Konon dikisahkan, di tengah riam itu ada sebuah kampung kecil. Di kampung itu hanya ada sebuah rumah betang (rumah keluarga yang luas) dan lima buah rumah biasa. Pemimpin kampung itu seorang pemuda yang gagah berani bernama Mangkikit. Walaupun masih tergolong muda, Mangkikit disegani orang. Sifatnya yang agak pendiam, jujur, berani karena benar, membuatnya lebih berwibawa.
Sementara Istrinya yang bernama Nyai Endas adalah seorang perempuan yang sangat cantik. Kecantikan Nyai Endas telah terkenal ke seluruh daerah. Banyak pemuda yang sengaja bermalam di betang dengan maksud sekedar ingin menyaksikan kecantikan Nyai Endas. Lebih-lebih, hampir sepuluh tahun perkawinannya dengan Mangkikit belum juga dikarunai putra. Walaupun demikian, keduanya tetap hidup bahagia, aman, dan damai.
Sudah menjadi kebiasaan setiap hari pagi-poagi sekali Mangkikit akan pergi berburu. Senjata beserta anaknya sejak sore kemarin sudah dipersiapkannya. Seperti biasa, jika merencanakan suatu perjalanan, Mangkikit selalu bangun pagi. Ia menyiapkan makanan dan penginangan (yakni sirih berkapur dengan pinang yang sudah dibelah) untuk bekalnya.
Mangkikit sebelum berangkat, ia berpesan kepada istrinya agar baik-baik tinggal di rumah. Kepada Dungak (seorang laki-laki setengah baya) dan Tambi Jongkong (seorang perempuan tua) dipesankan pula hal yang sama. Kedua orang itu sejak lama sudah dianggap anggota keluarganya. Malah Tambi Jongkong sendiri sudah seperti inang pengasuh sejak Nyai Endas masih kecil.
Setelah Mangkikit berangkat, penghuni betang itu asyik dengan pekerjaannya sendiri-sendiri. Dungak membelah kayu di belakang. Tambi Jongkong memasak di dapur. Nyai Endas sendiri asyik menganyam tikar rotan di kamar. Tiba-tiba terdengar pintu depan diketuk. Mendengar ketukan itu, Nyai Endas memanggil Tambi Jongkong. Disuruhnya melihat siapa yang datang.
Seorang laki-laki tak dikenal berdiri di depan pintu. Laki-laki itu tampan sekali. Kumisnya tipis, tubuhnya kekar, kulitnya putih kuning dan tampak bersih. Destar berwarna merah melilit di kepalanya. Di pinggangnya tergantung Mandau bergagang tanduk berjumbai rambut, menambah kegagahannya. Lama perempuan tua itu terdiam. Ia tidak berani menatap mata laki-laki itu terlalu lama. Ia baru sadar setelah laki-laki menegurnya. “Mangkikit ada?” tanyanya singkat.
“Mangkikit pergi berburu sejak pagi,” jawab orang tua itu.
“Tetapi Nyai Endas, ada?” tanyanya lagi.
“Oh, Ada, silakan masuk,” sahutnya, seraya berbalik memberitahukan kedatangan orang itu.
Mendengar hal itu, Nyai Endas langsung keluar. Tambi Jongkong sempat melihat bahwa Nyai Endas tampak seperti orang bingung melihat tamunya. Tidak lama kemudian, Nyai Endas masuk ke dalam. Digapainya Tambi Jongkong agar mengikutinya masuk ke kamar. Sejenak kemudian, Tambi Jongkong ke dapur, memanggil Dunghak agar segera pulang. Tak berapa lama kemudian Dungak pun muncul. Ditatapnya tamu itu dengan pandangan kurang senang. Mendengar panggilan Nyai dari kamar, ia pun segera masuk.
“Kalian berdua dengar kataku ini,” ujar Nyai. “Laki-laki itu memaksaku untuk mengikutinya. Aku sadar bahwa aku sudah bersuami. Tetapi rasanya aku tidak dapat menolak keinginannya.
Secepat kilat. Dungak menyambar Mandau pusaka yang tergantung di dinding setelah mendengar kata-kata Nyai Endas. Rupanya ia tidak menerima perlakuan tamu itu. Namun dengan tangkas pula Nyai Endas menghalangi maksud Dungak. Melihat kejadian itu Dungak mengalah, walaupun hantinya merasa amat perih.
“Sekarang katakan kepada tuanmu bila ia sudah kembali nanti,” kata Nyai Endas. “Akui Nyai Endas…, bagaimana pun aku tetap mencintainya. Oleh sebab itu sekali lagi kupesankan agar kamu menceritakan pada tuanmu dengan jujur. Aku minta jika aku telah keluar, ikuti aku dengan matamu. Dengan demikian kamu tahu arah kepergianku. Sekarang aku akan mempersiapkan barang-barangku.” Kemudian Nyai Endas menyiapkan barang bawaannya. Sebelum keluar kamar, kembali ia berpesan. Sekiranya Mangkikit suaminya ingin mencarinya, ikuti nanti arah kepergiannya. Kemudian ia pun keluar bersama laki-laki itu.
Dari betang, mereka berdua turun ke sungai. Dungak dan Tambi Jongkong yang mengawasi kepergian Nyai Endas merasa kaget. Kedua orang itu berjalan di atas air seperti di jalan raya saja. menyaksikan peristiwa itu, Tambi Jongkong, Dungak bergegas lari ke betang. Diambilnya gong lalu dibunyikan berkali-kali.
Penduduk yang sedang bekerja di ladang mendengar bunyi gong itu segera berlari pulang ke kampung. Pasti ada kejadian yang luar biasa. Penduduk kampung gempar setelah dioberitahu Dungak bahwa Nyai Endas diculik oleh laki-laki tak dikenal. Mereka ngeri kalau Mangkikit mengamuk karena kejadian itu.
Semua wanita dan anak-anak dengan diam-diam meninggalkan kampung itu. Mereka takut kalu-kalau nanti Mangkikit mengamuk membabi buta. Yang tinggal sekarang hanya para laki-laki dewasa. Tambi Jongkong yang menangis terus tampaknya tinggal pasrah. Demikian pula halnya dengan Dungak yang sejak tadi banyak diam.
Sementara itu Mangkikit bergegas dalam perjalanan piulang. Ia mendapat semacam firasat, sesuatu yang luar biasa terjadi di kampung. Ia cepat-cepat pulang. Jalannya dipercepat setengah berlari. Setibanya di belakang betang, dilihatnya banyak orang bergerombol. Apa gerangan yang terjadi, tanyanya dalam hati. Dengan napas terengah-engah, ia naik ke betang seraya bertanya, “Ada apa, ini? Apa yang telah terjadi?”
Tak seorang pun yang berani menjawab. Karena tidak ada yang menjawab, Mangkikit menjadi marah. Dungak pun tidak berani mengatakan hal yang sebenarnya mengenai Nyai Endas sewaktu ditanya. Menyaksikan keadaan seperti itu, seorang laki-laki tua tampil seraya berkata dengan suara lembut, “Anakku…, coba tenang sedikit. Sulit berbicara dengan keadaan seperti ini,” katanya.
Mangkikit pun sedikit mereda ketegangannya “Apa yang sebenarnya terjadi, paman?” tanyanya kepada orang tua itu.
Orang tua itu pun menceritakan seluruh kejadian itu tanpa satu pun tertinggal yang tertinggal. Mendengar penjelasan pamannya, Mangkikit menghela napas panjang. Penduduk kampung ikut merasa lega karena ternyata Mangkikit tidak jadi marah. Mangkikit hanya meminta para kepala keluarga untuk datang ke rumahnya nanti malam. Di sana ia akan memberitahukan rencana selanjutnya.
Pada Malam itu, kembali mereka berkumpul. Mangkikit menyarankan agar setiap keluarga menyiapkan tuak. Pada hari kesembilan setelah itu, mereka akan berkumpul lagi. Mangkikit tidak menjelaskan maksudnya. Ia hanya berpesan agar mereka menyiapkan keperluan pesta. Akhirnya, waktu yang ditetapkan itu tiba. Mangkikit memerintahkan agar pesta dimulai dari rumah yang paling ujung bagian hulu.
Sepuluh hari kemudian, tibalah giliran terakhir di rumah betang Mangkikit. Sebelumnya Mangkikit berpesan agar hari terakhir itu semuanya hadir. Sejak pagi mereka makan dan minum sepuas-puasnya. Setelah semuanya selesai, Mangkikit memerintahkan semua orang berkumpul di pinggir tepian mandi sungai. Setelah semuanya lengkap, Mangkikit memerintahkan semua kepala keluarga membakar rumahnya. Dalam sekejap, semua rumah di kampung itu telah terbakar.
Setelah semua berkumpul, Mangkikit berkata, “Sekarang turunlah ke sungai, berjalanlah dengan tenang menuju Batu Tangudau.” Setelah itu, Mangkikit menabur beras kuning ke pusaran air Batu Tangudau. Ia menunjuk salah seorang untuk terjun ke pusaran air itu lebih dahulu. Jika mereka masih hidup agar dalam dunia yang baru itu saling menunggu. Setelah semua penduduk terjun Mangkikit pun menyusul.
Mangkikit kemudian melihat sebuah kampung yang bersih dan rapi. Ia mengisyaratkan agar mereka menunggu dengan tenang. Dengan didampingi tiga orang laki-laki pilihannya, ia memasuki kampung itu. Tidak kelihatan seorang pun penghuni di sana. Tidak jauh dari situ, di halaman sebuah rumah besar dan bagus, tampak Nyai Endas.
Atas perintah Mangkikit, mereka berpencar mengepung rumah itu. Setelah dekat benar, Mangkikit memberi isyarat kepada Nyai Endas. Istrinya mengatakan bahwa laki-laki yang menculiknya masih tidur di kamar. Mangkikit mengikutinya istrinya masuk. Secepat kilat, Mangkikit mencabut dohong yang terselip di pinggangnya, lalu dibunuhnya laki-laki itu. Ketiga pengawalnya disuruh menjemput keluarganya yang menunggu di luar kampung itu.
Nyai Endas pun bercerita bahwa kampung itu adalah tempat tinggal bangsa ikan tangudau. Siang hari, mereka semua pergi mencari makan. Itulah sebabnya tak ada orang yang mereka temui pada siang hari. Sore hari mereka baru pulang. Akhirnya, Mangkikit menjadi raja di sana dan hidup dengan damai, aman dan tenteram,,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar