Datu Hamawang atau Datu Bungkul bergelar
Tumenggung Raksa Yuda atau Pangeran Kecil, dan gelar Datu Hamawang inilah yang
lebih dikenal. Datu Hamawang selain orang yang sakti mandraguna, beliau juga
sebagai seorang pahlawan dan sebagai seorang ulama panutan yang sangat disegani
dan dihormati oleh masyarakat, sehingga segala keputusan yang akan dilaksanakan
di daerah tersebut terlebih dahulu meminta saran dan pendapat bahkan
persetujuan beliau. Menurut penuturan orang-orang tua, yang mula-mula memeluk
agama islam di daerah ini adalah Datu Hamawang, kemudian beliau menyebarkan
agama islam dan membangun sebuah mesjid di hamawang (mesjid Quba) di bantu oleh
Datu Ulin dan Datu Basuhud yang akhirnya kawin dengan adik Datu Hamawang yang
bernama Datu Salayan. Menurut cerita, Datu Hamawang adalah orang yang
dikaruniai umur yang panjang, umur beliau mencapai 300 tahun.
Datu Hamawang mempunyai 4 orang bersaudara:
1. Datu
Balimbur. Beliau juga disebut Datu Kurungan, karena beliau memelihara buaya putih
dalam kurungan, konon ketika Pangeran Suriansyah mendirikan istana kerajaan
(sekarang lokasi Mesjid Kuin), buaya putih ini ikut juga membantunya. Terakhir
beliau bermukim di daerah Barito. Zuriyat beliau adalah Garuntung Manau dan
Garuntung Waluh, suku Dayak Biaju Hampatung. Sekarang zuriyat beliau ada di
Hamawang, Sungai Kudung, Telaga Langsat, Lumpangi dan Daerah Barito.
2. Datu
Hamawang atau Datu Bungkul. Zuriyat beliau sekarang ada di Hamawang, Sungai
Raya, Sungai Kali, Sarang Halang, Pagar Haur, Malutu dan Sungai Kudung.
3. Datu
Tambunau atau TUMENGGUNG ANTALUDIN. Zuriyat beliau adalah Pambalah
Batung dan Datu Dambung, dan sekarang zuriyat beliau ini ada di sekitar Sungai
Kudung, Madang, Padang Batung, Kaliring, Hamawang, Sungai Gula, Puruk Cahu, Sumatera
dan daerah Pegunungan Meratus (Gunung Panginangan Ratu dan Cantung). Datu
Tambunau terkenal sebagai pejuang yang sakti mandraguna, pantang menyerah
terhadap penjajah Belanda. Konon beliau mempunyai baju layang yang bisa
digunakan sebagai sayap untuk terbang. Setelah peperangan melawan Belanda
(Perang Gunung Madang) selesai, beliau bertapa di Gunung Panginangan Ratu. Dari
nama beliau itulah akhirnya Kandangan di namakan BUMI ANTALUDIN, karena
beliau dengan gagah berani mempertahankan Kandangan dari penjajah Belanda di
benteng madang.
4. Datu
Salayan (Ratu Ibuk) bergelar Ratu Komala Sari atau Ratu Mayang Sari, yang
kemudian kawin dengan Datu Basuhud. Mereka akhirnya menetap di Alai Barabai.
Zuriyat beliau sekarang ada di Hamawang, Sungai Kudung, Banyu Barau, Gambah,
Alai (Barabai) dan Malaysia.
Tanah Banjar
dikenal memiliki sekian banyak ulama yang berjasa dalam dakwah dan pendidikan
di berbagai pelosok banua, bahkan pengaruhnya telah melebar ke daerah lain
sampai ke negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Sangat
disayangkan, lemahnya tradisi tulis di kalangan masyarakat Banjar menjadikan
tidak sedikit kiprah para ulama tempo dulu yang tidak sampai ke generasi
sekarang. Sebagian yang berhasil direkam juga terkadang berbentuk informasi
pseudo historis yang masih simpang siur, banyak versi, dan cukup sulit
dibuktikan secara ilmiah. Fenomena ini dapat dilihat misalnya pada cerita
tentang datu-datu yang berkembang di masyarakat Banjar. Terkadang ada campur
tangan politik, meskipun dalam pengertian yang paling sederhana, seperti ingin
memperkuat status sosial dengan menghubungkan diri sebagai keturunan atau pihak
yang berada dalam lingkaran dalam ketokohan seorang datu. Wallahu a’lam. Terlepas
dari itu semua, tulisan ini berupaya menghadirkan sekilas tentang Datu Hamawang
sebagai salah seorang ulama Banjar tempo dulu yang belum banyak tersentuh oleh
kajian ilmu sejarah. tanpa bermaksud mengkotak-kotakkan antara satu paham ulama
dengan paham ulama lainnya. Namun mengingat biografi ini bersifat dinamis,
dalam arti suatu saat bisa direvisi dan datanya ditambah, maka tentu saja bagi
Anda yang berminat menjadikannya sebagai sumber agar mencantumkan pula tanggal
akses agar tidak merancukan data di kemudian hari.
Pada
sekitar awal abad ke-19 Masehi, di lembah sungai Hamandit (Amandit) yang
termasuk kabupaten Hulu Sungai Selatan sekarang, dikenal seorang tokoh bernama
Temenggung Raksa Yuda, yakni seorang turunan raja Negara Dipa Pangeran Sukarama
(kakeknya Pangeran Samudera/Sultan Suriansyah). Beliau dikenal sebagai Datu
Hamawang karena berdiam di kampung Hamawang (yang belakangan berkembang menjadi
kota Kandangan). Disebut juga Datu Bungkul, konon lantaran melawan penjajah
Belanda dengan menggunakan senjata berupa parang bungkul; dikenal pula sebagai
Pangeran Kecil lantaran termasuk seorang bangsawan. Menurut M. Said (2011),
motif Pangeran Kecil ini lari dari kemegahan Istana karena menghindari
kekalutan perebutan singgasana.
Datu
Hamawang memiliki 3 orang saudara, yakni Datu Balimbur sebagai saudara tertua
yang bermukim di daerah Barito dan menjadi Kepala Suku Dayak Biaju (Ngaju)
Hampatung. Kala itu belum dikenal perbedaan suku antara Banjar dan Dayak. Di
antara keturunan Datu balimbur ini antara lain Garuntung Manau dan Garuntung
Waluh yang dikenal sebagai prajurit-prajurit Pangeran Antasari. Adik Datu
Hamawang yang laki-laki adalah Datu Tambunan yang lebih dikenal sebagai
Tumenggung Antaludin yang juga salah seorang Panglima Pangeran Antasari,
komandan Benteng Madang (sekarang termasuk kecamatan Padang Batung). Entah
mengapa Antaluddin kemudian lebih dikenal sehingga kota Kandangan sering
disebut Bumi Antaluddin, dan nama beliau juga diabadikan sebagai nama Jembatan
utama kota Kandangan. Adik beliau yang satunya lagi adalah seorang perempuan
yang bernama Datu Salayan atau Datu Ibuk. Nama aslinya adalah Ratu Komala Sari
yang bersuamikan seorang Arab bernama Datu Basuhud. Datu inilah yang
mengIslamkan Datu Hamawang, sehingga kemudian menjadi tokoh Islam penting di
masa-masa awal perkembangannya di wilayah Amandit (Kandangan) tersebut.
Setelah
memeluk Islam dan menjadi ulamanya, Datu Hamawang kemudian memimpin pembangunan
mesjid Quba di kampung Hamawang. Mesjid ini sekarang sudah direnovasi total
dengan konstruksi beton, namun tetap mempertahankan karakteristik arsitektur
lokal. Menurut folklore yang beredar di Kandangan, Datu Hamawang ini juga
melakukan pembangunan Mesjid Jannatul Anwar di jantung Desa Lumpangi Kecamatan
Loksado yang semula dirintis oleh keluarga Habib Hasan bin Hasyim Assegaf Taniran.
Salah
satu turunan Datu Hamawang adalah Tumenggung Matlima yang juga seorang Panglima
pendukung Pangeran Antasari dalam perang di Tanah Dusun (Hulu Barito).
Tumenggung Matlima sekarang diabadikan sebagai nama jembatan Loklua (pasar
kandangan), eks jembatan baayun.
Menurut folklor yang
diperoleh, Datu Hamawang tidak diketahui makamnya karena menghilang seiring
pengejaran Belanda terhadap Pangeran Hidayatullah. Satu hal yang jelas, Datu
Hamawang menurunkan keturunan yang pada umumnya penduduk Kandangan dan
sekitarnya. Oleh karena itu, urang Kandangan memperingati jasa-jasa Datu
Hamawang dengan menggelar acara haulan yang lazimnya pada akhir Bulan Shafar
secara safari; maksudnya dilaksanakan pada lokasi yang berbeda-beda di setiap
tahunnya. Bahkan, pemrakarsanya tidak tanggung-tanggung, yaitu Ir. H.M. Said,
mantan Gubernur Kalsel yang asli urang Hamawang. Acara haul tahun 2011 digelar
di Pasar Lumpangi Kecamatan Loksado yang diperkirakan dihadiri tidak kurang
dari 1.000 undangan