Benteng Madang terletak di Desa Madang Kecamatan
Padang Batung Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Kalimantan Selatan). Jarak antara
Desa Madang dengan Banjarmasin sekitar 140 km.
Benteng
Madang dibangun seiring dengan pecahnya Perang Banjar melawan penjajah Belanda
di Bumi Lambung Mangkurat. Benteng ini terdapat di atas Gunung Madang salah
satu dari bagian Pegunungan Meratus. Tempat tersebut sangat strategis untuk
pertahanan, karena bila kita berada di tempat tersebut, maka daerah sekeliling
dapat terlihat dengan mudah. Benteng tersebut dikelilingi oleh hutan semak
belukar di sana–sini ditumbuhi bambu. Gunung Madang identik dengan Benteng
Madang dengan luas sekitar 400 m2. Di kaki Gunung Madang terdapat aliran-aliran
sungai yang di tepinya banyak ditumbuhi ilalang dan pohon bambu. Pada
aliran-aliran sungai yang mendekati tempat penyeberangan diadakan titian atau
jembatan-jembatan yang apabila diinjak titian ini bergerak, dan kalau jatuh
besar kemungkinan tertusuk benda tajam yang sengaja dipasang oleh
pejuang-pejuang Antaludin. Akibatnya tidak hanya luka-luka bahkan tidak jarang
mengakibatkan kematian. Masyarakat menyebutnya sebagai “jembatan serongga”.
Jembatan-jembatan
tersebut sengaja dibuat oleh pejuang-pejuang Antaludin agar apabila musuh ingin
memasuki daerah Gunung Madang akan terhalang atau mudah diketahui. Untuk
memperkokoh pertahanan Benteng Madang diberi perlindungan dari pepohonan agar
gelap di sang hari. Bagian lain dibuat jalan rahasia untuk keluar pabila
kemungkinan seangan musuh bisa tembus. Konon pernah serdadu Belanda mengadakan
penjajakan untuk melihat dari dekat keadaan Benteng Madang, tetapi mereka tidak
melihat apa-apa kecuali hutan semak belukar. Keadaan yang ganjil ini membuat
serdadu Belanda penasaran. Sehingga suatu waktu tempat tersebut ditembaki oleh
serdadu Benda dari jarak jauh. Ketika para serdadu Belanda tersebut kelelahan
dan kehausan, mereka meminta air kelapa muda kepada masyarakat, tetapi yang
terjadi setelah mereka meminum semua sakit perut dan ada yang meninggal.
Taktik
gerilya yang dilakukan oleh pejuang-pejuang Antaludin membuat pemerintah
kolonial Belanda kebingungan dan putus asa. Banyak serdadu Belanda yang
terbunuh. Para pejuang Antaludin tidak pernah menyerah dan Benteng Madang tidak
pernah direbut Belanda. Baru ketika benteng tersebut ditinggalkan oleh
pejuang-pejuang Antaludin untuk bergerilya ke berbagai lokasi pertempuran,
tentara Belanda menemukan tempat kosong setelah dengan susah payah berusaha
mengepung untuk merebutnya.
Sejarah
telah mencatat Perang Banjar dimulai sejak penyerangan terhadap tambang batu
bara Belanda Oranye Nassau di Desa Pengaron yang dipimpin oleh Pangeran
Antasari dengan mengerahkan pasukan Muning pimpinan Sultan Kuning. Peristiwa
ini terjadi pda tanggal 28 April 1859. Pangeran Hidayat memerintahkan kepada
Sultan Kuning dan Pangeran Antasari mempercepat penyerangan terhadap tambang
batu bara Oranye Nassau milik Belnda tersebut.
Serangan ini diikuti oleh
gerakan-gerakan massa lainnya yang tersebar di seluruh Kerajaan Banjar.
Kemudian serentak rakyat Banjar bangkit mendukung perjuangan Pangeran Antasasri
untuk mengusir Belanda dari tanah Banjar. Selanjutnya Perang Banjar berlangsung
sampai dengan tahun 1904, suatu peperangan yang sangat melelahkan karena
tergolong perang kolonial yang paling lama di Indonesia. Pangeran Antasari dan
Demang Lehman meminta kepada Tumenggung Antaludin untuk membuat benteng
pertahanan di Gunung Madang. Benteng Madang dibangun di sebuah puncak gunung di
Desa Madang. Bangunan benteng dari bahan kayu madang yang ada di sekitarnya
serta pagar hidup dari pohon bambu dengan luas kurang lebih 400m2 bertingkat
dua, agar mudah mengintai musuh dari bagian teratas. Benteng ini diberi
perlindungan agar gelap pada siang hari dan dibuat jalan rahasia untuk keluar.
Hal ini untuk memperkuat pertahanan dan tentara Belanda sulit merebut tempat
ini. Tercatat ada lima kali serangan Belanda terhadap benteng ini.
Tanggal 3 September 1860 terjadi
serangan mendadak oleh pasukan infantri Belanda sementara benteng belum selesai
dibangun. Serdadu Belanda bergerak dari Benteng Amawang Belanda menyelusuri
Desa Karang Jawa dan Desa Ambarai langsung menuju Gunung Madang. Serdadu
Belanda terkejut, ketika baru mendekati bukit itu terjadi serangan mendadak
menyebabkan beberapa serdadu Belanda tewas. Sekali lagi serdadu Belanda
mendekati bukit tetapi sebelum sampai serangan gencar menyambutnya. Sehingga
serdadu Belanda mundur kembali ke benteng Amawang di Kandangan.
Tanggal 4 September 1860 pasukan
infantri Belanda dari batalyon ke 13 melakukan serangan kedua kalinya. Pasukan
Belanda dilengkapi dengan mortir dan berpuluh-puluh orang perantaian (nara
pidana) untuk membawa perlengkapan perang yang dijadikan umpan dalam
pertempuran. Serdadu Belnda melemparkan 3 geranat tetepi tidak berbunyi dan
disambut dengan tembakan dari dalam benteng. Ketka Letnan De Bouw dan Sersan De
Varies menaki Gunung Madang hanya diikuti serdadu bangsa Belanda, sedangkan
serdadu bangsa bumiputera membangkang tidak ikut bertempur. Dalam pertempuran
Letnan De Brouw kena tembak di paha, sehingga serdadau Belanda mundur dan
kembali ke Benteng Amawang.
Tanggal 13 September 1860 serangan
ketiga Belanda terhadap Benteng Madang dipimpin oleh Kapten Koch dengan bantuan
serdadu Belanda dari Banjarmasin dan Amuntai. Pertempuran ini terjadi dalam
jarak dekat, tetapi Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin dengan gagah berani
menghadapinya. Disaat bunyi senapan dan meriam bergema, tiba-tiba roda
meriamnya hancur kena tembakan. Pasukan Belanda dan Kapten Koch kembali mundur
ke Benteng Amawang. Kegagalan serangan ketiga ini membuat belanda sangat malu
karena tersebar sampai ke Banjarmasin.
Tanggal 18 September 1860 serangan
Belanda yang keempat dipimpin oleh Mayor Schuak dengan pasukan infantri
batalyon ke 13 yang terdiri dari beberapa opsir bangsa Belanda, dibantu oleh
Kapten Koch dengan membawa sebuah heuwitser, sebuah meriam berat dan morter.
Menjelang pukul 11.00 siang hari Demang Lehman memulai menyambut serdadu
Belanda dengan tembakan. Letnan Verspyck yang berani mendekati benteng dengan
pasukannya kena tembak oleh anak buah Tumenggung Anataludin, akhirnya
mengundurkan diri membawa korban. Selanjutnya Kapten Koch memerintahkan
memajukan meriam. Dengan jitu peluru mengenai serdadu pembawa meriam itu dan
jatuh terguling. Setelah pasukan meriam gagal, dilanjutkan dengan pasukan
infantri mendapat giliran maju. Kapten Koch yang memimpin pasukan infantri maju
kena tembak di dadanya dan jatuh tersungkur. Dengan jatuhnya Kapten Koch
tersebut serdadu Belanda menjadi bingung dan kehilangan komando. Dengan
bergegas pasukan Belanda menggotong tubuh Kapten Koch dan meninggalkan medan pertempuran,
mengundurkan diri kembali ke Benteng Amawang.
Setelah serangan keempat ini gagal
Belanda mempersipkan kembali untuk penyerangan yang kelima. Demang Lehman dan
Tumenggung Antaludin juga mempersipkan siasat dan strategi untuk menghadap
serangan besar-besaran Belanda dengan keluar dan tidak berpusat bertahan dalam
benteng saja. Demang Lehman mendapat bantuan dari pasukan Kiai Cakra Wati
pahlawan wanita yang selalu menunggang kuda yang berasal dari Gunung Pamaton.
Tanggal 22 September 1860 Belanda
dengan persiapan teliti, belajar dari kegagalan dan beberapa kali dipermalukan
dari empat kali serangan, Belanda mempersiapkan bidak-bidak dan perlindungan
pasukan penembak meriam dengan sistem pengepungan Benteng Gunung Madang.
Pertempuran baru terjadi esok harinya dengan tembakan meriam dan lemparan
geranat. Menjelang pukul 11.00 malam hari, tiba-tiba Demang Lehman dan
Tumenggung Antaludin mengadakan serangan besar-besaran dengan berbagai jenis
senapan yang dimiliki. Pertempuran berkobar hingga menjelang subuh. Karena
pertempuran berlangsung di malam hari yang gelap gulita pasukan Belanda
kehilangan komando. Situasi yang tegang ini digunakan oleh Demang Lehman dan
Tumenggung Antaludin beserta pasukannya untuk keluar benteng dan menyebar
keluar meninggalkan benteng dan selanjutnya berpencar. Suatu strategi yang
dilakukan oleh Demang Lehman dan Tumenggung Antaludin utuk menghindari
kehancuran pasukannya. Sementara Kiai Cakrawati dan pasukannya juga berhasil
meneruskan perjalanan menuju Gunung Pamaton.
Sementara itu dengan hati-hati
pasukan Belanda memasuki benteng untuk menghancurkan kekuatan Demang Lehman dan
Tumenggung Antaludin, tetapi alangkah kecewanya Belanda ternyata benteng sudah
kosong dan hanya ditemukan satu orang mayat yang ditinggalkan.
Demikian lah sejarah singkat Benteng
Madang, sebuah tempat pertahanan para pejuang Perang Banjar di daerah Hulu
Sungai Selatan (Kandangan) dalam menghadapi pasukan Belanda. Pada dasarnya
benteng tersebut tidak berhasil direbut Belanda karena Benteng Madang
ditinggalkan oleh pejuang Banjar kemudian melanjutkan perlawanan berikutnya
ditempat lain yang lebih strategis. Pasukan Demang Lehman dan Tumenggung
Antaludin sampai akhir hayatnya tidak pernah menyerah kepada Belanda. Dengan
susah payah, biaya yang besar dan dengan perang yang melelahkan serta banyaknya
korban, Belanda sangat malu dan dikecewakan karena benteng yang akan direbut
tidak lebih hanyalah tempat kosong belaka.
Sekarang lokasi situs Benteng Madang
tetap terpelihara, sebagai situs sejarah dengan juru peliharanya. Bila sejarah
adalah pertangungjawaban masa silam, maka situs Benteng Madang dengan segala
kejadiannya merupakan saksi sejarah bahwa di sini di bumi Banjar telah terjadi
suatu peristiwa kepahlawanan untuk melawan kolonial Belanda.
Pejuang Banjar di sini secara konsekwen dan konsesten memegang prinsip
“HARAM MANYARAH WAJA SAMPAI KAPUTING”. Suatu slogan dalam kehidupan orang
Banjar dari dulu hingga sekarang dan yang akan datang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar