Upacara Bapalas atau lebih dikenal aruh oleh Suku Dayak
dilakukan usai panen tiba. Upacara ini dilakukan sebagai ungkapan rasa
sukur yang telah diberikan kepada sang pencipta alam semesta kepada
petani di desa. Selain itu juga, upacara ini digelar sebagai acara
tolak bala terhadap roh-roh jahat yang diyakini bisa mendatangkan
bencana pada diri petani, tanaman petani dan desanya.
Upacara Bapalas yang dilakukan oleh Dayak Meratus yang ada di
Desa Batung, Kecamatan Piani. Ritual upacaranya sendiri digelar
sebagai aruh kecil yang dilangsung selama 7 hari 7 malam berturut-turut
di Balai Desa Batung yang baru saja direhab.
Menurut keterangan Penghulu Adat Desa Batung, Uhil yang
memimpin jalannya upacara adat ini mengatakan kalau dialah yang akan
memimpin upacara adat ini. Seminggu sebelum pelaksanaan aruh ini warga
Dayak yang tersebar di Kabupaten Tapin sudah diundang untuk menghadiri
upacara ini.
Diantara undangan yang hadir terdapat warga Dayak Harakit,
Pipitak Jaya, Belawaian dan Bagandah. “Hari pertama dari rangkaian
upacara ini dilaksanakannya dilakukan pembuatan kalangkang mantit dan
langgatan yang akan dipergunakan dalam prosesi upacara ini. Baru pada
hari kedua dimulailan prosesi upacaranya hingga hari keenam. Seadngkan
hari ketujuh disebut sebagai harri pamali di mana seluruh masyarakat
desa melakukan pemantang pergi ke ladang, menyalakan api, juga tidak
boleh ada satu orangpun warga desa yang meninggalkan desanya pada hari
tersebut. Apabila hal ini dilanggar diyakini akan timbul bencana,
kematian, atau tertular suatu penyakit yang akan diderita oleh warga di
desa,” ujarnya.
Secara panjang lebar, Uhil menjelaskan prosesi upacara
bapalas ini. Dimulai dari membuat kerangka langgatan yang akan
dipergunakan sebagai persembahan kepada sang pencipta. Langgatan yang
digantung di tengah-tengah arena dibuat terlebih dahulu rangkanya dari
kayu. Baru pada keesokan harinya langgatan tadi diberi pakaian dari
pucuk enau yang dibuat bermacam-macam hiasan untuk menutupi rangka
langgatan hingga seluruh tubuhnya tertutup daun enau.
Langgatan ini terdiri dari dua tingkat, lantai pertama diisi
dengan bakul atau disebut tumbu yang dianyam oleh orang yang ingin
mempersembahkan padinya kepada Bhatara yang di atas. Warna tumbu ini
beragam, ada yang berwarna kuning atau merah. “Pada upacara kali ini
ada sebanyak 38 bakul yang akan dipersembanhkan dan disusun di lantai
satu langgatan,” ujarnya.
Sedangkan di lantai kedua, diletakkan berbagai aneka kue khas
Dayak seperti lamang, lakatan habang, hirang, putih, yang akan
dipersembahkan pada orang-orang keramat. Langgatan yang dibuat, pada
bagian atasnya terdiri dari panji atau kepala langgatan yang terdiri
dari kain warna merah dan putih, sebagai pertanda menyembah kepada
Tuhan. Kepala langgatan ini dibentuk menyilang dan mengarah ke atas
sebagai tanda persembahan warga desa kepada sang pencipta.
Sementara itu, di tanah atau dibagian belakang balai
didirikan kalangakang mantit yang dipergunakan sebagai persembahan dan
awal dimulainya upacara bapalas ini. Tidak ketinggalan di 4 tiang yang
ada di ruangan balai juga dibuat kalangkang mantit. Upacara bapalas
kali ini dilaksanakan oleh penghulu adat, damang dan wakil penghulu
sebanyak 11 orang yang akan memimpin upacara ini.
“Ada penghulu dan damang dari 5 desa yang hadir pada upacara
kali ini, yakni dari Desa Harakit, Mancabung, Batung, Belawaian, dan
Bagandah. Jumlahnya ada 11 orang balian yang akan memimpin upacara
ini,” ujarnya.
Upacara bapalas di Balai Desa Batung ini dihadiri tak kurang
dari 500 orang suka Dayak Tapin yang mendiami pengunungan Meratus.
Mulai dari bayi umur 20 hari hingga orang dewasa berumur 80 tahun pun
datang ke desa ini untuk mengikuti upacara bapalas ini. Semakin malam
semakin ramai suasana balai. Upacara bapalas Dayak Tapin dihadiri oleh
tua muda sebagai ungkapan rasa syukur, juga sebagai upacara tolak bala
atau buang randu, buang jahat yang diyakini mereka. Upacara dipimpin
oleh Penghulu Adat dalam 5 hari aruh berlangsung.
Menurut penghulu Adat, Uhil rangkaian upacara aruh Adat Tapin
ini dimulai dari malam pertama membuat kalangakang mantit, yakni 11
orang balian yang dilengkapi dengan kostum memakai kain, tapih, lahung,
dan gelang hiang di tangan. Kesebelas balian yang sudah berpakaian
lengkap ini turun ke tanah dan berdiri di kalangkang mantit di mana
penghulu membacakan mantra-mantra, setelah itu dihamburkan baras kuning
sebagai tanda di mulainya upacara babalian ini.
Selanjutnya, bapincuk, di mana balian semuanya naik ke dalam
balai dan membuka lawang dewata dilanjutkan dengan bapanaikan.
Rangkaian keenam adalah menggantung tali rimbunan yang diikat dengan
rotan di langgatan. Mawagang tatak keberikutnya, yakni tali pengikat
yang terbuat dari rotan dipotong oleh balian.
Selama upacara berlangsung, kesebelas balian ini didampingi
oleh pinjulang yang bertindak sebagai juru bicara perwakilan dari
masyarakat. Pinjulang ini harus orang terdekat dari balian, bisa saja
isterti balian, atau saudara maupun saudara dekatnya. Pada prosesi
bakaribut kawalu, balian memutar langgatan sesuai dengan arah mata
angin agar angin jahat yang akan datang ke desa ini tidak jadi datang
ke kampung. “Angin jahat ini bisa membuat warga sakit, bahkan meninggal
dunia. Prosesi ini diperlambangkan agar seluruh warga di kampung akan
selamat semuanya. Mungkin kalau orang bilang bagian ini disebut sebagai
penolak bala,” jelasnya.
Sebelum upacara di hari kedua berakhir, diadakan upacara
mangarungan yakni mengobati atau menambai orang sakit yang dilakukan
oleh balian. Pada saat upacara berlangsung, masing-masing balian
mengobati pasiennya. Ada pasien yang sakit kakinya dan ada juga yang
sakit menyamak langsung diobati dengan mantra-mantra yang diyakini bisa
menyembuhkan orang yang sakit.
Selanjutnya dilakukan bahantu, yakni membaca mantra dalam
bahasa dayak yang diyakini agar desa ini terhindar dari penyakit yang
akan menimpa desa ini. Baik itu penyakit yang datang dari laut, darat,
agar tidak masuk ke kampung dan dikasi wadai supaya hantu jahat tidak
datang ke kampung dan mendatangkan penyakit bagi mereka.
Sebeagai prosesi terakhir dari upacara balian malam kedua ini
dilangsungkan ajang badangsai, di mana tua, muda, dan anak-anak turun
ke tengah langgatan untuk bedangsai atau batandik, menari dengan kaki
dan tangan dihentakkan ke lantai diiringi suara serunai dan babun.
Untuk laki-laki, bedangsainya dilakukan sesama laki-laki
dengan irama yang rancak, sedangkan untuk perempuan dengan irama yang
agak lamban. Para perempuan yang turun bedangsai mengenakan sarung dan
menari dengan gerakan lemah gemulai. Semakin malam beranjak turun,
semakin ramai orang yang turun bedangsai. Bedangsai ini usai ketika
ayam berkokok dan seluruh warga pun serentak berhenti dan kembali ke
rumah masing-masing. Namun yang rumahnya jauh, memilih tidur di balai
yang memiliki kamar yang banyak.....