Kalimantan Selatan merupakan salah satu propinsi di Indonesia
yang memiliki kekayaan alam yang cukup melimpah. Di daerah ini hutan-hutan
terhampar bagaikan permadani. Di tengah hutan tersebut hidup beraneka ragam
tumbuhan dan hewan. Salah satu hewan yang sangat terkenal adalah burung punai.
Menurut masyarakat setempat, bahwa asal mula keberadaan burung punai di daerah
ini dikaitkan dengan cerita rakyat Datu Pulut: Asal Mula Burung Punai. Alur
cerita ini mirip dengan cerita Mahligai Keloyang dan Putri Mambang Linau di
Propinsi Riau. Dalam cerita tersebut dikisahkan bahwa seorang pemuda mendapati
tujuh orang putri yang hendak mandi di telaga turun dari Kahyangan. Pada
saat putri tersebut sedang asyik mandi, dengan hati-hati sang Pemuda mengambil
salah satu selendang yang diletakkan di pinggir telaga. Setelah beberapa lama
mandi, hari pun mulai senja. Saatnya ketujuh putri tersebut kembali ke
Kahyangan. Namun ketika mereka ingin kembali, salah satu dari ketujuh putri
tersebut tidak bisa terbang ke angkasa, karena selendangnya telah diambil oleh
sang Pemuda. Akhirnya, putri yang malang itu kemudian ditinggalkan oleh keenam
saudaranya di bumi sendirian. Pemuda yang telah mengambil selendangnya itu
kemudian menemui sang Putri dan mengajaknya untuk menikah. Di akhir cerita,
mereka berpisah setelah dikaruniai anak. Sang Putri kembali ke tempat asalnya
di Kahyangan meninggalkan suami dan anaknya di bumi.
Masyarakat pendukung cerita tersebut, biasanya mengaitkannya
dengan asal mula terjadinya sesuatu. Seperti dalam cerita Mahligai Keloyang,
yang telah melahirkan nama Kecamatan Kelayang; dan cerita Putri Mambang Linau,
yang telah melahirkan nama tarian Olang-olang di Riau. Demikian pula cerita
Dutu Pulut yang telah melahirkan sebuah nama burung yang dikenal dengan burung
punai. Kata “punai” diambil dari nama sebuah pohon di daerah Kalimantan Selatan
yang disebut pohon berunai. Sesuai dengan pesan sang Bidadari, setiap kali
anaknya menangis, Datu Pulut harus membuat ayunan untuk anaknya di atas pohon
berunai. Pada saat itulah sang Bidadari yang dikawal keenam saudaranya datang
menyusui anaknya. Tapi dengan syarat, Datu Pulut tidak boleh mendekat, apalagi
menyentuhnya. Namun, Datu Pulut melanggar larangan itu. Ketika istrinya sedang
menyusui anaknya, Datu Pulut mendekat dan menyentuh sang Bidadari. Ketika itu
pula, tiba-tiba sang Bidadari dan keenam saudaranya menjelma menjadi burung
punai. Kenapa Datu Pulut melanggar larangan itu? Untuk mengetahui jawabannya,
ikuti kisahnya dalam cerita Datu Pulut: Asal Mula Burung Punai berikut ini.
Konon, di daerah Kalimantan Selatan, tersebutlah seorang
pemuda pengembara yang bernama Andin. Ia adalah anak sebatang kara, tidak punya
Abah dan Uma. Ia juga tidak memiliki tempat tinggal yang tetap. Ia mengembara
dari satu desa ke desa lain, menjelajahi hutan belantara dan melewati berbagai
negeri seorang diri.
Suatu hari, tibalah Andin di Desa Pakan Dalam yang
berawa-rawa dan bersungai. Di permukaan rawa-rawa itu terlihat pemandangan yang
sangat indah. Beraneka ragam bunga yang tumbuh mekar dan harum, sehingga burung
yang senang mengunjungi daerah itu. Karena banyak burung yang cantik dan merdu
di desa itu, banyak penduduk yang bekerja mamulut burung. Melihat kehidupan
masyarakat di daerah itu makmur, maka Andin pun memutuskan menetap di sana. “Ah,
lebih baik aku menetap di sini saja. Aku tidak akan kesulitan menghidupi
diriku,” gumam Andin. Meskipun tidak memiliki lahan untuk bertani atau beternak
hewan, ia masih memiliki sebuah harapan yaitu mamulut burung. Dari situlah ia
bisa menghidupi dirinya.
Hari dan bulan telah berganti. Tak terasa, sudah satu tahun
Andin menetap di Pakan Dalam. Penduduk setempat sangat menyukai Andin, karena
perangainya baik dan santun. Setiap hari Andin pergi mamulut burung. Pagi-pagi
sekali ia sudah berangkat, dan kembali setelah hari mulai senja. Karena setiap
hari pergi mamulut burung, penduduk desa memanggil Andin dengan sebutan Andin
Pulut. Karena keahlian Andin mamulut burung tidak ada yang menandingi di desa
itu, maka sebagian besar penduduk memanggilnya Datu Pulut. Artinya, orang yang
sangat pandai dan berpengalaman mamulut burung.
Seperti biasa, pagi itu Datu Pulut bersiap-siap berangkat
mamulut. Tak berapa lama kemudian, ia sudah terlihat di atas jukungnya menuju
hilir. Ia terus mengayuh jukungnya menyusuri sungai. Setelah menemukan tempat
yang cocok, ia pun turun dari jukungnya. Lalu, ia memasang pulut di sejumlah
pohon di pinggir sungai. Setelah itu, ia kembali ke jukungnya menunggu pulutnya
terkena burung sambil tiduran . Tengah asyik tiduran, tiba-tiba hujan turun. Ia
pun cepat-cepat naik ke daratan. Tak jauh dari tempatnya memasang pulut,
ditemukannya beberapa pohon yang besar lagi rindang. Di bawah pepohonan itu
terdapat sebuah telaga yang cukup luas dan berair jernih. Ia sangat senang
menemukan tempat berteduh yang nyaman. “Aha…, aku dapat berteduh di sini sambil
menunggu hujan reda,” gumam Datu Pulut. Beberapa saat kemudian, hujan pun mulai
reda. Datu Pulut kemudian manukui jebakan pulutnya. Namun, saat akan beranjak
dari tempatnya, tiba-tiba ia mendengar suara perempuan yang sedang bergembira.
Tanpa pikir panjang, ia cepat-cepat bersembunyi di balik pohon seraya
mengintip.
Kini suara itu semakin jelas dan semakin dekat. Tiba-tiba ia
tersentak ketika melihat tujuh bidadari melayang-layang turun dari langit
menuju telaga. Ketujuh bidadari tersebut mengenakan selendang berwarna pelangi.
Dari ketujuh bidadari tersebut, bidadari yang berselendang warna jinggalah yang
paling cantik. Datu Pulut sangat terpesona melihatnya. “Aduhai, cantik sekali
bidadari yang berselendang jingga itu,” gumam Datu Pulut takjub. Para bidadari
itu turun dan meletakkan selendangnya di atas bebatuan. Mereka mandi sambil
bercengkerama dan bersuka ria. Pada saat itulah, Datu Pulut memanfaatkan
kesempatan. Dengan hati-hati, ia mengambil selendang yang berwarna jingga itu,
lalu dimasukkannya ke dalam butahnya. Kemudian, ia cepat-cepat kembali
bersembunyi di balik pohon.
Tak terasa, hari mulai senja. Saatnya bidadari tersebut
kembali ke Kahyangan. Satu per satu mereka mengenakan kembali selendangnya.
Tetapi bidadari yang tercantik itu tidak menemukan selendangnya.
Saudara-saudaranya turut membantu mencari ke sana ke mari. Namun tak
kunjung mereka temukan. Hari pun semakin senja. Keenam bidadari tersebut
terpaksa meninggalkan bidadari cantik yang malang itu seorang diri. Bidadari
yang cantik itu sangat sedih ditinggal oleh saudara-saudaranya. “Abah, Uma,
tolong ananda. Ananda takut sendirian di bumi ini. Kenapa nasib ananda begini
malangnya?” Bidadari itu terus menangis meratapi nasibnya
Datu Pulut merasa iba melihat bidadari itu. Ia pun segera
keluar dari tempatnya bersembunyi, lalu menghampirinya. “Apa yang telah
terjadi, Adingku? Mengapa berada di tepi telaga seorang diri?” sapa Datu Pulut
pura-pura tidak tahu kejadian yang menimpa sang Bidadari. “Selendang saya
hilang, tuan! Tahukah tuan dimana selendang saya?” bertanya pula bidadari itu.
Datu Pulut tidak menjawab pertanyaan itu, ia tidak ingin sang Bidadari
kembali ke Kahyangan. Lalu diajaknya sang Bidadari pulang bersamanya. Setelah sampai
di gubuk reyotnya, Datu Pulut bercerita kepada sang Bidadari bahwa ia belum
berkeluarga dan berniat untuk memperistrinya. “Wahai, Adingku! Bersediakah kamu
menjadi istriku?” tanya Datu Pulut kepada bidadari. Mendengar pertanyaan itu,
sang Bidadari pun bersedia menikah dengan Datu Pulut, karena ia tidak mungkin
kembali ke Kahyangan tanpa selendangnya. Setelah itu, mereka hidup bahagia dan
saling menyayangi.
Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang anak perempuan
yang cantik jelita. Maka semakin lengkaplah kebahagiaan keluarga itu. Datu
Pulut semakin rajin dan bersemangat bekerja. Ia sering pergi mamulut hingga
petang. Sementara, bidadari menyiapkan berbagai masakan yang lezat untuk
suaminya.
Pada suatu hari, sang Bidadari hendak menanak nasi. Namun,
persediaan beras di padaringan habis. “Tidak biasanya Kaka lupa mengisi beras
di padaringan. Ini kok habis?” kata sang Bidadari dalam hati. Kemudian, ia
masuk ke dalam kindai untuk mengambil padi. Sejak menikah dengan Datu Pulut, ia
tidak pernah mengambil padi di tempat itu. Baru mengambil padi beberapa
takaran, sang Bidadari terpana melihat sebuah butah tergeletak di sela-sela
timbunan biji padi. Ia penasaran ingin mengetahui isi butah itu. Maka dibukanya
tutup butah itu. Tanpa diduga-duga, dilihatnya selendang kahyangannya. Kini,
sang Bidadari tersadar, ternyata suaminyalah yang telah mengambil seledangnya
beberapa tahun yang lalu. Ia pun Kahimungan, dan segera menyimpan selendang itu
baik-baik.
Menjelang senja, Datu Pulut pun datang membawa hasil pulutannya.
Sang Bidadari menyambutnya seperti biasanya, sehingga Datu Pulut tidak curiga
sedikit pun, jika istrinya telah menemukan selendang kahyangannya. Malam
semakin larut, Datu Pulut sudah tertidur pulas di samping anaknya, karena letih
mamulut sepanjang hari. Sang Bidadari masih belum juga dapat memejamkan
matanya. Pikirannya melayang-layang, teringat orang tua dan saudara-saudaranya
di negeri Kahyangan. Perasaannya bercampur baur, sedih dan bimbang. Ia ingin
kembali ke negeri asalnya, tetapi tidak tega meninggalkan suami dan anaknya.
“Oh… Abah, Umah! Aku sangat merindukan kalian. Tapi bagaimana dengan nasib anak
dan suamiku jika aku meninggalkan mereka?” keluh sang Bidadari kebingungan.
Namun, sang Bidadari harus mengambil keputusan antara kembali ke kahyangan atau
tinggal di bumi. Akhirnya, setelah dipikir-pikir ia pun memutuskan meninggalkan
bumi. “Aku harus kembali ke Kahyangan,” tegas sang Bidadari dalam hati.
Keesokan harinya, Datu Pulut pulang dari mamalut. Ia
tersentak kaget ketika melihat istrinya sudah berpakaian lengkap dengan
selendang warna jingganya sambil mendekap anak mereka. Belum sempat Datu Pulut
berkata-kata, sang Bidadari langsung berpesan kepadanya, “Maafkan Ading, Kaka!
Ading harus kembali ke Kahyangan. Peliharalah putri kita baik-baik. Jika ia
menangis, buatkanlah ayunan di pohon berunai. Saat itu Ading akan datang
menyusuinya, dengan syarat Kaka tidak boleh mendekat.” Mendengar pesan
istrinya, Datu Pulut pun berjanji untuk selalu mengingat pesan itu. Sesaat
kemudian, tiba-tiba sang Bidadari terbang melayang ke angkasa meninggalkan
suami dan putri tercintanya.
Sejak saat itu, jika putrinya menangis, Datu Pulut segera
membuatkan ayunan di pohon berunai yang tak jauh gubuknya. Tak lama setelah
itu, datanglah istrinya untuk menyusui anaknya dengan dikawal oleh
saudara-saudaranya. Datu Pulut hanya bisa melihat dari arah jauh dengan penuh
kesabaran. Meskipun sebenarnya ia sangat merindukan istrinya, perasaan itu
terpaksa ia pendam dalam hati. Tanpa terasa, beberapa bulan telah berlalu. Setiap
manusia memiliki batas kesabaran. Datu Pulut tidak bisa lagi menahan rasa
rindunya kepada istrinya.
Pada suatu hari, saat istrinya sedang menyusui anaknya,
secara diam-diam Datu Pulut mendekat. Rupanya ia lupa pada pesan istrinya. Pada
saat ia akan menyentuh istrinya, tiba-tiba terjadi keajaiban yang sangat luar
biasa. Sang Bidadari dan saudara-saudaranya berubah menjadi tujuh ekor burung
punai. Ketujuh burung itu pun terbang ke alam bebas dan meninggalkan Datu Pulut
beserta putrinya. Datu Pulut hanya mampu menyesali dirinya. Namun apa hendak
dikata, nasi sudah menjadi bubur. Setiap kali putrinya menangis, ia membawanya
ke bawah pohon berunai. Namun, istrinya yang telah menjadi burung punai tak
pernah datang lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar