Haddad bin Muhammad bin Umar bin Muhammad bin Ja’far bin
Muhammad bin Ja’far bin Muhammad bin Al-Allamah Al-Habib Abdullah bin Alwy
Al-Hadad bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah bin Muhammad bin Alwy bin Ahmad
bin Abu Bakar Al–Thowil bin Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Al-Faqih
bin Abdurrohman bin Alwy bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Kholi’ Qosam bin
Alwi bin Muhammad Shohib Shouma’ah bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Muhajir
Ilallah Ahmad bin Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far
Ash-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam As-Sibth
Al-Husein bin Al-Imam Amirul Mukminin Ali bin Abi Tholib suami Az-Zahro
Fathimah Al-Batul binti Rosulullah Muhammad SAW.
Sederhana dan teduh. Itulah kesan pertama bila kita berjumpa
Habib Lutfi Al-Haddad, Walau ia masih relatif muda, orang yang berdekatan
dengannya akan merasa terayomi.
Ia lahir di Probolinggo, Jawa Timur, tahun 1981, dari
seorang ibu, Syarifah Qomariyah binti Husin Alaydrus, dan ayah, Muhammad bin
Haddad Al-Haddad. Ia anak pertama dari lima ber¬saudara. Ia juga mempunyai
saudara satu ibu yang berlainan ayah, empat orang, salah satunya Habib Ali
Zainal Abidin Alaydrus, pendiri Majelis Nurul Qoma¬riyah di Cileduk, Tangerang.
Habib Lutfi Al-Haddad sangat senang bersilaturahim ke
rumah-rumah anak didiknya. Di pesantren tempat ia mengajar, Pondok Pesantren
Darul¬lughoh wa Da’wah (Dalwa), Bangil, Jawa Timur, ia mendidik
santri-santrinya seperti mendidik adik-adiknya sendiri. Para santri pun merasa
tak ada jarak dengannya, yang juga alumnus STAI Dalwa dan Ponpes Dalwa Jurusan
Syari’ah.
Ghirah Keilmuan
Ketika masih menuntut ilmu di pesan¬tren, Habib Lutfi
belajar sangat keras. Di pesan¬tren tempat ia belajar, para santri diwajib¬kan
bisa membaca, menulis, dan berbi¬cara dengan bahasa Arab. Hanya diberi waktu
selama tiga bulan, mereka harus sudah bisa menggunakan bahasa Arab.
Suatu ketika ia ditemui Abuya Hasan Baharun (alm.), pengasuh
pe¬santren. Ia, yang sedang asyik mem-baca Wirdul Lathif di masjid, setelah
sha¬lat Subuh, kaget ketika melihat siapa yang datang mendekatinya.
“Lutfi Amir, kamu ingin menjadi artis atau orang alim?”
Habib Hasan Baharun tiba-tiba menanyakan hal yang di luar dugaan.
“Ingin menjadi orang alim, Abuya…,” jawabnya.
Habib Hasan Baharun tersenyum men¬dengar jawaban itu.
“Saya ingin menjadi santri yang ama¬nah, tidak mau melanggar
aturan, agar hidup saya berkah di dunia dan akhirat.” Ia tanamkan niat untuk
menjadi manusia yang beramal shalih, yang bermanfaat bagi umat.
Habib Lutfi terkejut mengapa hal itu dita¬nya¬kan oleh Habib
Hasan Baharun. Ter¬nyata, setelah diselidiki, umi Lutfi Al-Had¬dad pernah
bertanya langsung ke¬pada Habib Hasan Baharun mengenai seorang artis, saat itu
saudaranya ada yang menjadi artis.
Ia tergolong santri yang cerdas dan pintar. Selama mondok di
Darullughah, ia telah diminta untuk mengajar.
Berkhidmah selama Lima Tahun
Sudah menjadi kewajiban para san¬tri, mereka diminta
mengajar minimal se¬lama satu tahun sebelum meninggalkan pesantren. Tetapi,
karena kecintaannya kepada para santri dan senang meng¬ajar, Habib Lutfi
mengajar hingga lima lima tahun.
Ia berkhidmah di cabang Pondok Pesantren Darullughah,
setelah lulus dari Darullughah tahun 2004, di Pesan¬tren Ba’alawi, Pandean,
Bangil. Ia meng¬ajar bahasa Arab, tauhid, fiqih, hadits, dan masih banyak lagi.
Dalam kesehariannya mengajar, ia begitu dekat dengan
santri-santrinya. Ia bisa menempatkan dirinya sebagai orangtua, sahabat, kakak,
maupun se¬ba¬gai guru. Ia menampung segala keluh kesah santrinya dan kemudian
memberi¬kan solusi.
Habib Lutfi adalah guru yang sangat dicintai
santri-santrinya, sampai suatu ketika, saat ia diminta dakwah ke Banjar¬masin,
murid-muridnya terharu dan me¬rasa kehilangan, karena begitu dekatnya mereka
dengannya.
Selama berkhidmah di Pesantren Ba’alawi, ia sama sekali
tidak minta ba¬yaran. Semua dilakukannya karena ke¬cintaannya akan syiar Islam,
dan cita-citanya berdakwah lillahi ta’ala.
Setelah berkhidmah selama lima ta¬hun di Pondok Pesantren
Ba’alawy, Habib Lutfi Al-Haddad pernah diajak berdakwah ke Sampit, pedalaman di
Kalimantan. Ia diajak oleh teman seke¬lasnya, (alm.) Ustadz Muhib Sayyidil
Anwar, waktu mereka masih bersama-sama mondok di Darullughah.
Dihadapi dengan Senyum
Dari kecil Habib Lutfi Al-Haddad memang sudah mempunyai
keinginan untuk ber¬dakwah. Ini tak lepas dari bimbingan dan dorongan kedua
orangtuanya.
Mengajar dan menjadi murabbi telah ia jalani tak kurang dari
10 tahun sejak ia lulus dari Darullughah wad Dakwah. Memang ia sangat menikmati
rutinitas yang ia jalani selama itu.
“Saya sangat senang mengajar, dan saya cinta anak-anak,”
ujarnya, yang saat ini tengah menanti buah hati per¬tamanya setelah dua tahun
menikah.
Namun, perjuangan dakwahnya tak selalu mulus. Tak sedikit
orang yang me¬nyikapi dakwahnya dengan fitnah, caci¬an, dan makian. Tapi semua
itu ia hadapi dengan senyum. Ia telah bertekad de¬ngan sepenuh hati untuk
menjalankan apa yang telah ia niatkan, berdakwah. Ia tak mengharap penghargaan
di mata manusia, tujuannya hanya mengharap ridha Allah.
Ia menginginkan agar ilmu yang di¬dapatnya bisa bermanfaat
untuk orang banyak, dan meneruskan perjuangan Rasulullah SAW, demi menciptakan
ma¬syarakat yang mengerti dan menjalan¬kan kewajibannya sebagai hamba Allah.
Kini, Habib Lutfi sudah mencapai apa yang dicita-citakannya
sejak kecil. Kegiatan dakwahnya dilakukan hampir setiap hari, memenuhi undangan
siapa saja tanpa pilih-pilih. Mengajar, mengisi taushiyah, ke mana pun dan di
mana pun. Ia juga mengisi undangan salah satu televisi swasta untuk mengisi
tau-shiyah subuh, hampir setiap hari.
Di tengah kepadatan jadwal sehari-harinya, ia masih
menyempatkan diri untuk mendatangi dan menerima jama’ahnya, bahkan secara
individual.
Majelis Nurul Qomariyah
Kini, setelah hijrah ke Tangerang, tepatnya di Cileduk,
Habib Lutfi berdakwah membantu kakaknya, Habib Ali Zainal Abidin Alaydrus,
yang telah men¬dirikan Majelis Nurul Qomariyah, pada bulan Maret 2010. Ia telah
mendapat ridha dari Habib Zein bin Hasan Baharun ketika menyampaikan
keinginannya untuk membantu sang kakak di Majelis Nurul Qomariyah.
Semua santri dan murid serta ja¬ma’ah¬nya di Jawa Timur,
tempat asal¬nya, bersedih ketika Habib Lutfi Al-Haddad berpamitan untuk
membantu majelis kakaknya di Cileduk, Tangerang. Mereka sangat kehilangan sosok
Habib muda yang rendah hati dan tak mem¬batasi diri dalam setiap pergaulannya.
Di Majelis Nurul Qomariyah, ia meng¬ajarkan kepada
santri-santrinya semua ilmu yang telah didapatnya ketika belajar di
Darullughah.
Kini, Majelis Nurul Qomariyah makin berkembang. Undangan
untuk dakwah bersama sang kakak hampir setiap ming¬gu datang. Undangan untuk
mengajar dan mengisi taushiyah hampir setiap hari.
Habib Lutfi Al-Haddad semakin ber¬semangat menjalani
hari-harinya, karena ia merasa dibutuhkan umat. Dan nya¬tanya umat memang
sangat membutuhkannya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar