Panglima
Batur adalah salah seorang pejuang Perang Banjar (Bandjermasinsche Krijg),
yakni perang antara dua bangsa dan pemerintahan yang berdaulat, yakni antara
bangsa Banjar di Kesultanan Banjarmasin di satu pihak yang wilayah utamanya
meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sekarang dengan pihak
Belanda. Pada saat berdirinya Kesultanan Banjar, semua suku yang ada dalam
wilayah teritorial Kesultanan Banjar seperti suku Banjar, Bukit, dan Dayak
(a.l. suku Dayak Dusun, Ngaju, Kayan, Siang, Bakumpai) baik yang beragama Islam
maupun yang masih menganut kepercayaan Kaharingan adalah ”Bangsa Banjar”.
Panglima Batur berasal dari suku
Dayak beragama Islam di daerah Buntok-Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh. Sebagai
panglima ia mengabdi kepada pemerintahan Pegustian yakni pemerintahan kelanjutan
Kesultanan Banjar di hulu Sungai Barito. Setelah Perang Banjar meletus pada
tahun 1859, maka kemudian perang ini meluas hingga ke hulu Barito. Pangeran
Antasari sebagai pimpinan perang mampu menyatukan kalangan pejuang dari etnis
Banjar dan Dayak untuk bersama-sama melawan Belanda. Selepas Antasari meninggal
di tahun 1862 di Bayan Begok daerah Puruk cahu, pimpinan perlawanan diteruskan
oleh puteranya Sultan Muhammad Seman, dan ia dibantu oleh pengikut setianya
yakni Panglima Batur. Oleh karena itu, perjuangan yang dilakukan Panglima Batur
pada hakikatnya adalah untuk mempertahankan kedaulatan bangsa dan tanah Banjar
dari penguasaan Belanda.
Panglima Batur bersama Sultan
Muhammad Seman mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam
perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur mendapat perintah
untuk pergi ke Kerajaan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah benteng
Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan
Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan
marsose yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari
1905. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak
dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa. Ia adalah
sultan terakhir dari Kerajaan Banjar dalam pemerintahan pelarian di daerah
Barito. Sultan Muhammad Seman benar-benar konsekwen terhadap sumpah
melaksanakan amanah ayahndanya Pangeran Antasari yang tidak kenal kompromi
dengan Belanda, “Haram manyarah waja sampai kaputing”. Tertegun dan dengan rasa
sedih yang mendalam ketika Panglima Batur kembali ke benteng Manawing yang
musnah, dan Sultan Muhammad Seman, pimpinannya telah tewas. Panglima Batur dan
teman seperjuangannya Panglima Umbung pulau ke kampung halaman mereka
masing-masing. Panglima Umbung kembali ke Buntok-Kecil. Sultan Muhammad di
Seman di makamkan di puncak gunung di Puruk Cahu.
Sepeninggal Sultan, Panglima Baturlah
satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih bertahan. Ia terkenal sangat teguh
dengan pendiriannya dan sangat patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya,
tetapi ia mudah terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya
yang jatuh menderita. Hal itu diketahui oleh Belanda kelemahan yang menjadi
sifat Panglima Batur, dan kelemahan inilah yang dijadikan alat untuk
menjebaknya. Ketika terjadi upacara adat perkawinan kemenakannya di kampung
Lemo, dimana seluruh anggota keluarga Panglima Batur terkumpul, saat itulah
serdadu Belanda mengadakan penangkapan. Pasangan mempelai yang sedang
bertanding juga ditangkap dimasukkan ke dalam tahanan, dipukuli dan disiksa
tanpa perikemanusiaan. Cara inilah yang dipakai Belanda untuk menjebak Panglima
Batur.
Dengan perantaraan Haji Kuwit salah
seorang saudara sepupu Panglima Batur Belanda berusaha menangkapnya. Atas
suruhan Belanda Haji Kuwit mengatakan bahwa apabila Panglima Batur bersedia
keluar dari persembunyian dan bersedia berunding dengan Belanda, barulah
tahanan yang terdiri dari keluarganya dikeluarkan dan dibebaskan, dan
sebaliknya apabila Panglima tetap berkeras kepala, tahanan tersebut akan
ditembak mati. Hati Panglima Batur menjadi gundah dan dia sadar bahwa apabila
dia bertekad lebih baik dia yang menjadi korban sendirian dari pada keluarganya
yang tidak berdosa ikut menanggungnya.
Dengan diiringi orang-orang tua dan orang sekampungnya Panglima Batur turun ke
Muara Teweh. Benar apa yang menjadi kata hatinya, bukan perundingan tetapi ia
ditangkap sebagai tawanan dan selanjutnya dihadapkan di meja pengadilan. Ini
terjadi pada tanggal 24 Agustus 1905. Setelah dua minggu di tawan di Muara
Teweh, Panglima Batur diangkut dengan kapal ke Banjarmasin. Di kota Banjarmasin
dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang
keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati.
Pada tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ketiang gantungan.
Permintaan terakhir yang diucapkannya dia minta dibacakan “Dua Kalimah
Syahadat” untuknya. Dia dimakamkan di belakang Mesjid Jami’ lama Banjarmasin di
tepian Sungai Martapura, tetapi sejak 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke
kompleks “Makam Pahlawan Banjar” Jalan Mesjid Jami Banjarmasin (Dikutip a.l.
dari Buku Sejarah Banjar; foto Panglima Batur koleksi keluarga alm. H.M. Yakub
Amin —lahir 1915, pensiunan TNI tahun 1950— diwarisi dari orang tua beliau, di
Jalan Panglima Batur, Banjarmasin)......
Bagus jua ceritanya, smoga ini bermanfa'at buat kita yang muda-muda ini.........
BalasHapus