Konon,
dahulu, daerah sekitarnya berupa sungai, seluas mata memandang, yang
tampak air semata. Mirip cerita si Malin Kundang, sang anak durhaka,
Tangkiling pun, dikutuk karena kedurhakaannya. Berubahlah sungai
tempatnya berlayar menjadi daratan dan perbukitan. Sedang perahu dan
seluruh barang bawaannya, berubah menjadi batu-batuan yang besarnya
sebesar rumah-rumahan.
Tangkiling
sendiri, karena dosa-dosa yang disandangnya, harus rela terjepit
diantara biliknya, sekarang dikenal dengan batu pengapit dosa. Memang,
batu kapit dosa, dipercaya, berasal dari bilik Tangkiling yang turut
diterbangkan angin dan kemudian berubah membatu seperti benda lainnya.
"Bila
orang bersangkutan ada dosa, maka tidak bisa melewati antara dua batu
itu, terjepit," ungkap Aisyah-sebut saja begitu namanya- seorang
penduduk Kelurahan Tangkiling yang kerap mendaki bukit bersama
keluarganya. Dia mengaku, apa yang barusan dipaparkannya, berdasar
kepercayaan yang mereka terima turun temurun.
Dulu
pun, menurutnya, ada semacam upacara penghormatan atau ritual yang
dilakukan dekat batu itu, fungsinya meminta pengampunan atas dosa yang
telah dilakukan. Sesaji turut dihadirkan, terhampar bermacam kue
tradisional dan kemenyan yang menyengat hidung.
"Kita baca doa sesuai agama kepercayaan yang kita anut," imbuhnya.
Apakah
sudah ada yang terjepit disana? Sambil tertawa, dikatakannya,
sepengetahuan dia, memang belum pernah terjadi, kecuali karma yang
menimpa Tangkiling, hingga terjepit diantara dua batu itu.
"Mungkin,
karena zamannya sudah berubah, kekuatan itu tidak pernah dinampakkan
lagi," tukasnya. Meski begitu, menurutnya, kepercayaan akan kekuatan
magis batu itu, masih beredar dan dipercaya masyarakat. Nyatanya,
beberapa kecelakaan, pernah terjadi di seputar bukit Tangkiling.
Mengenai
kepercayaan ini, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi kalteng Drs H
Nawawi Mahmuda, menilai, itu hanyalah fenomena atau peristiwa alam
belaka. Dan, tidak ada keterkaitannya dengan kekuatan magis atau
supranatural.
"Artinya memang murni fenomena alam, tidak ada kaitannya dengan kekuatan magis atau supranatural," tegasnya.
Kepercayaan
ini dibuktikan sekelompok pelajar dari sebuah SMU di Palangkaraya.
Mereka menghabiskan akhir pekannya mendaki bukit, mau tidak mau, mereka
harus memiringkan tubuhnya agar tidak terjepit di antara dua batu itu.
Hasilnya? Mereka sampai ke puncak dan kembali lagi dengan selamat.
Dilihat
dari jarak antara kedua batu yang berkisar 15 sentimeteran, terletak di
punggung bukit, memang agak sulit untuk melewatinya, harus memiringkan
tubuh. Di bawah batu sendiri, ternyata ada rongga atau ruang kosong,
sehingga bila kita melangkah diatasnya, terasa ada suara langkah,
bergema.
Kiri
kanan, jalan yang dilewati, bukanlah dataran, tapi jurang yang menganga
cukup dalam. Jadi, kehati-hatian adalah modal yang harus dimiliki.
"Kalau menengok ke bawah, hati rasanya rawan," imbuh Aisyah yang memiliki warung teh di Pelabuhan Tangkiling.
Sedang
Juhran mantan pegawai Komunikasi Radio di Kelurahan Banturung,
menuturkan, di Bukit Tangkiling terdapat bermacam-macam batu, batu
pengapit dosa hanyalah salah satunya. Disebutnya pula, batu banama, batu
cincin dan batu kawah yang terletak di puncak bukit.
Batu
kawah, dipercaya sebagai jelmaan perahu Tangkiling yang karam, kemudian
membatu. Batu kawah, oleh masyarakat sekitar dikenal pula dengan
sebutan batu rinjing, karena bentuknya yang menyerupai rinjing atau
wajan.
"Waktu
masih bertugas, saya tiap hari naik bukit. Karena di atas bukitlah
tempat paling efektif menyampaikan dan menerima informasi, suaranya
terdengar lebih jelas," paparnya.
Kelabang Raksasa
Kepercayaan
masyarakat lagi, menurut penuturan Aisyah, di sekitar batu kapit dosa,
bermukim seekor kelabang raksasa, berukuran sebesar batang pohon kelapa.
"Bahkan, selain batu kapit dosa, disana ada juga halilipan (kelabang-red) sebesar batang nyiur
(kelapa-red)," ujarnya yang berasal dari hulu Sungai Barito ini. Namun,
sama halnya dengan batu kapit dosa, kelabang raksasa ini tidak pernah
lagi menampakkan dirinya, raib seperti di telan bumi.
"Masa yang sudah berubah, membuat mereka tidak pernah lagi menampakkan diri," ungkapnya beralasan.
Persis seperti penuturan Aisyah, setiba kembali di base camp,
dalam guyuran hujan lebat, sekelompok anak sekolahan tadi dikejutkan
jeritan salah seorang temannya. Sontak, orang-orang yang berada di situ
terkesiap, ternyata cowok ABG itu digigit kelabang sebesar jempol
tangan.
Memang, kelabang termasuk binatang merayap yang memiliki bisa (racun). Racunnya bisa menyebabkan badan meriang, berkepanjangan.
"Jangan-jangan,
kelabang ini, cucunya kelabang raksasa yang pernah diceritakan itu,
lepas dari jepitan batu pengapit dosa, eh, malah digigit cucunya
kelabang raksasa," celetuk mereka bersahutan.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar