Jalil (nama populer Tumenggung Jalil),
kemudian bergelar Tumenggung Macan Negara, kemudian bergelar Kiai Adipati Anom
Dinding Raja (lahir di Kampung Palimbangan, Hulu Sungai Utara tahun 1840 –
meninggal di Benteng Tundakan, Balangan tanggal 24 September 1861 pada umur 21
tahun) adalah panglima perang dalam Perang Banjar dengan basis pertahanan di
Banua Lima, pedalaman Kalimantan Selatan. Jalil merupakan seorang jaba (Banjar:
bukan berdarah bangsawan). Sejak kecil dia dikenal pemberani dan pendekar dalam
ilmu silat. Pada waktu berusia 20 tahun dia terlibat dalam perlawanan terhadap
Belanda di Desa Tanah Habang dan Lok Bangkai. Karena kepahlawanannya dia
dikenal
sebagai Kaminting Pidakan (Banjar: jagoan / jawara). Tumenggung Jalil Menyusun Kekuatan
Jalil diberi gelar Tumenggung Macan Negara oleh Sultan Tamjidullah II, karena
itulah ia dikenal juga dengan sebutan Tumenggung Jalil. Kemudian Tumenggung
Jalil memihak kepada mangkubumi Pangeran Hidayatullah dan diberi gelar Kiai
Adipati Anom Dinding Raja oleh Pangeran Hidayatullah.
Pada tahun 1859 Tumenggung
Jalil telah menyusun kekuatan di Banua Lima. Tumenggung Jalil membuat pos-pos
penjagaan di sekitar Babirik, Alabio dan Sungai Banar. Disekitar Masjid Amuntai
didirikan benteng. Di sungai dibuat rintangan-rintangan sehingga mempersulit
bagi kapal yangakan lewat. Pertempuran di Amuntai, Balangan dan Tabalong Pada
awal Februari 1860, Belanda mengerahkan kapal- kapal perang Admiral van
Kingsbergen dan kapal Bernet dengan beberapa ratus serdadu dan pasukan meriam
dipimpin oleh Mayor Gustave Verspijck. Kapal perang itu akhirnya sampai di
Alabio, dan seterusnya terpaksa menggunakan kapal atau perahu yang lebih kecil
karena rintangan yang banyak di
sungai. Pertempuran terjadi di sekitar Masjid Amuntai. Dari masjid
inilah keluar prajurit-prajurit rakyat yang tidak mengenal lelah menyerbu
dengan hanya bersenjatakan tombak, parang bungkul dan mandau dengan meneriakkan
Allahu Akbar menyerbu Belanda. Korban berjatuhan dan perang berhadapanpun
terjadi. Semangat membela agama dan berjuang melawan orang kafir dan mati dalam
perang itu adalah semangat patriotisme yang tinggi yang mengisi dada setiap
rakyat yang bertempur melawan penjajah Belanda.
Benteng di sekitar masjid dipertahankan dengan kuat di bawah pimpinan Matia
atau
Mathiyassin, pembantu utama Tumenggung Jalil dengan gagah berani mehamuk
menyerbu serdadu Belanda.
Beratus-ratus yang menjadi
syuhada dalam pertempuran itu, 44 orang di antaranya dimakamkan di Kaludan.
Rumah-rumah penduduk ikut menjadi korban terbakar serta kampung di sekitarnya
menjadi saksi kepahlawanan rakyat Amuntai mempertahankan agama. Di antara
kampung yang musnah adalah Kampung Karias, dan di antara rumah penduduk yang
musnah terdapat rumah Tumenggung Jalil. Di bekas benteng yang hancur, dijadikan
Belanda bivak, benteng baru terletak di pertemuan sungai Balangan dan sungai
Tabalong. Pertempuran ini terjadi pada 9 Februari 1860. Pasukan-pasukan
Pangeran Hidayatullah yang tersebar di sekitar Barabai bergabung dengan pasukan
Tumenggung Jalil dan dapat menahan gerakan serdadu Belanda di sekitar Pantai
Hambawang. Dalam pertempuran yang terjadi di Lampihong di antara serdadu
Belanda yang menjadi korban adalah Kapten De Jong. Pertempuran ini menyebabkan
serdadu Belanda mundur.
Bantuan serdadu Belanda
kemudian diangkut dengan kapal perang Boni pada tanggal 15 Mei 1860 menuju dan
memudiki sungai Tabalong. Sebelum mencapai daerah Tabalong, serdadu Belanda
menghadapi serbuan rakyat di sepanjang sungai yang dilewati. Sesampai di daerah
Tabalong, terjadi pertempuran dengan pasukan Tumenggung Jalil.
Perlawanan rakyat cukup
sengit menyebabkan serdadu Belanda terpaksa mundur ke daerah Kalua dan Amuntai.
Baru pada bulan Juni 1860 Belanda berhasil menduduki daerah Tabalong. Serdadu
Belanda menghadapi perlawanan dari pasukan Pangeran Hidayatullah, pasukan
Tumenggung Jalil dan pasukan Pangeran Antasari dengan Tumenggung Surapati yang
berpusat di Tanah Dusun. Benteng Batu Mandi dan Benteng Tabalong Tumenggung
Jalil kemudian membuat benteng di Batu Mandi dan dari benteng ini dapat
memutuskan hubungan serdadu Belanda antara Barabai dan Lampihong. Benteng ini
terletak di atas sebuah bukit dan di sekitarnya diberi rintangan-rintangan,
seperti parit-parit, lubang perangkap, tali jerat dan potongan pohon kayu besar
yang sewaktu-waktu dapat digulingkan dari atas bukit. Benteng ini dipercayakan
kepada Penghulu Mudin. Ketika serdadu Belanda menyerbu dan menaiki bukit yang
dijadikan benteng ini, banyak sekali korban dari pihak Belanda, karena jebak
(ranjau) yang dibuat. Di antara yang jatuh korban adalah pimpinan penyerbuan
ini Sersan van de Bosch. Karena gagal menaiki benteng tersebut, serdadu Belanda
menembaki benteng ini dengan meriam dari bawah. Sementara itu Pangeran Antasari
memperkuat benteng Tabalong. Pangeran Antasari menaikkan bendera di atas
benteng itu, yaitu bendera merah dengan dua buah keris bersilang.
Benteng Batu Mandi dipersiapkan
dengan sungguh-sungguh oleh Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayatullah.
Disamping itu terdapat pula Pangeran Syarif Umar (ipar Pangeran Hidayatullah)
dan Pangeran Usman (kemenakan Pangeran Hidayatullah). Sedangkan Tumenggung
Jalil mempersiapkan pertahanan di sepanjang sungai Balangan. Sebelum sampai ke
benteng ini, terdapat kubu-kubu pertahanan di batang Balangan. Di daerah Batang
Alai terdapat kekuatan dibawah pimpinan Demang Jaya Negara Seman dan Kiai
Jayapati. Pusat kekuatan telah dibagi dan dipencar-pencar Pangeran Antasari
tetap bertahan di sekitar Amuntai, Kalua dan Tabalong, sedangkan Jalil berada
di pusat kekuatan di Pasimbi, yang berusaha menghambat gerakan serdadu Belanda
menuju Batu Mandi. Kubu-kubu pertahanan Jalil selain di Pasimbi, juga terdapat
di Lampihong , Layap, Muara Pitap dan lain-lain.
Ketika serdadu Belanda sampai ke benteng Batu
Mandi pada tanggal 13 Oktober 1860 ternyata benteng itu telah dikosongi.
Belanda sangat kecewa karena sebelum mencapai benteng Batu Mandi, serdadu Belanda
menghadapi perlawanan yang gencar dari segala pelosok, ternyata benteng itu
telah kosong. Pertempuran di Benteng Tundakan 24 September 1861 Penyerangan
benteng Gunung Tongka oleh Belanda (gambar oleh G. Kepper) Garis pertahanan
Pangeran Antasari antara benteng Pengaron, benteng Tundakan dan Gunung Tongka
(di daerah Barito ) merupakan basis perjuangan yang tak mudah ditaklukkan
Belanda. Tumenggung Jalil setelah terpukul di Banua Lima, kemudian
menggabungkan diri ke benteng Tundakan bersama-sama Tumenggung Baro dan
Pangeran Maradipa. Ketika terjadi pertempuran menghadapi pasukan serdadu
Belanda yang menyerbu benteng Tundakan, banyak korban berjatuhan kedua belah
pihak. Benteng di dipertahankan dengan sekuat tenaga oleh para pejuang tak
kenal menyerah. Mati syahid adalah idaman mereka dalam setiap pertempuran
menghadapi orang kafir Belanda. Pertempuran itu terjadi pada 24 September 1861.
Tumenggung Jalil mempertahankan benteng itu bersama-sama Pangeran Antasari dan
tokoh pejuang lainnya. Benteng Tundakan hanya dipertahankan dengan 30 pucuk
meriam dan senapan jauh lebih kecil dibanding dengan persenjataan Belanda.
Meskipun dengan persenjataan yang kecil, tetapi dengan semangat juang tak kenal
menyerah, akhirnya Belanda terpaksa mundur dan dapat dihalau dari tempat
pertempuran. Dengan demikian benteng Tundakan dapat dipertahankan dan
diselamatkan. Setelah usai ternyata Tumenggung Jalil gugur sebagai kesuma
bangsa. Mayatnya ditemukan dalam tumpukan tumpukan mayat-mayat serdadu Belanda,
jauh di luar benteng. Ketika perang sedang berkecamuk, Tumenggung Jalil mehamuk
ke tengah-tengah musuh, dan dia menjadi korban bersama-sama serdadu Belanda
yang dibunuhnya. Tumenggung Jalil menjadi syahid, seorang putera bangsa terbaik
telah hilang. Kebencian Belanda kepada Tumenggung Jalil sebagai musuhnya yang
paling ditakutinya, berusaha mencari dimana kuburan Tumenggung
ini. Akhirnya penghianat perjuangan memberi tahu letak kuburan tersebut. Kuburan
beliau dibongkar kembali oleh kaki tangan Belanda, tengkoraknya diambil dan disimpan
di Negeri Belanda, sisa mayatnya dihancurkan dan dia pejuang bangsa yang tidak
mempunyai kubur....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar