1. Istana Mori, Morowali, Sulawesi Tengah
Istana Raja Mori terletak di atas bukit kurang lebih 25 m dari
permukaan laut dengan luas lokasi 960 m2. Istana ini terdiri dari
bangunan induk dan anak bangunan dibangun diatas pendasi beton ukuran
tinggi maksimum 1,17 m dan minimum 1,08 m dari muka tanah.Secara
administrasi rumah bekas Istana Raja Mori ini terletak di desa
Kolonedale Kecamatan Petasia Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi
Tengah.
Dari kajian-kajian yang bersumber dari peninggalan leluhur yang
didukung dengan kepustakaan yang ada, diketahui bahwa Kerajaan Wita Mori
adalah kerajaan persemakmuran yang terdiri dari gabungan
Kerajaan-Kerajaan/Wilayah Otonom yang mempunyai pimpinan
sendiri-sendiri. Walaupun demikian, bahasa, adat istiadat serta silsilah
Raja-Raja/Pemimpin yang pernah menduduki jabatan dapatlah diketahui
bahwa mereka berasal dari satu keturunan ratusan tahun yang silam.
Ikatan kekeluargaan ini yang merupakan pengikat solidaritas yang
mendorong lahirnya kerajaan persemakmuran untuk membangun secara
bersama-sama kesejahteraan dan pertahanan secara terpadu dalam
menghadapi perang antar suku (Mengayau) dan menghalau ekspansi Kolonial
Belanda yang mulai mencampuri urusan perdagangan di Teluk
Tomori (Peristiwa Towi, 1948).
Dari beberapa kajian pula, baik yang berbau mitologi maupun
cerita-cerita rakyat (folk tale), kisah Sawerigading yang turun temurun
di kalangan tua-tua Wita Mori, dapatlah dikatakan bahwa Kerajaan Wita
Mori merupakan pengembangan dari Kerajaan Luwu. Hal ini dipertegas lagi
dengan adanya Upeti yang harus dikirimkan setiap tahun kepada Datu
Luwu dari beberapa kerajaan Sulawesi Tengah bagian timur, antara lain
Kerajaan Bungku, Mori dan Banggai. Saat itu, Kerajaan Wita Mori dipimpin
oleh seorang Ratu bernama Wedange yang dibantu oleh Karua/Tadulako
bernama Kello dan berkedudukan di Wawontuko (Puncak Tongkat). Pada waktu
itu Raja Mori Wedange tidak mau menghadiri panggilan Datu Luwu untuk
bertemu di Uluanso sehubungan dengan keterlambatan pembayaran upeti dan
hanya menyampaikan pesan lewat Karua Kello bahwa “saya lebih baik
memilih mati”. Sejak saat itu, Kerajaan Luwu mulai menyerang Kerajaan
Mori yang dalam pertempuran sengit berhasil menaklukkan serta menawan
Raja Wedange dan keluarganya serta Karua Kello di Palopo.
Sejak saat itu Kerajaan Wita Mori mengalami kekosongan Pemimpin dalam
menghadapi serangan Pengayau sampai dengan tampilnya seorang tokoh
legendaris, seorang Tadulako dengan gelar Tandu
Rumba-Rumba bernama Rorahako. Rorahako mengumpulkan para Tadulako dari
setiap anak suku di Wita Mori untuk menghadap Datu Luwu dan memohon agar
Raja Wedange dibebaskan agar dapat kembali memimpin Kerajaan Wita Mori.
Permohonan itu direstui oleh Datu Luwu. Namun, Wedange yang pada saat
itu telah lanjut usia menunjuk anaknya Pangeran Anamba untuk menjadi
Raja dengan syarat Kerajaan Wita Mori tidak lagi berkedudukan di
Wawontuko, akan tetapi di suatu tempat yang lebih jauh ke pedalaman
yaitu satu tempat yang bernama Pa’antoule (Petasia).
Walaupun hanya kerajaan kecil namun tercatat pula sejarah yang
mengisahkan tentang peperangan kerajaan ini melawan Kolonial Belanda.
Perang melawan pemerintah Hindia Belanda pertama kali terjadi pada
tahun 1856 yang dikenal dengan Perang Mori Pertama (Perang Ensaondau)
yang dipimpin oleh Raja Tosaleko yang pada saat itu telah mulai dapat
menghimpun kekuatan setelah beberapa kali melakukan pembenahan dari
struktur pemerintahan sebelumnya yang dianggap kurang memuaskan dalam
mengurus kegiatan pemerintahan serta pertahanan keamanan kerajaan. Dalam
perang Ensaondau tersebut, Belanda berhasil merebut dan mengibarkan
benderanya di Benteng Ensaondau. Pasukan Belanda berhasil menduduki
Tompira dan Benteng Ensaondau, membakar permukiman di Patongoa dan
Wawontuko. Namun, ekspedisi pasukan Belanda ini dianggap kurang
memuaskan karena telah banyak menelan korban dari pasukan militer serta
mengeluarkan anggaran yang sangat besar, dan nyatanya Kerajaan Mori
tetap berjaya menjadi satu kerajaan merdeka dan berdaulat penuh.
Perang besar lainnya, yaitu Perang Mori Kedua (Perang Wulanderi) yang
dipimpin oleh Raja Marunduh (Datu ri Tana) pada bulan Agustus 1907.
Perang ini berakhir dengan kematian Raja Marunduh Datu ri Tana setelah
mendapat serangan dari pasukan Marsose di Benteng Wulanderi. Kematian
Raja Mori ini menimbulkan duka yang teramat dalam bagi rakyat Mori. Hal
ini menjadi titik terlemah bagi perjuangan rakyat Mori dalam
mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatannya. Rakyat Mori dirundung duka
dan berkabung sehingga sangat sulit untuk kembali membangkitkan
semangat untuk meneruskan perlawanan. Pada akhirnya atas kesepakatan
bersama para Mokole dan Tadulako, seluruh daerah pertahanan mengibarkan
bendera putih sebagai tanda pernyataan menyerah. Dengan demikian pasukan
ekspedisi Belanda menyataka bahwa seluruh wilayah Kerajaan Mori telah
berhasil ditaklukkan dan dikuasai pada 20 Agustus 1907.
Berdasarkan rekomendasi Bupati Poso Nomor 012/0152/DP tanggal 27 Mei
1997 tentang pemberian wewenang sepenuhnya Situs Istana Raja Mori kepada
DEPDIKBUD. Surat pernyataan putera ahli waris Awolu Marunduh dengan
ikhlas menyerahkan Istana Raja Mori ke Pemda Poso tanggal 5 September
1997.
2. Istana Banggai, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah
Kerajaan Banggai klasik telah ada dan dikenal sekitar abad ke 13 M
dengan nama Benggawi, di era kejayaan Kerajaan Mojopahit dibawah
pimpinan Prabu Hayam Wuruk (1351-1389), dimana kerajaan Banggai saat itu
telah menjadi bagian dari kerajaan Mojopahit, sebagaimana disebut pada
seuntai syair dalam buku Nagara kertagama karya Mpu Prapanca. Dalam
struktur Kerajaan Banggai klasik menurut Dr.Alb.C.Kruyt
dalam studinya De Vorsten van Banggai, Kerajaan Banggai kala itu
dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Adi yang tinggal di Linggabutun
yang terletak digunung Bolukan (sekarang Padang Laya) dan empat orang
yang merupakan suatu dewan penasehat bagi Adi dan diberi gelar Tomundo
Sangkap yang masing-masing mempunyai kekuasaan tertentu.Mereka inilah
sejatinya pendiri Kerajaan Banggai. Secara berturut-turut disebut empat
orang Adi yang memerintah sebelum Adi Lambal Polambal memerintah. Adi
Lambal Polambal menjadi raja terakhir fase Kerajaan Banggai klasik.
Selama ia memerintah sering terjadi perselisihan antar saudara di antara
empat raja kecil (tomundo Sangkap) yang merupakan dewan penasehat bagi
Adi, yang sukar untuk didamaikan oleh Adi Lambal Polambal.
Pada masa pemerintahan Adi Lambal Polambal inilah muncul seorang
bangsawan dari tanah Jawa yang merupakan panglima perang Sultan
Baabullah dari Kerajaan Ternate bernama Adi Cokro alias Adi Soko. Adi
Cokro kemudian hadir sebagai sosok pembawa kedamaian atas gejolak
internal Kerajaan Banggai, sehingga karena kebijaksanaannya, Adi Lambal
dan keempat tomundo tersebut menawarkan pemerintahan kepadanya. Karena
identitasnya sebagai sebagai seorang panglima perang Kesultanan Ternate
inilah yang kemudian melegitimasi kerajaan Banggai sebagai bagian dari
taklukan Kesultanan Ternate, meskipun Adi Cokro hadir tidak dengan cara
konfrontasi militer melainkan menjalankan misi penyebaran agama islam.
Adi Cokro kemudian naik tahta menjadi raja Banggai dengan gelar Mbumbu,
sejak itulah gelar adi menghilang digantikan dengan mbumbu.
Masa Adi Cokro memimpin disinalah menjadi fase awal peradaban
Kerajaan Banggai moderen, ia kemudian dianggap sebagai pendiri Kerajaan
Banggai moderen setelah beliau sukses memperluas wilayah Kerajaan
Banggai (klasik) yang sebelumnya hanya meliputi wilayah Pulau Banggai
saja menjadi kerajaan utama (primus inter pares) dari beberapa kerajaan
yang ada dengan menundukan kerajaan – kerajaan di Pulau Peling seperti
Kerajaan Tokolong (Buko), Lipu Babasal (Bulagi), Sisipan, Liputomundo,
Kadupang dan Kerajaan Bongganan, hingga sampai ke jazirah timur daratan
Sulawesi dengan menaklukan Kerajaan Tompotika, Bola, Lowa, dan Kerajaan
Gori-gori yang kemudian disebut wilayah Banggai darat (sekarang
Kab.Banggai). Ia kemudian mengatur pemerintahan atas daerah-daerah
kekuasaannya serta membawa masuk agama islam di seluruh wilayah
kekuasaan kerajaan Banggai. Pulau Banggai tetap dijadikan pusat
pemerintahannya, sementara itu Adi yang terakhir yaitu Adi Lambal
Polambal diangkat kembali sebagai pelaksana pemerintahannya dengan
memberi kepadanya jabatan Jogugu, sedangkan dewan penasehat, yaitu
keempat raja (tomundo) kecil juga mendapat gelar kehormatan Pau Basal /
Basalo yang lebih rendah dari tomundo.
Sebutan Pau Basal yang dalam bahasa berarti “anak besar” dianggap
sebagai satu gelar kehormatan, karena membentuk suatu hubungan antara
bapak-anak antara Mbumbu dengan keempat Pau Basal itu, daerah kekuasaan
mereka ditentukan kembali dari gunung Bolukan dimana sang raja membangun
sebuah istana untuk salah seorang istrinya. Tetapi dalam pembagian
daerah itu diatur sedemikian rupa sama seperti para bapak leluhurnya,
yakni para Tomundo. Keempat Pau Basal sangat dihormati oleh Mbumbu dan
para penerusnya, mereka merupakan suatu dewan penasehat, yang
pengaruhnya sama luasnya dengan kekuasaan Mbumbu.
Karena suatu hal, Adi Cokro kembali ke tanah Jawa, akibatnya kerajaan
Banggai mulai mengalami kekacauan dan kevakuman pemerintahan yang cukup
panjang. Dalam desertase Banggaische Adatrecht oleh Dr.JJ.Dormeier
disebutkan bahwa pasca Adi Cokro, ada delapan orang Mbumbu
berturut-turut yang memerintah Kerajaan Banggai. Tiga diantaranya
tercatat sebagai Mbumbu dinaadat atau raja yang dibunuh. Krisis panjang
ini baru berarkhir setelah putera Adi Cokro, Maulana Prins Mandapar
memerintah. Setelah ayahnya, Mandapar kemudian dianggap sebagai Raja
Banggai pertama dan yang terbesar, ia kembali menegakkan kekuasaannya di
seluruh wilayah kekuasaan Kerajaan Banggai, mulai dari Pulau Sonit
sampai ke Balingara dan dari Rata sampai ke Teluk Tomini serta
mendirikan suatu pemerintahan pusat di Banggai.
Adapun mengenai status dan posisi Syukuran Aminudin Amir dalam
sejarah Kerajaan Banggai bukanlah Tomundo yang terlegitimasi secara utuh
dan sah oleh tata aturan hukum formil kerajaan Banggai, melainkan hanya
sekedar sebagai Pelaksana tugas harian Tomundo Banggai tatkala Tomundo
Banggai Nurdin Daud yang yang baru berusia 12 tahun dikukuhkan oleh
Basalo Sangkap pada tahun 1939 pasca mangkatnya Tomundo Awaludin sebagai
tomundo Banggai ke 19. Namun karena mengingat usia raja Nurdin Daud
yang terlalu belia untuk melaksanakan tugas kerajaan maka ditunjuklah
S.A.Amir yang saat itu menjabat sebagai Mayor Ngofa sebagai pelaksana
tugas (Plt). Namun kemudian amanat itu dibajak dengan mengukuhkan diri
sebagai Tomundo yang legal meskipun tanpa restu dan tidak melalui
pengukuhan oleh Basalo Sangkap sebagaimana ketentuan konstitusi kerajaan
Banggai.
Belum cukup sampai disitu pada tahun 1941 rekayasa sejarah Kerajaan
Banggai itupun dimulai, setelah mengukuhkan dirinya sebagai Tomundo.
Mengingat posisinya di dalam keraton kerajaan Banggai di Banggai yang
tanpa legitimasi konstitusional sehingga tidak mendapat pengakuan dari
Dewan Basalo Sangkap kala itu, maka atas dukungan kerjasamanya dengan
Belanda yang berada di Luwuk, S.A. Amir kemudian dengan berani
memindahkan ibu kota kerajaan Banggai ke Luwuk meskipun tanpa izin dan
restu dari raja muda Nurdin Daud dan Dewan Penasehat Basalo Sangkap. Ia
kemudian menyebut dan menamakan suatu tempat yang berlokasi di dalam
kota Luwuk dengan nama Keraton. Rekayasa ini seakan-akan bahwa kerajaan
Banggai benar-benar telah mempunyai bangunan keraton sendiri di kota
Luwuk sebagai pusat pemerintahan kerajaan Banggai yang baru.
Akhir periode Batomundoan Banggai atau Kerajaan Banggai adalah ketika
terjadi peralihan status wilayah Banggai dari sistem swapraja Banggai
menjadi daerah tingkat II (Dati II) Banggai.
3. Istana Datu Luwu, Palopo, Sulawesi Selatan
Istana yang berlokasi di tengah Kota Palopo ini merupakan pusat
Kerajaan Luwu. Istana ini dibangun oleh Pemerintah Kolonial
Belanda sekitar tahun 1920-an di atas tanah bekas “Saoraja” (Istana
sebelumnya yang terbuat dari kayu dan konon bertiang 88 buah) yang
diratakan dengan tanah oleh Pemerintah Belanda.
Bangunan permanen ini dibangun dengan arsitektur Eropa oleh
Pemerintah Kolonial Belanda dengan maksud untuk mengambil hati Penguasa
Kerajaan Luwu. Namun oleh kebanyakan bangsawan Luwu, tindakan ini
dianggap sebagai cara untuk menghilangkan jejak sejarah Kerajaan Luwu
sebagai Kerajaan yang dihormati dan disegani kerajaan-kerajaan lain di
jazirah Sulawesi secara khusus dan Nusantara secara umum.
Istana Luwu menjadi pusat pengendalian wilayah Kesultanan Luwu yang
luas oleh Penguasa Kerajaan yang bergelar Datu dan atau Pajung (Di
Kerajaan Luwu terdapat 2 strata Penguasa/Raja yaitu Datu, kemudian di
tingkat lebih tinggi Pajung). Di dekat Istana Luwu terdapat Masjid Jami
yang usianya sangat tua dan keseluruhan dindingnya terbuat oleh batu
yang disusun.
4. Saoraja Petta Ponggawae, Bone, Sulawesi Selatan
Sejarah mencatat bahwa Bone merupakan salah satu kerajaan besar di
Nusantara pada masa lalu. Kerajaan ini didirikan oleh Manurungnge Ri
Matajang pada tahun 1330 dengan gelar Mata Silompo’e.
Kerajaan Bone mencapai puncak kejayaannya pada pertengahan abad ke-17
di masa pemerintahan Latenritatta Towappatunru Daeng Serang Datu Mario
Riwawo Aru Palakka Malampee Gemmekna Petta Torisompae Matinroeri
Bontoala.
5. Saoraja Mallangga, Wajo, Sulawesi Selatan
Wajo merupakan salah satu daerah yang pernah dipimpin oleh kerajaan.
Berbagai tradisi kerajaan pun masih dipertahankan hingga kini. Salah
satunya adalah pencucian benda pusaka peninggalan kerajaan. Benda pusaka
peninggalan kerajaan tersebut disimpan di Saoraja atau rumah raja
(istana). Salah satu Saoraja yang dijadikan museum di kabupaten berjuluk
Bumi Lamaddukelleng ini, yakni Saoraja Mallangga museum simettengpola.
Arsitektur Saoraja Mallangga cukup unik, bangunan berlantai dua
ini merupakan perpaduan bangunan rumah khas bugis atau rumah panggung
dengan bangunan khas Belanda. Saoraja ini dibangun sekitar tahun 1930,
pada era kerajaan Ranreng Bettengpola ke-26, Datu Makkaraka yang juga
dikenal sebagai ahli lontara.
Pembangunannya membutuhkan waktu sekitar 2 tahun lebih. Sebagai
bangunan peninggalan sejarah, Saoraja Mallangga kemudian diusulkan
menjadi museum pada tahun 1993, dan diresmikan oleh Gubernur Sulsel, HM
Amin Syam sebagai museum pada tahun 2004.
Bangunan ini memiliki filosofi yang menggambarkan kedekatan seorang
raja dengan rakyatnya. Hal itu dibuktikan dengan tidak diperkenankannya
ada pagar pembatas bangunan ini, tidak boleh menampilkan kemegahan atau
terlalu besar, dan tidak boleh tinggi serta pintu harus selalu terbuka
lebar. Bentuk bangunannya pun secara umum masih dipertahankan seperti
pada awal didirikannya, hanya bagian atapnya yang telah 7 kali diganti.
Saat ini, Saoraja tersebut dihuni oleh salah seorang putra Datu
Makkaraka, yakni H Datu Sangkuru yang bergelar Ranreng Bettengpola ke-27
bersama beberapa orang anaknya. Salah seorang putri Datu Sangkuru yang
juga staf di Disporabudpar Wajo, Andi Cidda Minasa mengatakan, alasan
awal Saoraja ini dijadikan museum karena khawatir peninggalan sejarah
arung bettengpola musnah, sehingga Saoraja ini dijadikan museum untuk
melestarikan barang-barang peninggalan kerajaan terdahulu.
Kini di Museum ini sering pula dimanfaatkan sebagai tempat untuk
pagelaran seni tradisional Wajo, seperti Massure yaitu seni yang
bercerita dalam bahasa bugis lontara dan diiringi musik tradisional.
Berbagai barang-barang peninggalan Arung Bettengpola yang dipajang di
museum ini, seperti peralatan upacara adat, peralatan dapur, keramik
antik, Serta berbagai jenis keris dan tombak.
6. Saoraja La Pinceng, Barru, Sulawesi Selatan
Saoraja La Pinceng merupakan salah satu rumah atau istana peninggalan
kerajaan Balusu. Istana ini menjadi salah satu saksi perjuangan
Kerajaan Balusu melawan penjajahan Belanda.
Awal mula kerajaan Balusu diperintah keturunan raja-raja Gowa. Namun
ketika rakyat Balusu sudah tidak sudi lagi diperintah keturunan
raja-raja Gowa, maka ketua adat kerajaan Balusu memohon kepada kerajaan
Soppeng (Datu Soppeng). Permohonan ini untuk memberikan atau
memperkenankan keturunan Datu Soppeng untuk menjadi raja Balusu. Namun
semua anak laki-laki Datu Soppeng sudah memangku jabatan, maka diutuslah
anak perempuannya, Tenri Kaware untuk menjadi Ratu Balusu.
Setelah Tenri Kaware memerintah kerajaan Balusu beberapa tahun,
kemudian digantikan oleh puteranya, Andi Muhammad Saleh. Dalam masa
pemerintahan Andi Muhammad Saleh, kerajaan Balusu dalam keadaan aman dan
sentosa. Selain itu, kehidupan rakyat penuh kesehjahteraan dan hasil
pertanian melimpah ruah. Raja ini terkenal sangat saleh dan berani,
sehingga kemudian digelar dengan nama Andi Muhammad Saleh Daeng Parani
Arung Balusu.
Atas jasa-jasanya dalam mempertahankan kerajaan Soppeng dari
kehancuran atas serangan yang dilancarkan gabungan kerajaan Wajo dan
Sidenreng (Musu Belo atau Perang Belo), dia diberi gelar ‘Petta Sulle
Datue’. Gelar ini juga memberikan kesempatan kepada Andi Muhammad Saleh
untuk menggantikan Datu Soppeng jika berhalangan dan diserahi tugas dan
tanggung jawab sebagai panglima perang di bagian barat kerajaan Soppeng.
Dalam masa pemerintahannya, Andi Muhammad Saleh memindahkan pusat
kerajaan dari Balusu ke Lapasu dan markas pertahanannya di Bulu Dua. Di
Bulu Dua ini didirikan Saoraja Lamacan yang terkenal penuh dengan
ukiran.
Saoraja La Pinceng sendiri dibuat pada tahun 1895 terletak di Dusun
Lapasu atau Bulu Dua Kabupaten Barru. Ukuran Ale Bola atau bangunan
rumah induk berukuran kurang lebih 23,50 x 11 meter. Jumlah tiang
Saoraja La Pinceng sebanyak 35 buah dengan panjang sekitar 6,50 meter,
dan lebar sekitar 5,50 meter. Selain itu, juga terdapat sembilan buah
tiang dengan ukuran 3 x 3 meter. Selain itu, di dalam lokasi Saoraja La
Pinceng terdapat pula beberapa bangunan antara lain, rumah jaga,
panggung pementasan, kamar mandi dan sumur. Luas lokasi secara
keseluruhan sekitar 4.000 meter persegi.
7. Istana Balla Lompoa, Gowa, Sulawesi Selatan
Istana Tamalate dan Balla Lompoa adalah sisa-sisa Istana Kerajaan
Gowa yang sekarang berfungsi sebagai museum. Di dalamnya terdapat
berbagai harta pusaka peninggalan Kerajaan Gowa pada zaman keemasannya.
Istana Tamalate dan Balla Lompoa terletak bersebelahan dalam satu
kompleks di Sungguminasa, Gowa. Jarak lokasi ini sekitar 15 kilometer
sebelah selatan pusat Kota Makassar.
Bangunan ini sama-sama berbentuk rumah panggung. Warnanya coklat
tua, seluruhnya terbuat dari kayu ulin atau kayu besi. Tampak jelas usia
bangunan ini tak lagi muda. Luas komplek adalah 1 hektare dan
dikelilingi tembok tinggi.
Bangunan Istana Tamalate yang lebih besar dari Balla Lompoa adalah
istana pertama Kerajaan Gowa sebelum kota raja dipindahkan ke dalam
Benteng Somba Opu. Tapi Istana Tamalate yang sekarang berdiri di
kompleks tersebut sebenarnya bukan bangunan istana yang asli karena yang
asli sudah punah terkubur masa.
Istana replika ini dibangun pada saat Syahrul Yasin Limpo menjadi
Bupati Gowa tahun 1980-an. Bahan dan ukurannya disesuaikan dengan
aslinya berdasarkan kajian terhadap sejumlah naskah Makassar kuno
(lontara) yang menceritakan tentang Istana Tamalate.
Sementara Balla Lompoa adalah istana asli Kerajaan Gowa yang
didirikan pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-31, I Mangngi-mangngi
Daeng Matutu, pada tahun 1936. Balla Lompoa dalam bahasa Makassar
berarti rumah besar atau rumah kebesaran. Fungsi Balla Lompoa adalah
museum yang menyimpan simbol-simbol kerajaan, seperti mahkota, senjata,
payung raja, pakaian, bendera kebesaran, serta barang-barang lainnya
termasuk sejumlah naskah lontara.
Bangunan istana merupakan gabungan dari bangunan-bangunan utama dan
pendukung yang saling terhubung. Bangunan dihubungkan dengan sebuah
tangga setinggi lebih dari dua meter. Bagian depan bangunan adalah
teras, lalu masuk ke ruang utama, dan ruang-ruang lainnya seperti kamar
tidur yang pernah digunakan oleh raja.
8. Istana Malige, Baubau, Sulawesi Tenggara
Istana Sultan Buton (disebut Kamali atau Malige) meskipun didirikan
hanya dengan saling mengait, tanpa tali pengikat ataupun paku, dapat
berdiri dengan kokoh dan megah di atas sandi yang menjadi landasan
dasarnya. Rumah adat Buton atau Buton merupakan bangunan di atas tiang,
dan seluruhnya dari bahan kayu. Bangunannya terdiri dari empat tingkat
atau empat lantai.
Ruang lantai pertama lebih luas dari lantai kedua. Sedangkan lantai
keempat lebih besar dari lantai ketiga, jadi makin ke atas makin kecil
atau sempit ruangannya, tapi di lantai keempat sedikit lebih melebar.
Seluruh bangunan tanpa memakai paku dalam pembuatannya, melainkan
memakai pasak atau paku kayu. Tiang-tiang depan terdiri dari 5 buah yang
berjajar ke belakang sampai delapan deret, hingga jumlah seluruhnya
adalah 40 buah tiang.
Pada bangunan Malige terdapat 2 macam hiasan, yaitu ukiran naga yang
terdapat di atas bubungan rumah, serta ukiran buah nenas yang tergantung
pada papan lis atap, dan di bawah kamar-kamar sisi depan. Adapun kedua
hiasan tersebut mengandung makna yang sangat dalam, yakni ukiran naga
merupakan lambang kebesaran kerajaan Buton. Sedangkan ukiran buah nenas,
dalam tangkai nenas itu hanya tumbuh sebuah nenas saja, melambangkan
bahwa hanya ada satu Sultan di dalam kerajaan Buton. Bunga nenas
bermahkota, berarti bahwa yang berhak untuk dipayungi dengan payung
kerajaan hanya Sultan Buton saja. Nenas merupakan buah berbiji, tetapi
bibit nenas tidak tumbuh dari bibit itu, melainkan dari rumpunya timbul
tunas baru. Ini berarti bahwa kesultanan Buton bukan sebagai pusaka anak
beranak yang dapat diwariskan kepada anaknya sendiri. Falsafah nenas
ini dilambangkan sebagai kesultanan Buton, dan Malige Buton mirip rongga
manusia,,,,