ali
Assegaf, Habib Alwie bin Ali Assegaf, Habib Agil bin Ibrahim, Habib Abubakar
bin Ibrahim Assegaf, dan Syarifah Amas binti Ibrahim Assegaf.
Sejak
dulu hingga kini tiap tahunnya pada akhir bulan Dzulhijjah terus dilaksanakan
Haul Akbar oleh zuriat ‘Alawiyyin beserta warga Desa Lumpangi dan sekitarnya,
bahkan dihadiri pula oleh masyarakat dari berbagai penjuru Kalimantan Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar