A. Historiografi tradisional, memiliki kecenderungan umum yakni :
1. Mencari keterangan di
luar sejarah.
2. Sebab akibat
hakiki tidaklah terletak pada rangkaian peristiwa-peristiwa sejarah.
3. Suasana
religio-magis lebih menonjol dalam karya-karya historiografi tradisional.
4. Kadar kepercayaan
terhadap historoigrafi tradisional lebih banyak ditentukan oleh penghayatan
cultural pembaca.
5. Historiografi
sejarah lebih tepatnya disebut sastra sejarah.
6. Historiografi
tradisional dan oral tradisional mempunyai kecenderungan yang sama.
B. Sejarah Berdirinya Negara Dipa
Sejarah berdirinya negara
Dipa diawali dengan adanya pelayaran yang dilakukan oleh Empu Jatmika. Mereka
adalah saudagar dari negeri Keling. Pelayaran ini dilatarbelakangi wasiat ayah
Empu Jatmika, yakni Mangku Bumi. Amanat Mangku Bumi antara lain adalah agar
anak-anaknya pergi keluar negeri dan mencari sebuah negeri yang bertanah panas
dan berbau harum untuk ditinggali setelah dia meninggal, karena di Keling sudah
banyak orang-orang yang berhati iri dan dengki.
Setelah ayahnya
meninggal, Empu Jatmika memerintahkan kepada hulubalang Arya Magatsari dan
Tumenggung Tatah Jiwa beserta kepala jabatan perdagangana Wiramartas yang
merupakan orang yang menguasai banyak bahasa dan terkenal kehebatannya sebagai
nahkoda untuk ikut dalam pelayarannya. Kapal yang digunakan adalah kapal
Prabayaksa. Alhasil sampailah mereka pada daerah yang panas dan berbau harum
yang bernama Pulau Hujung Tanah. Di situlah Empu Jatmika mendirikan kerajaan
baru bernama Negara Dipa/Dipateh yang artinya negeri seberang tanah. Empu
Jatmika sendiri bergelar Maharaja di Candi. Dibangunlah Candi Agung.
Empu Jatmika memiliki 2
orang anak dari hasil perkawinanya dengan Sira Manguntur, yakni Empu Mandastana
dan Lembu Mangkurat (Lambung Mangkurat). Karena masyarakat sekitar Candi
percaya barangsiapa yang menjadi raja sedangkan dia bukanlah dari golongan
raja, maka akan mendatangkan marabahaya. Maka Empu Jatmika yang bukan keturunan
raja, melainkan hanya seorang saudagar yang kaya raya menyadari harus mencari
raja yang sebenarnya. Oleh sebab itu, sebelum dia mangkat, dia memerintahkan
kepada kedua orang putranya untuk mencari raja sesungguhnya dengan jalan
bertapa. Empu Mandastana diperintahkan agar bertapa di gunung, di dalam goa
atau di pohon besar, sedangkan Lambung Mangkurat bertapa di pusar air di atas
rakit batang pisang di daerah Ulu Banyu atau yang sekarang dikenal dengan nama
Nagara.
Perintah dijalankan
setelah Empu Jatmika wafat. Lambung Mangkurat bertapa selama 40 hari 40 malam
di daerah Ulu Banyu dan pada malam terakhir pertapaannya, terdengarlah suara
merdu dari dalam air yang mengisyaratkan agar Lambung Mangkurat menyediakan 40
jenis kue dan makanan beserta iring-iringan dayang yang berpakaian serba
kuning. Selain itu Junjung Buih meminta untuk dibuatkan Mahligai yang dikenal
dengan nama mahligai Puteri Junjung Buih yang tiang-tiangnya terbuat dari
Batung Batulis, serta kain pamintan yang asal katanya adalah kain parmintaan
(sasirangan) yang dibuatkan oleh 40 dara. Setelah permintaan Junjung Buih
dikabulkan, maka keluarlah buih yang besar dan bercahaya. Dari sana keluar
seorang puteri cantik jelita bernama Puteri Junjung Buih, raja Negara Dipa.
Lambung Mangkurat menjadi
Mangkubumi Kerajaan Dipa merasa berkewajiban mencarikan suami yang pantas untuk
Puteri Junjung Buih yang terkenal sakti. Maka bermimpilah Lambung Mangkurat.
Dalam mimpinya dia bermimpi ayahnya, Empu Jatmika memberi petunjuk agar
mencarikan calon suami raja di seberang lautan, yakni Kerajaan Majapahit. Maka
diutuslah seorang pengawal ke Majapahit. Sesampainya di sana, Maha Patih Majapahit
mengatakan dia memiliki anak tapi tidak sempurna fisiknya. Orang-orang
menyebutnya Raja Bulat Bualing. Namun, demi menjalankan perintah, Raja Bulat
Bualing tetap dibawa ke Negara Dipa.
Sesampainya di Muara
Banjar, Puteri Junjung mendapat kabar bahwa calon suaminya hampir tiba di
kerajaannya. Karena sang Puteri menginginkan calon suami yang sakti yang tidak
kalah saktinya dengan dirinya, maka Puteri Junjung Buih mengutus Naga untuk
menghalau air agar kapal rombongan Raja Bulat Bulaling kandas. Dalam
kebingungan para pengawal istana, maka Raja Bulai Bulaling memerintahkan agar
melemparkan dirinya ke dalam air agar dirinya dapat membunuh naga. Pengawalpun
menuruti perintahnya. Selama berhari-hari Raja Bulat Bulaling di dalam air.
Konon waktu itu turun bidadari dari langit yang berdoa atas keselamatan Raja
Bulat Bulaling dengan cara menari. Tarian ini dikenal dengan tarian Baksa
Kambang.
Akhirnya di dalam air
muncul seorang laki-laki yang gagah perkasa. Dia adalah Raja Bulat Bulaling
yang telah berubah wujudnya. Dia dikenal dengan nama Suryanata (Raja Matahari).
Puteri Junjung Buih mengakui kesaktian Suryanata dan bersedia menjadi isteri.
C. Interpretasi Cerita
Dari cerita ini dapat di
interpretasikan fakta dibalik historiografi tradisional ini, yakni :
1. Tokoh Lambung Magkurat
sebagai King Maker.
2. Dalam Silsilah 2 alam,
atau ditinjau dari nama tokoh Puteri Junjung Buih dan Pangeran Suryanata, dapat
dibagi menjadi alam bawah dan alam atas. Alam bawah nota bane-nya adalah alam
perempuan yang biasa dilambangkan dengan symbol Tambon, Naga/ular sakti,
Jata/biwata. Alam atas nota bane-nya adalah alam laki-laki yang biasa
dilambangkan dengan symbol burung Tinggeng / binai/ enggang dalam mitologi
dayak, Raja Tongtong Matandau/ penjuru matahari dan sebagainya. Pangeran
Suryanata sebagai putera yang didapat dari langit hasil pertapaan Raja
Majapahit menjadi unsur kepercayaan alam atas, sedangkan Puteri Junjung Buih
yang keluar dari buih adalah hasil tapa dari air menjadi unsur alam bawah.
3. Sejarah ini bukan terletak
pada cerita putri junjung buih, melainkan pada masyarakat Banjar yang
mempercayainya. Tampaknya kisah Putri Junjung Buih ini, memberikan kekuatan
legitimasi bagi bangsawan Banjar dalam memegang kekuasaan politik. Dari kisah
Pendirian Kerajaan Banjar di (Candi) Amuntai, Mpu Jatmika tidak diperkenankan
menjadi Raja sebab dia merupakan seorang Pedagang. Untuk menjaga kelangsungan
kerajaan yang baru di bangunnya, maka dibutuhkan legalitas seperti yang
dilakukan raja-raja Jawa dengan Ratu Laut Selatan (Nyi Roro Kidul). Pertemuan
alam bawah dan alam atas menunjukkan keharmonisan dua dunia. Sehingga
keturunannya bukanlah kalangan rakyat biasa, tetapi mereka yang “luar biasa”,
mereka yang memiliki tingkatan lebih tinggi. Pembedaan stratifikasi secara
vertikal ini melahirkan golongan yang memiliki eksklusifitas dalam politik
untuk memerintah rakyat.
4. Dari cerita ini juga
menunjukkan bahwa seorang Raja hanya merupakan sebuah simbol. Tampuk
pemerintahan di pegang oleh Lambung Mangkurat yang nota banenya adalah pewaris
kerajaan Banjar (pada periode Dipa) dari Mpu Jatmika sebagai Mangku Bumi
(perdana mentri). Hal ini penting sebagai penjelasan terhadap ekstensi dan
legalitas kekuasaan yang diakui oleh orang-orang yang dipimpinnya.
5. Asal
rajakula yang legendaris diwakili oleh sosok Putri Junjung Buih dan Pangeran
Suryanata....
Makasih infonya
BalasHapus